Kukira dengan menutup buku lama itu, mengucapkan kata selamat tinggal, semua bakal selesai dengan baik-baik saja. Kukira, akan lebih mudah dan melegakan. Tapi konon katanya, tak ada pamit yang manis. Sekalipun dibungkus dengan manis. Penolakan tetaplah sebuah penolakan. Selalu menyisakan luka. Tapi ini pilihan.
Yang selesai biarlah selesai. Terserah bagaimana mereka hendak mengenangnya.
*****
Pagi ini, kabut asap menyambut bangun tidurku. Udara di luar tidak cocok dengan pernafasanku sebab sudah terbiasa dengan kualitas udara di desa. Adaptasi pertama di masa pindahan ini menjadi ajang pertahanan diri agar kebal seperti penduduk kota pada umumnya. Menyebalkan sekali, kukira hal pertama yang perlu dikhawatirkan saat menginjakkan kaki di kota ini adalah tentang bagaimana harus berinteraksi dan basa-basi dengan orang baru. Ternyata, aku justru harus disambut dengan kabut asap yang sungguh tidak sehat ini.
World Health Organization memperkirakan sekitar 20 juta orang Indonesia telah terpapar asap kebakaran hutan yang mengakibatkan berbagai gangguan paru dan sistem pernapasan. Pelik kalau harus mengetahui bahwa polusi udara tersebut mengandung karbon monoksida (CO), nitrogen oksida, sulfur dioksida (SO2), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3), timah, particulate matter (PM10), partikel halus (PM2,5), bahkan partikel kasar (PM25-10). Partikulat yang sungguh menyeramkan..
*****
Lima tahun yang lalu waktu datang ke kota ini, rumah mbahku banyak ditumbuhi pohon mangga dan jambu. Di depannya ada tanah yang ditumbuhi pepohonan besar, ada kebun sayur, dan sungai yang mengalir di sampingnya. Kini yang kudapati hanya tersisa bangunan gedung bertingkat empat, dan sungai yang sudah dipenuhi sampah. Syukurlah pohon mangga dan jambu di rumah Mbah Putri dibiarkan tumbuh dan menghasilkan buah-buahan segar setiap masa panen tiba. Setidaknya ada kenangan yang masih terselamatkan dalam ingatan dan tetap dapat kunikmati setiap paginya sambil makan goreng pisang dan segelas teh susu buatan Mbah Putri.
“Secepat ini pembangunan meluluhlantakan kebun sayur favoritku dulu, Mbah,” kataku sambil sibuk mengunyah sarapan pagi itu, bercengkrama dengan Mbah Putri dan Mbah Kakungku.
“Ya wajar lah, kebun sayur ditukar dengan pusat perdagangan yang lebih menguntungkan secara finansial. Sekarang itu orang-orang berpikirnya money oriented Nduk. Apalagi di kota besar seperti ini, yang penting bagaimana bisa hidup dan makmur. Tidak peduli harus nebang berapa banyak pohon,” Mbah Kakung menjelaskan.
Ia kemudian berceloteh mengenai perkembangan orientasi pembangunan. “Dulu, sebelum orde baru pembangunan hanya berorientasikan pada aspek ekonomi saja. Semua semata-mata untuk meningkatkan pendapatan suatu daerah. Itupun dampaknya hanya akan dirasa oleh penguasa, sementara kemiskinan masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat kebanyakan. Sekarang sudah banyak bermunculan konsep pembangunan dengan gaya sustainable development yang hadir untuk menjawab permasalahan lingkungan dan berbagai sektor lain yang mestinya cukup krusial untuk diperhatikan. Mestinya pembangunan dapat memecahkan masalah dunia saat ini, semacam kekurangan pangan, penyakit, buta huruf, kawasan kumuh, ketiadaan lapangan pekerjaan, serta ketimpangan. Pembangunan tidak hanya soal memperkaya yang kaya atau hanya sekedar memegahkan tampilan fisik semata. Semestinya begitu.”
“Kompleksitas permasalahan ini pada akhirnya juga merembet sampai kepada psikologi penduduk kota. Mungkin ini tugas berat yang harus kuhadapi sebagai psikolog hijau,” tegasku sambil meneguk cepat segelas teh susu.
“Pemikiran ekologis sepertimu akan jadi minoritas dan disingkirkan. Menghambat pembangunan saja. Tapi di keluarga ini pemikiran hijaumu harus dipelihara. Ayo kita kembalikan kebun sayur favoritmu di halaman rumah ini,” seru Mbah Putri dengan bersemangat.
Kami tertawa hangat. Pagi itu kabut asap menjadi isu yang teralihkan di kepalaku. Aku bersyukur telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang ternyata punya orang tua sehebat Mbah Putri dan Mbah Kakung ini. Mereka menua dengan karya, sudah banyak menggarap proyek kemanusiaan bersama anak-anak disabilitas bahkan di usia senja mereka tetap melek literasi dan teknologi. Sungguh menakjubkan.
“Jangan lupa pakai masker,” pesan Mbah Putri sembari memelukku.
Sambil berbisik kecil, “Ibumu pesan sama Mbah untuk cari tau asal usul pacarmu, Nduk.”
Aku hanya melambaikan tangan. Tidak selera membahas topik itu. Mbah selalu cari celah untuk jadi Ibu. Ibu yang selalu ingin tau banyak perihal perasaanku, zona paling sensitif yang belakangan tidak ingin kusentuh.
*****
Aku sudah hatam betul psikologis penduduk desa. Sarat bahagianya yang sederhana. Kemerdekaannya hanya tentang bisa makan siang di sawah bersama teman-teman perjuangan dan kembali ke rumah menemui keluarga untuk menghabiskan malam. Tidak ada konflik yang lebih genting dibandingkan memikirkan biaya untuk anak-anaknya yang hendak melanjutkan pendidikan di kota. Kebutuhan makan bukan persoalan, mereka mengandalkan alam dan berteman baik menjaga alam sehingga tak perlu repot-repot memikirkan itu.
Tetapi, hari ini dan seterusnya aku harus berupaya penuh melakukan riset untuk mengenali tingkat kompleksitas psikologi penduduk kota. Tentu berbeda. Bahkan kalau harus mengukur Indeks Kebahagiaan penduduk desa dan kota sudah kutebak siapa yang paling bahagia. Bicara peliknya permasalahan di kota akan berbanding lurus pula dengan tingkat stress penduduk di dalamnya. Bahkan jangan-jangan suatu hari aku sendiri yang harus melakukan konseling karena terlalu tidak siap dengan iklim di kota ini.
Ohya namaku Clary. Sejak lulus sebagai sarjana psikologi tiga tahun lalu, aku sudah akrab menyelami dunia ini dengan riset yang kukerjakan secara berkelanjutan. Meski aktif di LSM lingkungan, aku tetap tidak kehabisan ide untuk melakukan penelitian terhadap kejiwaan orang-orang desa. Kadang-kadang ini membantuku untuk mengumpulkan permasalahan dan kucarikan solusi terbaiknya. Ini sangat menyembuhkan diriku secara personal karena dengan begini aku mampu menyimpulkan keputusan terbaik yang harus kupilih. Tetapi sayangnya, ada satu hal yang tidak kunjung kuselesaikan sejak tiga tahun yang lalu. Bersarang di kepalaku, menyisakan rasa bersalah, dan sering tak karuan tiap kali ada momentum yang membuatku kembali mengingatnya.
“Hai Clar, sudah lama sekali kita tidak kirim kabar,” seseorang menyapaku dengan bersemangat. Kalau kuperhatikan lekat-lekat, dia adalah Dine, perempuan yang senang menuliskan romantisme rumah tangganya di media sosial. Kadang-kadang ia menjelma menjadi sosok inspiratif yang menularkan semangat menikah muda karena iming-iming kehidupan yang bahagia tiada tara. Anehnya, aku bahkan tidak tergoda bahkan ketika ia puluhan kali menggodaku.
“Tapi kabarmu selalu kupantau. Semakin bahagia saja kelihatannya,” sapaku sambil menatapnya manis.
“Syukurlah kebahagiaanku bisa dinikmati banyak orang,” senyumnya centil.
“Aku tidak bilang aku menikmatinya Din. Hanya memantau dan sesekali tersenyum geli karena realita pasienku yang berumah tangga tampaknya penuh kompleksitas. Tidak sebahagia yang ditampilkan di dunia maya. Dasar tukang iklan,” sanggahku.
“Rupanya kamu masih semenyebalkan dulu. Selalu jadi antagonis tiap kali kuajak bicara soal percintaan. Tapi kalau soal keilmuan, energi positifmu terisi penuh. Sepertinya dirimu perlu diajak konseling bersama psikolog percintaan,” ia mencubit pipiku sambil melemparkan tasnya di bangku sebelahku.
Tidak ada pagi yang lebih menyebalkan dibandingkan bertemu dengan teman lama yang rupanya bekerja di perusahaan yang sama. Apalagi orang itu adalah Dine, ratu cinta yang paling sering menyampaikan teori menye-menye favoritnya. Sering bikin kupingku panas karena ia selalu tak kehabisan semangat untuk mengkampanyekan toksin cinta yang katanya membahagiakan banyak orang.
