Berteman? Lama mencari jawaban yang tepat, namun tak pernah aku dapat. Sejak aku pertama kenal denganmu hingga sekarang, aku tak pernah tahu apa jawaban yang pasti. Yang jelas, selama aku ada, banyak hal yang kusadari. Kawanku tersayang, masih banyak cerita yang ingin kubicarakan. Tentang hal sepele yang membuat tawa kita berderai, ataupun tentang hal serius yang membuat kita berdebat tanpa ujung. Kawanku tersayang, jika apa yang dikatakan mereka tentang aku adalah benar, maka tolong rindukan aku seperti yang kau lakukan pada ibumu. Kutuliskan kenangan ini untukmu yang pernah menjadi ada di antara kisah-kisahmu.
Kenanganku yang benar-benar nyata adalah hari ketika aku melihat kematian Bapak. Di gang kecil depan rumah, Bapak meninggal ditabrak mobil derek yang menarik dua mobil di belakangnya. Tepat pukul empat dini hari. Lampu mobil berpendar, mati, lalu hidup, dan begitu seterusnya. Tak ada seorang pun yang peduli saat aku berlarian meminta tolong di sepanjang lorong gang hingga cahaya lazuardi menguasai langit yang semula gelap dan mobil-mobil polisi yang datang terlambat. Pagi itu menjadi bising.
Aku kenal seorang yang bernasib sama denganku. Namanya Eugene. Bapaknya meninggal bersama wanita yang kau panggil bibi. Mereka digilas oleh mobil listrik buatannya sendiri. Semenjak hari itu, ibunya ikut pergi menerima hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan bayangan darah dan amis itu sudah melekat kuat dalam ingatannya. Tapi, dia baru sembilan tahun. Masih terlalu kecil untuk kehilangan mereka. Nasibnya kurang lebih sama sepertiku. Kau kenal dia? Dia adalah engkau.
Tapi, setelah hari itu, kenangan-kenangan baru mulai terbentuk. Kenangan dengan penuh tawa berderai. Engkau tumbuh menjadi gadis SMA. Engkau cantik seperti kemilau lazuardi di hari kematian Bapak. Kau ingat, kenangan manis milik kita yang dimulai dari sebuah pertandingan bola voli. Berawal dari sebuah motor antik berbentuk jangkrik yang masuk ke halaman rumahku. Sungguh gayamu begitu kuno. Klakson terus kaubunyikan hingga aku keluar. Wajahmu begitu ceria. Tak ada lagi mendung yang menggayut di wajahmu seperti hari-hari yang lalu. Kau pandai memilih pakaian. Setelanmu begitu necis dengan celana beledu berwarna coklat tua dan kemeja katun berwarna putih. Ingat, kau ingin mengajakku menonton Karim yang menjadi hakim garis di hari itu. Hatiku membuncah membayangkan Karim.
Aku melihat Karim menengok ke arah kita. Wajahnya tersipu, merah di kanan-kiri. Kemudian ia melangkah ke kursi 23E, tempat kita duduk menonton. Di saat itu, aku tak mendengar apapun. Semua terasa senyap, bahkan debar jantungku tak dapat kudengar, hanya langkah demi langkahnya yang menggaung. Namun sial, ia sama sekali tak memandangku rupanya, hanya padamu seorang, Sayangku. Sungguh, mimpimu malam itu seolah menjadi nyata. Karim menghampirimu selepas pertandingan. Memang tak ada yang istimewa dari laki-laki itu. Tubuhnya tak sebagus para atlet voli. Tingginya pun tak sejajar dengan mereka. Dia hanyalah seorang hakim garis yang keberadaannya jarang dilihat. Lalu aku bertanya, apa yang membuatmu begitu jatuh cinta padanya? Dia jenius? Entahlah. Yang jelas, sore itu Karim tiba-tiba sudah berada di depan kita menawarkan sekeranjang jeruk padamu.
“Buat kamu,” suguhnya tanpa memedulikan keberadaanku.
“Aku?”gagap Engkau bicara dengan pipi putihmu yang menjadi ranum. Kau persis seperti badut berdempul bedak.
