‘Jumlah pasien positif corona bertambah menjadi 117 orang. Achmad Yurianto menyatakan saat ini Indonesia memasuki status tanggap darurat Covid-19’
Samar terdengar suara reporter tv pagi itu membangunkan wanita paruh baya dari tidur lelapnya. Sontak tayangan tv itu mencuri perhatiannya, dipandangnya layar tv dengan tatapan tajam dan rasa khawatir yang bergejolak. Tanpa berlarut menyaksikan acara TV, lekas dia bersiap mandi membersihkan tubuh lalu mengambil sepotong roti di atas meja. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju pada gadis kecil yang masih tertidur pulas bersama rangkaian cerita di alam mimpinya. Sekecup ciuman hangat dia berikan ternyata membangunkan Putri, gadis cantik semata wayangnya.
“Ibu,” kata pertama yang dilontarkan Putri pagi ini entah mengapa terasa begitu menusuk hatinya. Ada ketakutan yang dia pun tidak tahu apa.
“Wah maaf sekali ibu membangunkan kamu ya. Tidur lagi ya, hari ini kan Hari Minggu, tidak sekolah,” jawabnya sambil memberikan pelukan hangat.
“Kenapa ibu kerja hari ini ? inikan hari libur, ibu tidur saja,” ujar Putri.
“Pagi ini ibu ada pasien yang harus dikunjungi, pasiennya sangat membutuhkan ibu, setelah selesai ibu janji akan langsung pulang ya,” terlihat ragu raut wajahnya kali ini.
Baca juga: http://mimbaruntan.com/alokasi-spi-di-kala-pandemi/
Seperti biasa, hiruk pikuk kota di Hari Minggu jelas terasa. Pemandangan orang-orang yang berolahraga, polisi yang mengatur lalu lintas, hingga para pedagang kaki lima di sepanjang jalanan kota. Setelah sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ruangan lalu bertemu para perawat dan dokter jaga untuk menanyakan keadaan rumah sakit.
“Selamat pagi dokter Nina,” begitu sapaan hangat yang terdengar setiap pagi di kupingnya.
Berkeliling memperhatikan dan memastikan keadaan pasien di rumah sakit merupakan rutinitasnya. Semula semuanya terlihat baik-baik saja hingga sirine ambulan terdengar tanda ada nyawa yang perlu diselamatkan di dalam mobil itu. Sontak dirinya bersama beberapa perawat lain berlari ke arah mobil.
“Pasien dengan batuk dan sesak nafas berat dokter dengan riwayat perjalanan ke Luar Negeri seminggu yang lalu dok,” seorang perawat dari dalam mobil memberikan laporan singkat.
*deg* seketika jantung berdegup lebih kencang bersama doa yang tak henti dia teriakkan di dalam hati, semoga ini bukan seperti yang dia takutkan.
“baik, langsung bawa ke ruangan dan siapkan penanganannya,”
30 menit berlalu
1 jam
Bersama peluh keringat dia keluar dari ruang penanganan, tapi tetap dengan wajah khawatirnya. Pasien itu berhasil diselamatkan, pikirannya lah yang membuat wajahnya terlihat sangat khawatir. Di ruangan perawatan tampak seorang laki-laki tua di atas tempat tidur dengan terpasang alat bantu napas, sangat lemah tak berdaya.
“Tolong ambil swab dahaknya, berikan kepada laboratorium. Laporkan kepada pemerintah terkait gejala dan riwayat perjalanan yang pasien alami,” tegasnya dengan napas terengah.
Baca juga: http://mimbaruntan.com/layunya-bunga-yang-berguguran/
Tak pernah terbayang dibenaknya, kecupan kening, pelukan hangat, dan percakapan singkat pagi tadi menjadi pertemuan terakhirnya dengan Putri. Tepat di pojok ruang kerjanya, Nina terduduk meneteskan air mata membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takut, cemas, sedih, rasanya semuanya bercampur hari itu, tapi tak sedikitpun semangatnya luntur. ‘Hingga titik penghabisan, akan kuperjuangkan untuk melawan virus ini,’ tegas dan sangat kuat bersorak-sorak di hati dan pikirannya
Sejak hari itu, Putri tinggal bersama pamannya, adik dari sang ibu. Tidak sekalipun Putri bisa bertemu ibu, terlebih saat pasien tersebut diumumkan positif Covid-19. Semua sekolah ditutup serentak, segala kegiatan yang melibatkan banyak orang dihentikan. Kota yang semula begitu ramai, seperti disulap menjadi kota mati, sepi sangat sepi.