“Kuharap kali ini adalah kali terakhir kita bicara topik receh ini. Jangan bikin aku ngamuk di sini dan menghancurkan lipstik kesayanganmu ini Din,” aku memberi peringatan sembari memberi ilustrasi perpecahan yang pernah nekat aku lakukan semasa kuliah dulu. Dine paling senang menjodohkanku dengan teman laki-lakinya dan aku hampir meledak-ledak tiap kali ia membawakannya langsung dihadapanku.
Ia hanya tertawa menatapku yang salah tingkah. “Hancurkan saja, aku punya banyak stok dan tinggal telfon my hubby untuk minta lagi. Lagipula aku tidak akan pernah kapok mengerjaimu,” katanya dengan bangga.
“Baiklah Dine,” tutupku mengakhiri percakapan tidak substansial ini. Pagi yang buruk.
*****
Hari-hariku berjalan dengan normal. Kabut asap masih mewarnai bangun tidurku. Kesibukan di kantor membuatku sedikit melupakan permasalahan mendasar tentangku yang tidak kunjung selesai. Dine memang menyebalkan, tapi kadang-kadang kalau kuajak berbincang mengenai sampah di kota ini ia semangat sekali mengulasnya. Aku bangga ia semakin peka terhadap hal-hal yang lebih urgensi dibandingkan urusan cinta.
Tetapi belakangan, Mbah Putri dan Mbah Kakung sering memulai perbincangan di meja makan tentang topik yang selalu kuhindari. Aku selalu saja menerima wejangan yang sama halnya kuhadapi di rumah, tentang Ibu dan Ayah yang terlalu repot mengatasiku karena tidak juga punya pasangan. Mereka tidak siap dengan pilihanku yang hendak menata karir terlebih dulu.
Pergi kemana pun aku di negri ini, pertanyaan itu tetap saja kudapati. Menusuk-nusuk kepalaku.
*****
“Hari ini kita kedatangan perias taman terbaik di kota ini. Ohya Clar, kamu harus pilih di antara dua konsep ini mana yang paling cocok di halaman rumah ini? Kan kamu yang memberi ide kebun sayur tempo hari,” Mbah Kakung menyambutku sambil menunjukkan dua gambar yang sama cantiknya.
“Astaga, aku bahkan hampir tidak melihat kekurangan di antara keduanya. Coba tanya Mbah Putri saja yang lebih paham soal artistik,” pintaku sambil kebingungan memilih.
“Kami sepakat untuk meminta kamu yang memilihnya,Nduk,” kata Mbah Putri.
“Lagipula apa susahnya sih menentukan dua pilihan? Yang repot itu menentukan satu di antara sepuluh pilihan,” komentar Mbah Kakung.
“Dua-duanya memang bagus,Nduk. Tapi coba dengarkan kata hatimu mana yang sebetulnya paling bagus dan cocok untuk halaman ini,” tambahnya lagi.
Aku terdiam. Aku seperti diingatkan oleh sesuatu.
“Aku buru-buru harus pergi,” kataku
Belakangan ini, hidup terasa mengkhawatirkan. Sebab, semuanya jadi tak mudah ketika yang kuhadapi adalah pilihan terhadap dua hal yang sama baiknya. Dunia seolah-olah menuntut bagianku untuk bijak dalam memutuskan. Tentang pengorbanan di belakang sana, ah menjadi serba sulit untuk dipertimbangkan, juga keputusan-keputusan yang hingga kini belum utuh kuselesaikan. Aku masih ingat betul bagaimana aku harus menyusun rentetan cerita ini sedemikian rupa, membawa nama-nama mereka yang berbaik hati padaku dalam doa-doa kepadaNya. Ya, rupanya skenarioNya sungguh tak terduga. Tak pernah rasanya aku berfikir akan jadi serumit ini.
*****
Dine mengabariku akan ada seseorang yang ingin konsultasi mengenai permasalahan hidupnya. Katanya, masalah ini cukup dekat dengan ketertarikanku terhadap isu lingkungan. Tekanan hidup, target, kondisi keluarga, degradasi, dan ah apalagi yang membuat seorang individu merasa tidak baik-baik saja hanya karena kurang hirup udara segar. Tapi bukan itu…
Dine bilang padaku, ini masalah yang tidak biasa. Ia tidak bisa menyelesaikannya karena selama ini ia lebih terbiasa menyelesaikan masalah percintaan, masalah paling remeh dalam catatan perjalananku sebagai psikolog.
“Aku sedang dalam fase tersulit dalam hidup. Tidak sedang kelilit hutang, dikejar-kejar masa lalu, atau yang paling konyol sedang bingung hendak memulai dari mana mencintai diri sendiri. Tenang. Aku sudah selesai terhadap itu semua,” seorang pria membuka percakapan pagi itu dengan dingin. Ia adalah lulusan perguruan tinggi terbaik yang sudah sukses menjadi HRD. Tidak ada kekurangan yang tampak berarti dari penampilannya.