“Aku mau mengajak kamu ikut ini. Kalau kamu minat, besok aku ke kelasmu.” Kemudian ia pergi setelah memberikan selembar brosur. Kulihat wajahmu penuh dengan kebingungan. Kau bukan murid pintar, tapi kenapa selembaran lomba karya ilmiah itu ada di tanganmu? Seharusnya kau menolak saja karena paling banter kau hanya akan dimarahinya sebab kebodohanmu. Pandanganku beralih ke keranjang jeruk pemberiannya.
“Aku mau,” pintaku.
“Apa?”
“Jeruk,” dan Karim.
Engkau mengangguk dan tersenyum sangat lebar memberikanku sebuah jeruk dengan ukuran sangat besar. Kau tak berhenti tersenyum sepanjang menyusuri jalan layang. Celotehmu tentang Karim terus kudengar. Semua itu membuatku begitu jengah dan ingin segera sampai di rumah. Aku tahu semua tentang Karim. Tak perlu kau ceritakan pun aku sudah tahu karena aku lebih tahu daripadamu, Sayangku. Karena aku lebih dulu jatuh pada Kari
Baca Juga: Korban Posesif (Bagian 1)
Aku ingat betul apa yang terjadi. Romansa SMA, yang dikatakan orang-orang sebagai cinta mengebu-gebu yang tak jelas kemana ujungnya itu, terjadi pada kita berdua. Dimulai dari perlombaan karya ilmiah yang berujung pada petaka. Aku menjadi ada di antara kisahmu dan Karim. Karim memang tidak pernah melihatku. Tapi cukup dengan begitu aku puas memandangnya berhari-hari. Di spot barumu, di hutan jabon, kalian berdiskusi mengenai cara agar para petani jabon tidak dibodohi lagi oleh para tengkulak biadab,yang membeli kayu-kayu mereka dengan hitungan per buah. Tentu sangat merugikan. Maka seharusnya kayu itu dijual dengan timbangan yang pas, jadi penjualan akan adil. Dengan menghitung volume benda putar, itu adalah langkah yang paling tepat untuk mengatasi kerugian. Aku menyumbangkan ide itu kepadamu karena kau kawanku. Walau Karim tak pernah tahu bahwa ide itu berasal dariku, aku tetap bahagia. Karenanya, Karim bisa kupandangi setiap hari.
Sehari sebelum karyamu dikirim, aku bertemu Rube. Ya, dia yang pernah jatuh cinta padamu. Dia satu-satunya kawanmu di sekolah selain aku. Tapi itu dulu sebelum kau menjadi dekat pada Karim. Rube dihajar hingga nyaris mati karena ketahuan mengirim surat cintanya padamu. Kau harus tahu, Rube disiksa dengan mesin perata rumput oleh para utusan Karim. Tidakkah kau sadar, kau terlalu terlena lalu meninggalkannya seorang diri? Kawanku tersayang, seharusnya kau sadar bahwa cintamu itu bisa membawa petaka yang besar. Sejenak aku teringat dengan obrolan kita di senja yang aku lupa warnanya. Jingga kah? Ataukah keribang? Atau mungkin keduanya yang terlukis berantakan. Kemudian kau bercerita tentang khayalanmu semalam.
Kau katakan teman itu adalah tentang kesamaan. Jika ia bodoh, maka temannya pastilah bodoh. Jika ia disiplin, maka temannya pastilah disiplin. Jika ia seorang jenius, maka temannya pastilah jenius. Semua orang berada di klan-klan yang kau bentuk sendiri. Hingga suatu hari si jenius nan disiplin membuat mahakarya yang mengagumkan, seperti yang dilakukan bapakmu dengan mobil listriknya. Yang membuat mereka, para pencipta teknologi, menjadi penguasa yang lalim dan mengaku diri mereka adalah seorang tiran yang patut dipuja. Kemudian, di mana klan orang-orang bodoh? Kau bilang, mereka akan membungkuk di bawah kemajuan yang para jenius buat. Menyembah hingga ada masa yang membuat para jenius merasa tersaingi oleh sesamanya. Lalu mereka akan saling menghancurkan dan kehancuran itu akan meledak di seluruh semesta. Tak ada mesin, tak ada sinyal, tak ada lagi dunia tanpa batas di saat teknologi yang mereka ciptakan musnah, maka binasalah mereka.
