mimbaruntan.com, Untan – “Pernah pada suatu malam saya dipanggil, dan dengan segala argumen mereka saya ditelanjangi. … Saya disuruh menciumi alat kelamin mereka masing-masing, sambil kepala saya ditekan-tekan begini, … mereka yang diagung-agungkan, saya nggak respek, saya sangsi bagaimana keadaan orang beriman saja seperti itu.”
Begitulah tuturan salah satu Tahanan Politik (Tapol) yang mengalami salah tangkap. Mereka yang diambil paksa dijebloskan dari penjara ke penjara, hingga berakhir di Kamp Plantungan. Mereka yang tidak tahu-menahu mengapa diambil paksa terpaksa menurut kepada mereka yang katanya beriman dan pancasilais. Mereka, perempuan yang berdaya dan mempunyai hak kehidupan sama seperti manusia lainnya telah diporak-porandakan jati dirinya.
Baca Juga: Commweek 2023, Kaderisasi Sehat ala Ilmu Komunikasi
Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan merupakan adaptasi dari tesis penulis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia yang berjudul “Tahanan Politik Wanita di Plantungan, Kendal, Jawa tengah, 1969-1979”. Kisah di dalam buku adalah cerminan sejarah yang ditabukan pada zaman Orde Baru. Kisah nyata yang sengaja ditutup – tutupi di mata anak bangsa. Kejahatan besar yang sengaja disembunyikan di kacamata internasional. Aib pemerintahan yang terus dijalankan dengan dalih moral negara katanya.
Di awal buku, pembaca akan diajak berkelana ke dalam lorong waktu pada zaman pasca kemerdekaan. Pada zaman itu berdiri organisasi perempuan terbesar dalam pusaran sejarah Indonesia. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) muncul atas dasar kesadaran perempuan akan haknya di tengah budaya patriarki. Pada mulanya Gerwani berasal dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang diprakarsai S.K Trimurti bersama pejuang perempuan lainnya. Gerwis beranggotakan kaum perempuan yang sadar akan politik. Menurut paham Gerwis, Pancasila yang sesungguhnya tidak dapat berkompromi dengan imperialis dan kapitalis. Organisasi ini mempunyai tujuan, yaitu tercapainya masyarakat yang lepas dari perbudakan dan penindasan, antara orang dan orang, golongan dan golongan, bangsa dan bangsa, sehingga terciptalah kekeluargaan sejati yang sejatinya dari manusia.
Dalam kerja-kerja yang dilakukan Gerwis, Partai Komunis Indonesia (PKI) turut andil dalam beberapa hal. Umumnya mereka yang berasal dari Surabaya yang masuk Gerwis adalah anggota-anggota PKI. Meski demikian, Gerwis dalam anggaran dasarnya selalu menegaskan sebagai organisasi perempuan nonpolitik dan tidak ada kaitannya dengan partai politik lain. Anggota yang pro-PKI menghendaki Gerwis diubah menjadi Gerwani, tetapi banyak anggota yang tidak setuju dengan perubahan itu. Namun, pada akhirnya kehendak itu disetujui di dalam Kongres II Gerwis. Disinilah lahirnya Gerwani, suatu organisasi yang beorientasi kader ke organisasi yang berorientasi massa.
Sejak saat itulah Gerwani resmi menjadi organisasi perempuan yang beroerientasi pada penggalangan massa seluas-luasnya dan berjuang demi hak-hak wanita dan anak. Di dalam anggaran dasarnya, Gerwani sebagai organisasi massa menyatakan bahwa Gerwani adalah organisasi perempuan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan perjuangan, yang tidak menjadi bagian dari partai politik. Tujuan dan tugas organisasi massa ini memuat petunjuk-petunjuk tentang cara-cara kaum perempuan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin tinggi dan hak-hak kaum wanita. Pada umumnya perempuan tertarik masuk ke organisasi tersebut karena isu sentral yang diangkat berkaitan dengan isu-isu feminisme.
Baca Juga: Sukseskan Demo Days Bersama Sekolah CEO Tanjungpura 2023
Tahun 1964, pemerintah mengeluarkan pernyataan agar semua organisasi massa bergabung dengan suatu partai politik tertentu. Menanggapi hal itu, pimpinan Gerwani pun menyatakan diri bergabung ke dalam PKI. Sejak saat itu Gerwani mulai didominasi para anggota yang menjadi anggota PKI. Karena kedekatannya pada PKI sebelum bergabung dengan partai politik tersebut, Gerwani dianggap sebagai organisasi underbouw PKI.
