Kata demi kata terangkai oleh pena dalam jemariku. Mendeskripsikan setiap peristiwa dengan beraneka majas. Posisiku saat ini sedang duduk di atas tunggul pohon tengkawang, pohon yang hanya ada di hutan belantara Kalimantan. Sambil sesekali melihat keadaan di sekelilingku aku menerawang jauh mengingat semua hari yang pernah kami lalui, semua jalan yang sudah kami tapaki, dan semua janji yang pernah kami ukir di sini. Janji yang masih ku pegang teguh sampai hari ini. Janji yang hidup bersamaku mengejar mimpi masa kecil kita, serta janji yang membuatku menggerakkan jari sehingga sebuah puisi tercipta.
Suara kicauan burung menemaniku soreku. Aku masih betah berada di sini, menatap langit dan menikmati pesona senja. Senja yang memberiku keteduhan sama seperti yang ku dapatkan ketika berada di dekatmu dulu. Namun, aku harus bergegas pulang karena di kejar oleh petang.
***
“Padia, kamu tahu Alan sudah kembali dari kota?” Tanya ibuku, ketika aku menyeduhkan air ke dalam gelas.
“Ibu tahu dari mana?”
“Ibu melihatnya sendiri, di teras rumahnya tadi.”
Aku tidak mengatakan apapun, antara terkejut dan bahagia bercampur menjadi satu. Alan sudah kembali. Setelah sepuluh tahun tidak melihatnya, aku penasaran bagaimana wajahnya sekarang. Apakah Alan kembali untuk menepati janjinya? Tidak, janji kami lebih tepatnya.
“ Aku tidak tahu bu, aku akan berangkat ke sekolah sekarang,” Jawabku. Sekolah yang ku maksud adalah sekolah tempatku mengajar. Aku menjadi guru Sekolah Dasar di kampungku. Mengabdikan diriku untuk tunas-tunas bangsa di sini.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri jalan menuju sekolah. Hari ini aku harus bertemu dengan orang tua murid yang anaknya memberhentikan diri dari sekolah. Entah, apa alasannya.
Sepanjang perjalanan aku disuguhi pemandangan hamparan kebun sawit milik penduduk. Jangan berpikir kau akan menemukan jalan beraspal di sini, karena hanya ada tanah kuning yang dilapisi batu dan pasir. Ketika hujan turun jalan akan menjadi licin.
“Selamat pagi bu guru!” ucap seorang warga kepadaku. Sejak kembali kesini dan menjadi guru, mereka lebih suka menyapaku seperti itu daripada menyebut namaku. Mungkin karena hanya aku yang berprofesi sebagai guru di kampung ini. Semua guru yang ada di sekolah berasal dari luar kampungku.
“ Pagi juga paman!” Jawabku sambil berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. Dia adalah paman Mat, sepupu jauh ibuku. Dia bekerja sebagai tukang bangunan di kampung. Sewaktu kami masih kecil dia sering membawa rotan untuk mengusir kami karena kami bermain air di sungai hingga sore.
“Auuu…. sakit!” Teriakku.
Aku merasa seseorang menarik rambutku yang berkepang satu dari belakang. Hanya satu orang yang biasa melakukannya. Apakah dia?
“Hai!” sapa seseorang dengan suara yang khas di telingaku. Aku membelalakkan mataku menatapnya. Ada banyak perubahan yang ku lihat. Rahangnya yang kokoh, raut wajah yang dewasa dan pancaran mata yang penuh keteguhan menandakan kepribadiannya yang matang. Berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu. Wajah itu masih kekanak-kanakan dan matanya masih mengerling jahil. Terlebih lagi, bibirnya yang tersenyum mengejekku ketika menangis karena kejahilannya.
“Kapan kau kembali?” Tanyaku dengan ekspresi tidak percaya bahwa dia sekarang berdiri di hadapanku.
“ Dua hari yang lalu, Padia…” Jawabnya sambil tersenyum kaku. Tingkahnya yang seperti ini baru ku lihat sekarang.
“Bagaimana pekerjaanmu di kota?” Aku bertanya lagi padanya untuk mengatasi kecanggungan yang terasa jelas di antara kami.
“Semuanya berjalan dengan lancar” jawabnya .
“Kenapa kepangan rambutmu sekarang menjadi satu? Bukankah dulu ada dua? Apa kau menjual tandukmu, Padia?” Dia bertanya dengan tertawa. Tawa yang sama ketika dia mengerjaiku dulu. Mendorongku ke sungai, meninggalkanku di jalan ketika pulang sekolah atau menakut-nakutiku ketika berada di tengah hutan. Aku merindukan tawa itu, seketika hatiku menghangat melihat tawanya.
“Kau pikir Kepangan rambutku cula badak, atau gading gajah yang bisa dijual?” Tanyaku balik, dengan bergurau. Aku memang mengepang rambutku menjadi satu agar terlihat rapi, karena kepangan dua tidak sesuai lagi dengan usiaku.
“Aku harus pergi sekarang, Alan. Kalau tidak aku akan terlambat.” Ucapku sambil melirik arlojiku yang sudah menunjukkan pukul 06:55. Aku tidak terlambat saja, murid-muridku masih banyak yang terlambat. Apalagi jika aku yang terlambat, mereka pasti dengan senang hati mencontohiku. Padahal aku masih ingin berlama-lama menatap wajah Alan dan berbincang-bincang dengannya.
“Baiklah bu, guru!” Jawabnya dengan senyuman yang manis. Kenapa dia mengetahui bahwa aku seorang guru? Dia pasti mengingatnya, mengingat mimpi kami. Aku akan membicarakannya nanti. Sangat disayangkan kami berjumpa kembali di waktu yang terjepit begini.
Aku berjalan dengan tergesa menuju sekolah sambil mengingat percakapan singkat kami tadi. Dia masih sama usilnya seperti dulu. Masih suka menarik rambutku.
***
“Aku hanya ingin membantu bapak di kebun,bu guru.” Jawab seorang murid yang sedang ku introgasi. Aku mengelus dada mendengarnya.
“Kenapa kamu ingin bekerja? Tidak ingin sekolah tinggi dan bercita-cita menjadi orang sukses?” tanyaku.
“Mengurus kebun sawit juga bisa menjadi sukses bu guru. Biarkan saja, saya sudah lelah membujuknya sekolah, kami sudah punya kebun sawit dan kebun karet untuk masa depannya. Jadi lebih baik dia mengurus itu saja.” Kali ini ibunya yang menjawab.
Aku tidak habis pikir mengenai pandangan mereka begitu sempit tentang pendidikan. Tidak benar menjadikan kekayaan sebagai tolak ukur kesuksesan seseorang. Kaya harta, namun miskin ilmu tidak ada gunanya.
* * *
Malam ini aku menatap bintang di teras rumahku bersama Alan. Menyenangkan sekali bisa berada sedekat ini dengannya. Alan datang menemuiku, kami memilih teras rumah untuk berbincang-bincang dan menikmati langit malam.
“Lan, apa kau mengenal Nina?” Tanyaku memulai percakapan.
“Nina yang rambutnya berkepang dua itu? Tanyanya.
“Iya, dia lulus SD tahun ini. Orang tuanya tidak memiliki biaya untuk memasukkannya ke SMP. Aku sudah berbicara pada orang tuanya, tapi mereka merasa tidak perlu menyekolahkan Nina tinggi-tinggi. Nina anak perempuan. Anak perempuan kelak, akan dilamar dan dinikahi dan berujung mengurus rumah tangga. Itulah pendapat mereka.
“Kau sangat perhatian pada murid-muridmu, Padia.” Sambungnya.
“Mereka membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, Lan! Orang tua mereka tidak mampu memberikan pandangan kepada anak-anak mereka tentang pentingnya pendidikan. Ketika anak-anak mereka mengenal uang dan ingin terus memilikinya, mereka tidak bisa memberikan pengertian bahwa manusia tidak hanya membutuhkan uang. Anak- anak mereka kemudian memutuskan untuk bekerja. Tanpa berpikir bahwa manusia juga membutuhkan ilmu untuk mencari uang dan mengatur keuangannya. Pengetahuan mengatur uang juga sangat penting untuk anak perempuan, karena mereka akan mengatur keuangan rumah tangga keluarganya kelak. Mengatur pemasukan dan pengeluaran agar seimbang, sehingga konflik karena faktor ekonomi dalam keluarga bisa terhindari.” Aku menyampaikan argumenku dengan panjang lebar.
“ Mereka tidak berpikir sejauh itu.” Alan menanggapi argumenku.
***
Aku menyusuri perkebunan sawit untuk mencari Ruli, muridku yang sudah tidak masuk sekolah seminggu terakhir. Dari informasi yang ku dapat, Ruli berkeliaran di sini beberapa hari ini.
“Apa yang kau lakukan di sini Ruli?” Tanyaku setengah berteriak. Seketika aku menjadi pusat perhatian para pekerja.
“Bekerja bu…” Cicitnya, nyaris tak terdengar.
“ Apa kau tahu jika anak seusiamu tidak diizinkan bekerja? Tugasmu mencari ilmu,Ruli! Apa kau ingin menghabiskan seumur hidupmu dengan pemandangan yang seperti ini? Tidakkah kau ingin melihat keadaan di luar kampung ini? Bertemu banyak orang dan belajar banyak hal, Ruli?” Ku jelaskan padanya dengan menahan amarahku. Anak itu terdiam, tidak berani menatapku.
Aku mengatur nafasku, kemudian menyeret Ruli untuk kembali ke sekolah. Tidak peduli jika nanti aku harus berhadapan dengan orang tuanya.
* * *
Aku kembali lagi ke sini, ke atas tunggul pohon tengkawang. Dulu, tempat ini sangat teduh, pohon tengkawangnya berdiri kokoh. Pohon-pohon di sekitarnya menjulang tinggi, ada banyak jenis burung berkicauan. Dulu, tempat ini penuh dengan gelak tawa anak-anak. Terutama, anak-anak pada zaman kami. Kami berlarian bebas di sini, bersembunyi di balik pohon, dan memanjat pohon ketika mendengar suara helikopter melintas. Kadang di bagian inilah aku akan dijahili, karena aku tidak bisa memanjat. Semua teman-temanku meninggalkanku untuk memanjat. Kemudian, mereka menertawakannya dan menakut-nakutiku dengan mengatakan ada hantu yang mencari anaknya, dan hantu itu akan menangkapku karena mengira aku adalah anaknya. Itu potongan cerita masa kecilku yang manis. Terlebih lagi, Alan ada di dalamnya. Dia adalah dalang dibalik kejahilan yang ku terima. Namun, setelahnya Alan akan menghiburku dengan mengatakan akan mengiringku berenang ketika berangkat sekolah, agar aku tidak terus menangis sampai ke rumah dan mengadu pada ibuku.
Kami bersekolah di kampung sebelah karena di kampung kami dulu belum didirikan sekolah. Jembatan penghubung kedua kampung pada saat itu sedang ambruk, jadi kami harus berenang. Aku tidak bisa berenang, setiap hari Alan dan teman-temanku yang lain menolongku menyebrang sungai. Hingga satu persatu teman-temanku memutuskan untuk berhenti sekolah. Sekarang, banyak dari mereka yang tinggal di luar kampung karena sudah menikah denga orang di luar kampung. Ada juga yang masih di sini, bekerja menyiangi kebun atau menjadi pemanen sawit.
Aku dan Alan memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke kota kecamatan, ketika masuk SMP. Kami patut bersyukur karena orang tua kami berpikir terbuka mengenai pendidikan dan mengusahakan yang terbaik untuk kami. Walaupun berbidang-bidang tanah milik kakekku melayang. Ketika itulah tanah kami mulai terjamah perusahaan sawit. Hutan tempat kami bermain dan berpetualangan menjelma menjadi kebun sawit. Pohon tengkawang tempat kami bermain pun terkena imbasnya, ditebang dan jual ke kota kayunya. Sementara, daerah di sekitarnya di tanami sawit.
Penduduk kampung yang awalnya bermata pencarian sebagai petani karet dan sawah, menyerahkan tanah mereka untuk ditanami sawit. Mereka ingin terlepas dari kemiskinan yang membelenggu, karena selama ini hanya bergantung pada hasil hutan dan cuaca. Mereka berharap banyak pada perusahaan sawit.
Sekarang hasilnya sudah terlihat. Perekonomian penduduk menjadi lebih baik. Namun, mereka cepat merasa puas, sehingga mengabaikan pendidikan. Jika di tanya mengenai kesiapan untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, mereka mengatakan tidak memiliki biaya. Begitu juga anaknya, karena merasa orang tuanya memiliki sumber pendapatan yang menjamin masa depan, mereka enggan untuk bersekolah.
“Auuu…” pekikku, ketika tangan seseorang menarik rambutku. Ternyata itu dia, dia di sini.
“Apa yang kau lakukan di sini, Padia?” Tanyanya.
“Aku selalu datang ke sini.”
“ Tempat ini tidak bisa lagi di sebut indah.” Ucapnya.
“Mereka mengubahnya, Alan…”
“Lihatlah, kau hanya bisa menatap hutan sawit Padia… Semua sudah berubah, kita pun harus berubah…” Ucapnya lirih.
“Kehidupan di kota lebih menjamin, Padia… Jika kau bekerja di sana, kau akan mendapatkan gaji yang sesuai dengan kerja kerasmu. Tidak seperti di sini, kau hanya di gaji seadanya.” Ucapannya membuatku membelalakkan mata, aku tidak percaya kalimat itu meluncur dari bibir seorang Alan.
“Orang- orang yang ingin kau sadarkan menutup mata atas semuanya, mereka tidak membutuhkan pendidikan, mereka tidak ingin di bangun Padia…”
“Kenapa kau berbicara seperti itu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan akan kembali membagun kampung ini ketika kita sudah memiliki ilmu sebagi dasarnya? Bukankah itu janji kita dulu? Janji untuk menjadi orang-orang yang berguna untuk tanah kelahiran kita?” Ucapku padanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Semua sudah berbeda, mereka ingin maju dengan cara mereka sendiri, Padia…”
“Kita sudah memiliki dasarnya, kita memiliki pendidikan, kita bisa membangun kampung ini. Egois jika kita memiliki ilmu hanya untuk kita sendiri. Hanya untuk berkerja dan mendapatkan uang” Teriakku padanya.
“Coba kau pikirkan, bagaimana kita akan membangun kampung ini? Jika jalan saja tidak akan terbangun karena dilalui oleh truk bermuatan besar setiap harinya, untuk mengangkut sawit. Apakah pemerintah mau mengambil risiko? Di bangun hari ini dan hancur minggu depan? Itu contoh kecil, Padia…”
“Mereka lebih egois, Padia… Mereka ingin maju secara individu, tidak bersama. Percuma kau melakukan semuanya! Tutup matamu dan pergi dari sini bersamaku, kita akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Lebih baik dari kampung ini.”
Aku membenarkan semua ucapannya. Namun, bukan berarti aku berakhir sampai di sini. Walaupun warga kampung mendatangi rumahku seperti hendak berdemonstrasi memprotes tindakanku kepada Ruli siang tadi, aku akan tetap memperjuangkan dan menyadarkan tunas-tunas bangsa yang berada di sini. Hasil didikanku kelaklah yang akan membangun kampung ini, bahkan kalau bisa membangun negara ini.
Aku pun berlari meninggalkan Alan dengan berurai air mata. Alan memutuskan untuk berhenti,sebelum memulai. Dia menghentikan niatnya, bukan perjuangannya karena belum ada perjuangan yang dimulainya.
Penulis : Marlina Marlin