“Jadi bagian mana dalam hidupmu yang belum selesai?” tanyaku ramah. Kuperhatikan wajah sembabnya lekat-lekat seperti melihat diriku saat sedang dirundung masalah.
“Masih banyak, itu mungkin alasannya Tuhan masih memberikanku kesempatanku untuk hidup dan menyelesaikan misi-misi ini sampai tuntas. Ada satu hal yang meresahkan tidurku, bahkan saat mengunyah makanan aku masih saja tidak berhenti memikirkan ini,”ceritanya.
“Ohya, masalah apa yang begitu tega menganggu dua kenikmatan utama dalam hidup ini?”
“Masalah percintaan,” ia menatapku tegas.
Dine berbohong padaku. Harusnya ia yang lebih tepat menyelesaikan perkara menyebalkan ini. Tetapi demi menjaga profesionalitas, terpaksa aku harus pura-pura pakar dalam hal ini.
“Ditinggalkan pacarmu menikah dengan orang lain? Diputusin karena kamu terlalu baik? Tidak satu frekuensi yang sama, terlalu overprotektif, atau,” aku mencoba menenangkan diri sekaligus menenangkannya.
“Hentikan. Kasusku ini minoritas. Tidak sama dengan kasus yang sudah ada,” jawabnya ketus.
“Aku sedang bingung memilih dua pilihan yang sama baiknya. Tidak mungkin ambil dua-duanya meski katanya laki-laki diizinkan poligami. Menurutku, satu itu menggenapkan. Dua itu melenyapkan,” lanjutnya.
“Kau hanya harus dengarkan hatimu,” kataku tidak yakin. Mencoba meminjam kata-kata Mbah Kakung yang baru saja ia berikan padaku disaat aku sedang kebingungan memilih konsep taman halaman rumahnya.
“Aku sudah dengarkan baik-baik. Tapi antara hati dan logikaku tidak bersinergis. Keduanya saling kontradiktif,” ia mulai menaikkan nada bicaranya.
“Kau mungkin bisa datang ke psikolog lain,” tegasku. Kali ini aku sudah kehabisan energi. Aku menyerah untuk ini.
“Kenapa? Masalahku terlalu berat? Kenapa tidak bisa kamu selesaikan? Kan kamu psikolog hebat yang namamu sudah terpajang di mana-mana. Banyak sekali riset-riset yang sudah kamu kerjakan tiga tahun belakangan ini,” tanyanya marah-marah.
Aku diam. Suasana ruangan itu hening. Kami sama-sama menenggelamkan diri dalam senyap. Aku sudah menyerah untuk menyembunyikan ini pada siapapun. Tapi kenapa di depan pasienku, aku harus menunjukkan kekalahanku.
Aku pun sama. Aku sedang kebingungan menentukan dua pilihan dan itu alasannya kenapa aku datang ke kota ini. Tiga tahun yang lalu aku sempat melarikan diri dari kenyataan, pergi ke desa mengabdi di sana. Mempelajari psikologi orang-orang dengan berharap aku mampu menyelesaikan perkaraku sendiri. Memperdalam kecintaanku pada lingkungan sebab disana kudapati pelajaran berharga tentang alam yang sedang tidak baik-baik saja. Lagi-lagi sambil berharap bahwa fokusku teralihkan kepada isu yang lebih urgent untuk kupikirkan dibandingkan isu percintaan ini.
Sampai pada suatu hari, aku tau bahwa aku belum benar-benar menyelesaikan semua ini. Tidak bisa menyelepekan masalah sekalipun tentang perasaan.Melarikan diri ternyata bukan jalan yang tepat untuk menyelesaikan kerumitan. Pamitku harus tuntas. Aku harus bertemu dengan dua pilihan itu dan segera memutuskannya.
******
“Mbah, aku pilih konsep taman yang ini saja untuk diterapkan di halaman rumah,” kataku pada keduanya sambil menunjuk sebuah gambar di halaman pertama. Gambar dengan artistik sederhana, tapi menarik hati.
“Wah terlambat Nduk,” Mbah Putri menatapku iba.
“Dua-duanya tidak jadi dipilih soalnya dari kemarin nunggu keputusanmu lama banget. Si perias tamannya sudah keburu pergi ke luar kota,”
“Mbah serius?” aku mendadak kaget.
“Nanti kamu kerjain sendiri aja ya konsep taman dan kebun sayurnya. Mbah bantuin deh,” hibur Mbah Putri.
Aku tertegun.
Akankah begini nantinya ketika kuputuskan pilihan diantara keduanya?
Terlambatkah?
Penulis : Sekar A M