Hingga meletuslah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Dalam berbagai media massa menyiarkan adanya keterlibatan Gerwani dalam peristiwa pembunuhan di Lubang Buaya. Mereka disebut turut andil menyiksa pembunuhan para jendral, memotong alat vital para pahlawan revolusi tersebut. Mereka difitnah bertelanjang dan menari-nari “harum bunga” diiringi Genjer-Genjer. Gerwani yang dulu disegani, kini dirusaki oleh pemerintahan pembawa berita bohong. Kultur patriarki yang kental dalam masyarakat Indonesia pun telah menjadi faktor utama mudahnya masyarakat menerima propaganda Pemerintahan Ode Baru dalam membentuk opini publik tentang kekejaman Gerwani.
Amurwani Dwi Lestariningsih, mengajak pembaca sadar betapa bengisnya pemerintahan memperlakukan Gerwani. Mereka diseret, ditelanjangi, hingga dipaksa menciumi alat kelamin. Kekerasan dan pemaksaan menjadi hal lumrah yang dilakukan ketika menujuk Gerwani agar mereka mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan itu. Pemerintahan, aparat keamanan, kepala daerah, bahkan tetangga menjadi pelaku yang merasa jadi pahlawan ketika ‘membasmi’ mereka. Sebuah ironi besar dalam suatu negara yang berpegang pada sila Ketuhanan yang Maha Esa.
Perasaan tergugah akan menyelimuti bilamana membaca kisah-kisah perempuan yang selalu dirampas haknya. Hantaman fisik dan mental ditelan bulat-bulat oleh para perempuan yang “tertuduh” sejak pemerintah melakukan pemburuan terhadap mereka. Ada keluarga yang ditinggalkan, anak-anak yang ditelantarkan, dan nasib yang tidak karuan dialami oleh buronan pada masa itu. Keributan dimana – mana, rumah-rumah mereka dibakar oleh warga. Pada masa itu, sulit untuk menaruh percaya kepada tetangga. Tiada sesuatu apa pun yang dapat menolong.
Penyamaran dan persembunyian para buronan akhirnya dapat diendus oleh hidung-hidung pemerintah. Dari penjara ke penjara, hingga ke Kamp Plantungan para perempuan yang diburu tersebut menjadi tapol. Penulis mengisahkan beberapa pengalaman tapol sebelum menjalani kesengsaraan di Kamp Plantungan. Para tapol diberi perlakuan tidak manusiawi. Tangan yang menggerayangi tubuh tapol saat diperiksa, ditelanjangi dan dipaksa berpangkuan dengan laki-laki, akan membuncahkan emosi pembaca.
Hingga diantarkan ke tempat pengasingan, penderitaan para tapol tidak berkurang, malah bertambah. Di Kamp Plantungan para tapol dikumpulkan dan disudutkan keberadaannya dari lingkungan masyarakat. Di sana, selama hampir 10 tahun mereka dijaga oleh para tentara yang semuanya laki-laki. Pelecehan seksual dan pemerkosaan tak jarang menimpa mereka. Beberapa diantaranya bahkan sampai hamil dan melahirkan di kamp tersebut. Persoalan gizi dan kesehatan para tapol juga sangat memprihatinkan. Penulis dengan jelas memaparkan bagaimana kondisi Kamp yang berada Jawa tengah itu serta alasan ditampungnya tapol pada wilayah tersebut.
Baca Juga: Maknai Perempuan dan Tangkal Kriminalisasi: Kolaborasi LPM Untan bersama LBH Kalbar
Semasa pembebasan para tapol, belenggu stigma yang melekat pada setiap tubuh mereka belum terbebaskan. Pemerintah sekali lagi memporak-porandakan nilai kehidupan para perempuan ini. Dengan jahatnya pemerintah melabeli mereka, dengan memberi tanda Eks Tapol (ET) pada kartu kependudukan. Tersingkirkan pada lingkungan sosial adalah buah dari kebijakan rezim pada masa itu. Kesulitan mendapatkan tempat tinggal, sukarnya mendapat pekerjaan pun tidak menjadi tanggug jawab moral pemerintah yang membuat nasib mereka seperti itu.
Bacaan dari buku ini sebagai sumbu pemantik bagi pembaca untuk menggali fakta sejarah yang seringkali diputarbalikkan. Peristiwa-peristiwa yang dimuat di dalam buku menjadi pelajaran bahwa tangan-tangan kotor penguasa dilimpahkan kepada rakyat dengan melakukan propaganda. Hasilnya adalah korban yang bertaburan, entah itu yang hidup atau pun yang sudah pernah hidup. Kebangkitan perempuan yang progresif menjadi ancaman bagi mereka yang menganut budaya patriarki. Tetapi bangkai akan tetap keciuman meskipun disembunyikan. Dosa-dosa akan terkuak, dan kekuasaan akan segera runtuh seiring berjalannya zaman. Hingga kisah penderitaan mereka berada di tangan dan (hendaknya) di pikiran pembaca, menjadi awal jalan penelusuran untuk mencari kebenaran sejarah.
Penulis: Putri Permatasari
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanXXVI