Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji secara resmi membuka Seminar Hukum Internasional yang mengusung tema “Inovasi Akademik Hukum China-Indonesia dalam Konteks Belt and Road Initiative” yang diselenggarakan oleh Universitas Tanjungpura Pontianak (dilansir dari kalbaronline.com).
Dalam laman tersebut, dinyatakan seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM di Kalbar dengan meningkatkan layanan pendidikan bermutu, salah satunya dengan memperkuat jalinan kerja sama internasional dengan membentuk pusat bahasa asing.
Selain mengapresiasi kegiatan tersebut, Gubernur Sutarmidji juga berharap seminar tersebut dapat menghasilkan manfaat besar bagi hubungan lebih luas antara Tiongkok dan Indonesia. Terlebih lagi perdagangan di Kalbar perdagangan atau ekspor yang paling besar adalah ke negara Tiongkok.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Belt and Road Initiative (BRI) atau yang sebelumnya disebut dengan OBOR (One Belt One Road), adalah strategi pembangunaninfrastruktur global yang diadopsi oleh pemerintah Tiongkok/Cina sejak tahun 2013, untuk berinvestasi di hampir 70 negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa, dan Amerika.
Faktanya, metode OBOR adalah Cina memberi pinjaman dengan tenor 20 tahun dengan interest rate maksimal 3% (atau bisa lebih dari itu sesuai perjanjian) kepada berbagai negara debitur untuk membangun berbagai infrasruktur, yaitu infrastruktur darat seperti jalan kereta api, infrastruktur laut seperti pelabuhan, dan infrastruktur udara seperti bandara.
Dalam pemberian pinjaman tersebut Cina sebagai kreditur mensyaratkan negara-negara debitur wajib mempekerjakan naker (TKA) dari China dan menggunakan bahan atau material seperti semen, baja, dan lain-lain dari China (dilansir dari muslimahnews.com).
Berdasarkan fakta tersebut, nyatalah bahwa ekspansi Cina melalui proyek BRI adalah jalan menancapkan hegemoni Cina di berbagai negara termasuk Indonesia. Melalui jerat hutang ribawi, Cina akan menguasai sumber daya alam (SDA) negeri ini atas nama investasi. SDA di negeri gemah riwah loh jinawi ini dikeruk dan diangkut ke Cina (juga negara lain yang berinvestasi di Indonesia), sementara rakyat negeri ini hanya mendapat remah-remah hasil dari penjarahan SDA tersebut.
Baca juga : No Insecure, Knowing Yourself, and Love Yourself
Memang banyak negara yang berinvestasi di Indonesia. Sebab regulasi yang dibuat pemerintah memang menjadi karpet merah asing untuk menguasai SDA di Indonesia. Namun sesuai konteks awal tulisan ini, ekspansi Cina semakin mengukuhkan hegemoni timur di tengah derasnya aus hegemoni barat yag selama ini telah menjajah Indonesia.
Seluruh hegemoni yang berusaha menguasai harta kekayaan negeri ini jelas tidak dibenarkan, dan semakin menambah penderitaan rakyat. Tak terkecuali kaum intelektual, kini juga tersandera oleh kepentingan kapitalis. Pembentukan pusat bahasa asing di kampus dan rencana pertukaran mahasiswa dengan Cina jelas menunjukkan keberpihakan civitas kampus pada kerjasama Indonesia-Tiongkok. Dan ini mengindikasi ketundukan akut penguasa pada hegemoni Tiongkok di Indonesia.
Semua ini bermuara pada kapitalisasi di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Kapitalisasi dunia pendidikan tidak menjadikan kampus sebagai pencetak kaum intelektual yang berguna untuk umat, tapi menjadi “toserba” yang siap melayani kapitalis. Keadaan ini semakin diperparah dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja (OL Ciptaker). Keran investasi asing sudah dibuka lebar lewat pemberlakuan UU ini.
Kini daerah bersiap membukanya semakin lebar lewat kajian-kajian ilmiah dan hukum sebagai base-evidence legitimasi kebijakan pro-investasi Tiongkok. Maka kedepannya, akan semakin nampak penguasaan Tiongkok pada sektor-sektor vital Kalbar, tak terkecuali invasi TKA dan potensi intrik dengan masyarakat lokal akan semakin tajam.
Padahal sebagai pencetak para intelektual, kampus seharusnya paling terdepan dalam mendeteksi adanya potensi hegemoni asing dalam perjanjian internasional dengan Tiongkok selama ini. Mereka menguasai pasar di Indonesia dengan produk mereka, sementara rakyat menjadi konsumen saja.
Sejatinya, rakyat membutuhkan gagasan pemikiran para intelektual tentang bagaimana untuk bisa lepas dari hegemoni barat dan timur, bagaimana untuk bisa menyelesaikan kemiskinan sistemis, bagaimana untuk bisa lepas dari kepemimpinan rezim tirani dan zalim di negeri-negeri mereka, bagaimana untuk bisa melindungi anak-anak generasi dari jerat pornografi, free sex, narkobadan semacamnya.
Rakyat membutuhkan gagasan pemikiran intelektual tentang bagaimana caranya melindungi aset kekayaan alam di negeri mereka dari jarahan asing, bagaimana melindungi nyawa anak-anak mereka dari serbuan militer asing, bagaimana melindungi kehormatan perempuan dari para penista.
Itulah harapan terbesar seluruh rakyat terhadap kaum intelektual. Dengan tanggung jawab ilmu dan intelektualitas pada dirinya, kaum intelektual semestinya berada di garda depan dalam menyuarakan kebenaran dan menghilangkan penjajahan manusia dalam bentuk apapun. Bukan malah tersander oleh kepentingan para kapitalis. (*)
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com
Penulis: Fanti Setiawati
Alumni FMIPA Untan, Anggota Komunitas Tinta Peradaban Ketapang