Aku mengarang nasib dan mengukir retak tanganku sendiri.
Dari itu aku selalu merusak apapun yang ku sentuh.
Benda atau tak benda.
Ingatan kah?
Hati kah?
Cinta kah?
Awan atau angin?
Kemarau atau hujan?
Pagi atau senja?
Jingga atau abu-abu kah?
Aku kira hampir semua.
Tak lupa kurusak kebencian hingga harapan, harapan lalu-lalu.
Harapan esok ada, hari baru yang bukan senin hingga minggu.
Retak sentuhan yang berpadu congkak tatapan kalbuku.
Dengan sok melebur adat filsafat, adab, kitab-kitab.
Padahal “tiliklah!”
Aku tak lebih dari hantu yang muncul dalam dongeng “si kancil” anak-anak generasi kelabu.
Bukan cuma itu.
Adalah mimpi yang hinggap tetap di bibir sang Ibu.
Telah pula kusulap menjadi hancur batu-batu
Maaf, aku…
Penulis: Kiki Ramadani