mimbaruntan.com, Untan – Suasana Idul Fitri tahun ini dirasakan penuh syukur oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang. Pasalnya, para Ahmadi (orang yang menganut pandangan Islam Ahmadiyah) masih dapat merekatkan kembali hubungan sosial, yang sempat terdampak akibat pembongkaran Masjid Miftahul Huda pada 3 September 2021 lalu.
Hari itu, 2 Mei 2022, terlihat ibu-ibu menyibukkan diri mempersiapkan berbagai hidangan dengan penuh suka cita. Satu di antaranya ialah Diah (bukan nama sebenarnya), ia menata minuman dengan kehati-hatian. Namun, raut wajahnya tak henti melemparkan segaris senyuman.
Di hari yang suci tersebut, satu persatu rumah tetangga ia datangi bersama anggota Jemaat Ahmadiyah. Sambutan baik pun diterima oleh mereka, para tetangga mempersilakan mereka masuk untuk mencicipi aneka kue kering yang memenuhi meja.
“Rasanya sangat rindu dengan suasana seperti ini. Kami tetap berupaya untuk membangun kembali silaturahmi kepada para tetangga, karena kita semua bersaudara,” ucapnya.
Haru yang sama disampaikan oleh Karsono, Ketua Cabang JAI Desa Balai Harapan. Ia mengenang, pasca pembongkaran Masjid Miftahul Huda, hubungan antar-warga di Balai Harapan turut terdampak. Masyarakat yang sudah tinggal selama bertahun-tahun bersama jemaat Ahmadiyah seketika menutup diri.
Demi memperbaiki komunikasi dan merekatkan kembali rasa persaudaraan, Karsono selama Ramadan mengajak Laila (bukan nama sebenarnya) bersama kaum ibu dan anak-anak Ahmadi, untuk kembali bersilaturahmi kepada masyarakat sekitar.
Tak hanya itu, usaha lain juga Laila upayakan. Setiap Minggu, ia bersama Diah membuka les gratis bagi anak-anak di Desa Balai Harapan, yang diikuti pula oleh anak-anak di luar Ahmadiyah. Semua upaya ini ia lakukan untuk berdamai dengan keadaan. Laila menyadari bahwa menjalin silaturahmi adalah cara terbaik untuk dapat memperbaiki kesalahpahaman, terkait isu tentang Ahmadiyah.
Menurut Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Cabang Desa Balai Harapan, Arif, pendekatan melalui silaturahmi merupakan upaya untuk menghilangkan kebencian, sebagaimana ajaran Islam.
Ia menuturkan, saung yang baru saja dibangun tepat di depan Masjid Miftahul Huda, diperuntukkan sebagai tempat silaturahmi masyarakat agar saling mengenal. Arif mengibaratkan batu karang yang keras, jika terkena ombak pun akan terkikis.
Arif mengatakan, silaturahmi secara terus menerus akan menghilangkan salah paham. Dia berharap pemerintah dapat terlibat dalam mengedukasi masyarakat, juga membuat kebijakan yang tidak tumpang tindih tentang Ahmadiyah.
“tak semestinya masalah keyakinan dapat merusak hubungan sosial, yang sudah terbangun sejak lama,” tuturnya, Jumat (22/4/2022).
Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Pasca Pembongkaran Masjid
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Iqomah perlahan dikumandangkan oleh seorang Ahmadi. Jemaat Ahmadiyah merapatkan shaf untuk melaksanakan Salat Magrib berjamaah. Ini adalah rutinitas yang mereka lakukan sepanjang bulan Ramadhan tahun ini.
Jemaat tetap melaksanakan salat dengan khusyuk. Mulai dari takbiratul Ihram hingga tahiyat akhir, lantunan ayat suci Alquran tak henti dibacakan oleh imam dengan begitu khidmat. Mencermati salat berjamaah yang dilaksanakan JAI, nyatanya tak berbeda dengan salat kaum muslim pada umumnya. Padahal selama ini beredar informasi bahwa JAI melaksanakan ibadah yang berbeda dari umat Islam.
Ahmadi sering kali disebut sesat dan menyesatkan. Dipanggil teroris, dituduh sedang merakit bom, hingga ucapan bahwa bacaan salat-nya berbeda. Ada juga pernah terdengar, yang menyebutkan kitab suci-nya bukan Al-Qur’an dan kalau naik haji ke India.
“Yang terparah itu adalah kami dianggap tidak mengakui Rasulullah sebagai nabi terakhir. Kalau memang benar Ahmadiyah mengajarkan demikian, kami pun tidak akan mau bergabung di sini,” papar Sajid, Ketua Cabang JAI Sintang.
Setelah melaksanakan salat berjamaah, kaum bapak dan ibu menyimak khutbah. Sedangkan anak-anak pindah ke saung untuk menghafal surah pendek dan bacaan salat.
“…..Asyhadu Alla Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah,” serempak belasan anak melantunkan syahadat di depan Diah dan Laila, pengajar di Jemaat Ahmadiyah.
Bagi Laila, semangat anak-anak menjadi energi positif untuknya agar terus memperjuangkan hak-hak para Ahmadi. Ia bercerita bahwa saat pembongkaran masjid, anak-anak jadi sering mengunjungi kediamannya dan bertanya tentang kondisi masjid yang tidak mereka pahami. Laila dan para Ahmadi dewasa kebingungan menjelaskan kondisi yang sebenarnya.
“Kapan kami bisa mengaji di masjid lagi, Bu? Kenapa kita tidak bisa salat di sana? Memangnya masjid kita kenapa? Kami rindu, kami bosan di rumah terus. Mereka selalu bertanya tentang hal itu,” ucapnya.
Laila mengatakan ada beberapa anak, yang rela berjalan kaki cukup jauh agar dapat melaksanakan salat dan mengaji bersama anak-anak lainnya. Suasana tersebut sudah lama tak ia rasakan, sembari menuntun anak-anak untuk melanjutkan hafalannya, Laila kembali bercerita.
“Alhamdulillah setelah mereka melihat secara fisik masjid sudah direnovasi, setidaknya mereka ceria lagi. Terkadang saya bilang kita kosong satu hari dulu ya untuk istirahat, tapi mereka meminta untuk mengaji setiap hari karena sudah rindu dengan masjidnya. Begitu cintanya mereka dengan masjid,” suara Laila terdengar bergetar, ada rasa haru dari setiap kata yang ia keluarkan.
Tak berhenti di situ, Laila berharap anak-anak tersebut tidak memiliki dendam kepada masyarakat sekitar. Ia berusaha menanamkan nilai moral yang selama ini Ahmadiyah ajarkan, “Love for All, Hatred for None” yang bila diterjemahkan artinya “Cinta untuk Semua, Tiada Benci Bagi Siapapun”.
Tinjau Ulang SKB 3 Menteri
Syera Anggreini Buntara, Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) SETARA Institute menjelaskan bahwa dalam banyak kasus seperti yang terjadi pada JAI di Balai Harapan, pemerintah cenderung terbawa arus tekanan. Satu di antara buktinya dapat dilihat dari hukuman bagi para pelaku yang diberikan sangat minim dan tidak menimbulkan efek jera, sehingga dikhawatirkan akan memicu konflik lanjutan di kemudian hari.
Bagi Syera, yang kerap kali melatarbelakangi terjadinya kasus intoleransi adalah ketegasan pemerintah. Pemerintah tidak seharusnya restriktif, tapi harus menjunjung KBB setiap warga negara Indonesia.
“Kita juga perlu memberikan pemberdayaan masyarakat sipil secara preventif, agar jika suatu saat terjadi lagi kasus serupa, tidak lemah dan tidak berdaya mengikuti tekanan itu,” tambahnya saat diwawancarai via Google Meeting pada Selasa (10/5/2022).
Syera melanjutkan, faktor lain yang menyebabkan terjadinya banyak kasus intoleran seperti pada JAI di Balai Harapan adalah terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang disahkan pada tahun 2008. Hal tersebut kemudian digunakan oleh beberapa kelompok untuk membenarkan tindakan persekusi, yang justru bertentangan dengan KBB.
SETARA Institute melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa kondisi KBB sesudah adanya SKB 3 Menteri, sepanjang 9 Juni 2008 hingga 31 Desember 2020, cenderung meningkat menjadi 507 kasus. Angka tersebut dibandingkan sebelum adanya SKB 3 menteri sepanjang tahun 1998 hingga 9 Juni 2008, yang berjumlah 144 kasus.
Syera menyebutkan, setidaknya 71 produk hukum skala nasional, skala provinsi, dan skala kabupaten/kota yang diskriminatif terhadap JAI. Dampaknya adalah derogasi hak-hak konstitusional JAI.
Pemerintah Kabupaten Sintang membuat 5 produk hukum yang diskriminatif sepanjang kasus perusakan Masjid Miftahul Huda. Satu di antaranya adalah Surat Edaran Gubernur Kalimantan Barat Nomor 450/3278/BKBP-D1 Poin A yang berbunyi:
“Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, sepanjang mengaku beragama Islam dan apabila tidak mengindahkan dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”
Selain berbagai produk hukum oleh pemerintah, terdapat pula fatwa MUI yang kerap kali menjadi landasan sejumlah tindakan intoleransi terhadap JAI.
Syera bersama SETARA Institute menyarankan agar pemerintah menilik ulang isi SKB 3 Menteri, yang menimbulkan banyak kasus intoleran, khususnya bagi JAI. Dilanjutnya Syera, pemerintah menyampaikan bahwa jika SKB ini dihapuskan, maka akan terjadi konflik horizontal di masyarakat.
“Seharusnya pemerintah tidak perlu khawatir jika mempunyai ketegasan. Kita juga tidak butuh produk hukum tambahan, karena kita punya produk hukum yang lainnya untuk melindungi warga negara Indonesia,” tegasnya.
Hal senada disampaikan pula oleh Isa Oktaviani, pendiri lembaga Satu dalam Persatuan (Sadap) Indonesia. Dengan berbagai macam bentuk keberagaman yang ada, harusnya nilai-nilai toleransi merupakan tanggung jawab bersama, bukan mendiskriminasi dan melakukan kekerasan terhadap kelompok-kelompok rentan seperti JAI.
Bagi Isa, masyarakat seharusnya bisa melihat, bahwa JAI tidak pernah sama sekali bermaksud memecah belah Indonesia, seperti melakukan persekusi atau kekacauan di suatu tempat.
“Coba cek kembali kembali aturan yang sudah dibuat, jangan dibiarkan berlarut-larut karena sudah sering terjadi,” ujarnya pada Rabu (11/5/2022).
Agar di kemudian hari tidak ada kasus intoleransi dengan pola yang sama, Isa mengatakan perlu adanya perjumpaan lintas iman, dan melibatkan anak muda dalam sebagai penggerak agar terciptanya ruang aman bagi setiap elemen masyarakat.
Isa melanjutkan, salah satu cara untuk mencegah terjadinya kasus intoleran adalah dengan membuat ruang bersama, menciptakan ruang-ruang perjumpaan lintas latar belakang. Perjumpaan ini dapat menggandeng masyarakat dan tokoh-tokoh penting.
“Secara manusiawi akan muncul sebuah kedekatan. Mungkin tantangannya masih kurang intens aja. Semoga ini bisa menjadi perhatian, baik bagi masyarakat, lembaga, maupun pemerintah,” tutupnya.
Penulis : Monica Ediesca
Editor : Dian Lestari
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.