Di saat itu, si bodoh datang. Rupanya mereka tidak benar-benar bodoh. Mereka sudah tahu apa yang akan terjadi, lagaknya seperti kahina Persia yang tahu tentang masa depan. Mereka sudah menyiapkan legiun berkendara kuda, panah, dan pedang yang kemudian tersula ke dada para penguasa yang lalim itu. Si jenius mati setelah mereka damprat dengan senjata kecil yang tak pernah lawannya bayangkan. Kemudian aroma amis dan bau tinja terakhir dari mayat-mayat itu tercium. Membuatku ingin muntah walau hanya dengan membayangkannya saja. Pada akhirnya, si bodoh menjadi penguasa. Dunia menjadi aman. Tak ada lagi yang bertindak lalim. Dan si bodoh, namanya telah berubah menjadi bebas. Kini, klan bebas. Perayaan mengusir kelaliman telah di depan mata dan semua berpesta pora.
“Kau berada di klan yang mana, Eugene?” tanyaku.
“Aku?” matamu menerawang. “Aku berada di satu kelompok denganmu, kawan. Dan Rube tentunya. Kita akan ada di barisan paling depan. Duduk di atas pelana kuda dan dengan gagah menarik busur panah dan cuuuus! Anak panah terpacak. Pedang tersula menembus dada. Mereka semua terjengkang dari posisinya.” Pikiranmu mengawang dan tawamu menggema di dalam kamarku.
“Itu hanya khayalanmu, Eugene. Kau hanya terbawa emosi karena tak terima dengan hukuman terlambatmu tadi pagi. Itu kenyataannya. Kau marah karena kau dan Rube dihina oleh para guru yang mengatai kalian bodoh dan selalu terlambat.”
“Tidak, aku sama sekali tidak marah! Aku hanya ingin membuktikan bahwa yang mereka katakan jenius itu akan hancur di tangan orang yang mereka panggil bodoh!” tanganmu mengepal diacungkan tinggi ke langit-langit. Wajahmu merah menonjol di sana-sini. Kau emosi.
“Tidak mungkin. Kita hanya bertiga. Mana mampu membentuk sebuah legiun. Mana mampu melawan para jenius itu.”
“Kata siapa? Buktinya ibuku bisa membunuh Bapak. Bapak itu orang terhebat di kota ini. Sudah banyak mobil, kereta, jalan layang, dan masih banyak lagi yang sudah Bapak buat. Tapi tetap saja kalah dengan mobil listrik rakitannya sendiri. Masih saja kalah dengan ibuku yang tak tahu apa-apa. Kita hanya butuh keberanian seperti Ibu. Gilas, gilas, dan meraka akan hilang.”
Aku ingat setiap detail kalimat yang kau ucapkan senja itu. Kalimat yang menegaskan bahwa kita adalah sekawan yang siap tempur melawan musuh-musuh yang menghinamu. Tapi di satu bulan kemudian, karya ilmiahmu telah selesai. Kupikir tak ada lagi tempatku untuk melihat Karim sepuasnya. Aku sendiri berhari-hari di rumah. Kau juga tidak pernah mengabariku lagi setelah hari itu. Kudengar, kau dan Karim telah menjalin hubungan yang lebih dekat, saling melemparkan nafsu cinta masa remajamu. Hatiku menjadi busuk mendengarnya, sama busuknya seperti jeruk pemberian Karim di kamarku. Aromanya tak lagi manis, melainkan asam bercampur pahit yang tersebar dibawa angin, mendesau ke seluruh penjuru kamar. Aku muak dengan kisah cintamu.
Lalu busuk di hatiku berlanjut menyisakan birat yang menjijikan di sana. Sudah kuputuskan bahwa akan kudatangi rumahmu. Akan kulakukan apa yang pernah ibumu lakukan pada bapakmu. Akan kuhidupkan mobil rakitannya yang mampu mengenang bau amis darahnya yang berceceran di jalan. Pikirku tak ada yang salah dengan ini, posisiku sama dengan ibumu. Sedangkan kau mirip dengan wanita yang kerap bapakmu bawa ke rumah. Kenapa? Jika kau berpikir tindakan ibumu benar dengan menggilas tubuh mereka karena dibakar api cemburu, maka itu sama saja denganku. Aku benar.