*** Satu Bulan Berlalu ***
Di depan pagar rumah adiknya, Nina berdiri memandang seorang Putri yang cantik jelita berlari menghampirinya. Sayang, langkah Putri harus terhenti akibat tarikan dari tangan sang paman.
“Berhenti sayang, di situ saja ya nak, kita berbicara jarak jauh saja dulu ya,” teriak Nina menghentikan langkah sang putri.
“Ibu, ibu bagaimana kabarnya ? Ibu kapan bisa pulang ke rumah ? kapan bisa tidur sama Putri ? Ibu bohong sama Putri katanya ibu akan segera pulang, tapi ibu tidak pulang-pulang,” isak tangis Putri pecah sore itu.
“Ibu baik-baik saja sayang, berdoa ya nak supaya kita bisa cepat berpelukan lagi, bermain bersama lagi, Putri jaga kesehatan ya sayang, akan selalu ibu hubungi lewat hp ya,”
Dua bulan
Tiga bulan
Keadaan semakin memburuk, rumah sakit hingga kehabisan tempat untuk merawat pasien, tenaga kesehatan satu persatu berguguran. Hari ini, Nina merasa tidak baik-baik saja, badannya terasa sakit, napasnya seperti terhambat. Firasatnya sudah buruk siang itu, dia pun memilih untuk beristirahat di ruang isolasi.
***
Semakin hari rumah sakit semakin penuh, tak tertangani, keadaan Nina pun semakin memburuk. Melalui telepon genggamnya dia mengirimkan sebuah pesan kepada Putri.
‘Putri, apa kabar nak ? semoga kamu baik-baik saja ya rindu sekali ibu rasanya. Bagaimana sekolahmu ? walaupun online tetaplah semangat ya sayang. Maaf ibu belum bisa menepati janji untuk pulang, tapi tenang saja ibu baik-baik di sini. Nak, ibu sayang sekali sama kamu, terima kasih karena sudah tumbuh menjadi anak yang pintar meski tanpa ayah ya sayang. Putri harus terus bertumbuh meskipun tanpa ayah dan mungkin tanpa ibu, jangan suka menangis lagi ya karena suaramu sangat keras saat menangis hehehe. Nak, salalu ingat Allah dan semua pesan ibu ya nak, doakan ibu cepat pulang. Di sini, ramai sekali sayang, hingga rasanya ibu sulit bernapas. Ibu selalu terbayang wajahmu nak, rindu membuatkanmu nasi goreng telur favoritmu. Putri, jaga kesehatan ya sayang, Ibu mencintaimu,’
Nina merasa semakin sulit bernapas, bertambah sulit dan sangat sulit, hingga rasanya tak satupun bisa terlihat di matanya, gelap sangat gelap. Beberapa dokter dan perawat berlari menghampirinya, Nina dengar jelas suara rekan kerjanya memanggil-manggil namanya.
‘Ternyata aku gagal dalam perang ini, virus ini begitu cepat menggerogoti tubuhku. Maafkan ibu Putri, maaf ibu tidak bisa menepati janji untuk pulang. Maaf tak ku selesaikan tugas ku, maaf, ……..’ Nina berbicara di dalam hatinya dan berjuang untuk tetap bernapas hingga akhirnya tak terdengar lagi seluruh suara rekannya.
Semuanya terhenti, seluruh dokter dan perawat di ruangan itu terdiam mematung seketika setelah seorang doker menyatakan bahwa Nina sudah tiada. Nina, dokter kebanggaan mereka gugur dalam perang ini, terima kasih dokter.
Putri, ya ternyata perjumpaan di depan pagar rumah hari itu menjadi perjumpaan terakhirnya dengan sang ibu. Tidak tau rasanya harus menjalani hidup seperti apa, tapi Putri berjanji akan terus bertahan hidup meski ibu telah tiada.
Penulis: Abang Hendy Fuady dan Milenia Nadhita