Tapi satu hal terjadi di hari itu. Hal yang memuat kenangan pahit kita. Aku memasuki rumahmu lewat pintu garasi di sisi kanan, pintu yang tidak pernah kau buka sebelumnya, pintu tempat bapakmu merakit mobil. Di situ kau telah masuk ke dalam klan jenius bersama Karim. Kau tinggalkan Rube sendiri dihajar dan di saat yang sama kau justru ingin membunuhku.
“Dia kawanku, Karim…” semula lembut kau bicara.
“Tidak ada kawan yang seperti itu, Eugene. Dia tidak ada…,” Bah! Hatiku teriris mendengarnya. Dia yang memang tidak pernah menganggapku ada.
“Ada, dia selalu ada. Kau yang tak pernah mau kukenalkan padanya.”
Kau bicara. Kau terisak. Akupun ikut terisak di tempatku berdiri. Eugene, kau telah membelot ke klan sebelah. Aku kawanmu tersayang. Yang dia katakan mustahil, Sayang.
“Dia ada. Hari ini dia akan membunuhku, seperti yang Ibu lakukan, karena kau Karim. Karena dia lebih menyukaimu.” Sungguh aku masygul mendengarnya. Air keluar dari sudut mataku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sesaat aku mencintai Karim si jenius hingga aku ingin membunuh kalian, tapi sesaat kemudian aku sungguh benci Karim yang mengotori pikiranmu dan takut kau akan membenciku. Kawanku tersayang, aku berjanji saat itu bahwa tak akan lagi sudi mempunyai niat untuk membunuhmu. Pikiranku berkarut saat itu.
Baca Juga: Gerak-Gerik Wanita Jalang
“Eugene, dia hanya halusinasimu. Dia adalah kamu sendiri, kamu di masa kecil. Dengarkan, dia hanya bayangan saja.” Bohong! Aku jelas ada dihari-harimu, Eugene. “Tidak. Kau perhatikan baik-baik, dia sama denganmu. Bapaknya tidak ada dan jiwanya mirip dengan ibumu. Dia hanya bayang yang kauciptakan. Kau hanya akan tersiksa sendiri. Biarkan dia pergi.” Karim memelukmu erat. Matamu tertuju padaku. Aku merasa tertusuk hanya dengan sorot itu. Aku takut. Badanku menggigil.
Semenit…
Dua menit…
Kau hanya memandangku dalam-dalam. Lalu menit-menit berikunya kau membuka mulutmu seakan ingin bicara.
“Hei,” kau menyapaku dan aku tak mampu membalas. Rasanya beku. “Kawanku tersayang, terima kasih sudah menjadi kawanku bertahun-tahun lamanya. Kau dengar, tak ada perayaan kebebasan untuk kita, Sayang. Aku salah sedari awal. Aku ingin bebas darimu. Maafkan…”
Kemudian aku lupa apa yang terjadi selain tangisan darimu dan dariku. Karena dari detik itu aku hilang dari pandangmu. Setelahnya, aku hanya mendengar kabar dari burung tentangmu, Eugene. Katanya kau rutin melakukan hal yang kau sebut terapi, tapi aku lebih suka menyebutnya penyiksaan. Kau masuk ke dalam ruang serba ungu itu. Mesin-mesin berbentuk helm menggenggam kepalamu bergantian. Kau berbicara pada layar-layar raksasa berwarna hijau neon, berbicara tentangku yang kemudian hilang perlahan dari pikiranmu.
Eugene, sekarang aku sedang sekarat dari skizofreniamu yang perlahan menyembuh. Kawanku tersayang, rayakanlah kebebasanmu. Tak perlu ada darah di masa depan. Tak perlu ada anak panah ataupun pedang yang tersula. Usirlah kebodohon. Jangan sampai ada yang dihina bodoh lagi seperti dirimu. Kau hanya perlu melangkah maju bersama Karim, menciptakan mahakarya, seperti yang bapakmu lakukan. Jangan panggil aku lagi karena aku adalah penjaramu yang memaksamu diam dalam bayang-bayang yang pahit tentang kematian.
Maka, sebelum aku benar-benar hilang, kutuliskan ini untukmu, Sayang. Tolong rindukan aku seperti yang kau lakukan pada ibumu karena aku pernah ada di antara kisah-kisahmu. Akulah sang kemilau lazuardi yang terus membayangimu. Melangkalah. Rayakan kebebasanmu tanpa diriku.
Penulis: Mar’atushsholihah