mimbaruntan.com, Untan – Queerbaiting merupakan istilah populer untuk strategi marketing yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, industri hiburan, atau seorang public figure untuk menarik minat audiens non-heteroseksual. Mereka sengaja membuat produk atau konten yang mengandung unsur LGBT, semata-mata untuk meraup keuntungan.
Banyak perusahaan besar ikut menggalakan kampanye gay rights di bulan Juni ini (yang oleh kalangan LGBT disebut sebagai pride month). Perusahaan-perusahaan tersebut sengaja mengubah logo mereka, tema akun sosial medianya, hingga iklan-iklan yang diluncurkannya dengan unsur-unsur LGBT (seperti menggunakan warna pelangi layaknya pride flag). Namun tidak banyak yang menyadari, bahwa beberapa perusahaan yang ikut “meramaikan” pride month ini belum tentu benar-benar pro terhadap hak LGBT, melainkan hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil hati kalangan LGBT. Andilnya perusahaan-perusahaan tersebut adalah bentuk pencitraan busuk untuk meraih simpati banyak orang, khususnya kalangan LGBT. Dengan strategi queerbaiting, mereka akan memperoleh keuntungan lebih.
Sama halnya dengan industri hiburan, banyak yang mungkin tidak menyadari—atau barangkali mengabaikan—bahwa rumah-rumah produksi yang merilis film-film romansa sesama jenis memiliki tujuan yang tidak berbeda, yakni untuk meraup keuntungan. Karena saat ini, film-film bergenre boys love (percintaan sesama jenis antara laki-laki dengan laki-laki) semakin populer di kalangan remaja yang mayoritasnya adalah perempuan.
Publik sepertinya sudah tidak asing lagi dengan eksistensi komik-komik, novel, fanfiction, hingga film yang menceritakan hubungan sesama jenis. Bermunculan film-film drama boys love, yang kebanyakan merupakan produksi luar negeri seperti Thailand. Kini hiburan-hiburan dengan unsur LGBT tidak hanya berhasil menarik minat audiens dari kalangan LGBT, namun juga kalangan non-LGBT atau heteroseksual.
Baca juga:Kriminalisasi LGBT di Indonesia: Perlukah Adanya Pidana Bagi Kaum LGBT?
Lambat laun, hiburan tersebut seolah semakin dinormalisasikan. Kini kita akrab dengan istilah “fujoshi” dan “fudanshi”. Fujoshi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang secara harfiah berarti “Perempuan Busuk”. Istilah ini merupakan sebutan untuk perempuan yang menggemari manga (komik Jepang) bertemakan hubungan sesama jenis. Fudanshi memiliki makna yang tidak berbeda dari fujoshi, hanya saja diperuntukan bagi laki-laki.
Dengan semakin banyaknya peminat hiburan bergenre boys love atau yaoi, industri-industri hiburan semakin gencar memanfaatkan peluang ini untuk menarik keuntungan. Mereka sengaja merekrut aktor-aktor berparas rupawan agar dapat dengan mudah diterima oleh publik. Tentunya adegan-adegan yang dilakukan oleh aktor-aktor tampan tersebut akan mengundang “gemas” dari publik yang menyaksikannya. Adegan yang dikemas dengan dialog-dialog flirty yang mengundang baper, memunculkan fantasi-fantasi liar tentang hubungan sesama jenis yang dianggap lebih menantang dan menggairahkan.
Tidak banyak yang tahu, atau mungkin saja sengaja mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua aktor yang memainkan peran tersebut benar-benar seorang Gay, melainkan seseorang yang hanya ingin meraup keuntungan atau memperoleh bayaran yang besar. Memiliki tujuan yang tidak berbeda dengan rumah produksi yang merekrutnya.
Tidak sedikit juga public figure dan influencer, yang sengaja membuat konten dengan unsur Gay, hanya untuk menarik perhatian publik. Semakin banyak publik yang menyukai, nama mereka semakin melambung, tawaran pekerjaan semakin banyak, dan peluang semakin besar.
Hiburan “pelangi” yang dinormalisasikan tentu memberi banyak dampak buruk bagi publik yang mengonsumsinya. Hiburan ini bisa saja menumbuhkan stigma publik tentang indahnya hubungan pasangan sesama jenis. Sayangnya, mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa romansa sesama jenis realitanya tidak seindah yang disajikan dalam film dan orang-orang yang menjalin hubungan sesama jenis di kehidupan nyata tidak selalu bertubuh kekar serta berparas rupawan seperti yang biasa dilihatnya di film.
Jatuhnya ekspektasi, menimbulkan tindakan diskriminasi. Memunculkan standar busuk yang seharusnya tidak pernah ada. Mungkin pembaca sudah tahu kemana arahnya pembahasan ini.
Ya, belum lama ini publik mengenal sosok Victor dan Alden yang merupakan eks peserta ajang lomba memasak paling bergengsi di Indonesia. Kedua pria berparas tampan ini kerap kali menunjukkan kedekatannya di sosial media. Netizen mengaku “gemas” melihat tingkah laku mereka yang suka menjahili satu sama lain. Tak sedikit juga yang menebak bahwa kedekatan mereka hanya sebuah setting-an untuk menarik perhatian penggemar.
Jika kita tilik dari awal, mereka tidak pernah memberi keterangan atas hubungan mereka. Netizen lah yang mencocok-cocokkan. Netizen lah yang dari awal meng“kapal-kan” hubungan mereka. Padahal Victor dan Alden sendiri tidak pernah mengkonfirmasikan status hubungan mereka. Bahkan baru-baru ini, Alden mengaku bahwa hubungannya dengan Victor hanya sebatas teman.
Baca juga:Bunda Mayora, Transpuan Gigih dari Fajar Sikka
Netizen yang mendukung kedekatan mereka tak mungkin jauh dari kalangan fujoshi, penggemar atau penikmat boys love dan hiburan “pelangi”. Karena siapa lagi jika bukan mereka-mereka, yang sudah terbiasa dengan hiburan semacam itu, yang dapat menerima dan mendukung hubungan Victor dan Alden. Tentunya, Victor dan Alden bisa saja memanfaatkan hal ini untuk mengangkat nama mereka. Melakukan queerbaiting. Meski mau tidak mau harus terjebak dalam lingkup bromance demi mempertahankan kesetiaan penggemar.
Lantas bagaimana dengan pasangan Ragil dan Frederik yang jelas mengkonfirmasi status hubungan mereka? Apakah netizen memberi perlakuan yang sama seperti bagaimana mereka memperlakukan Victor dan Alden?
Sayangnya tidak. Ragil dan Frederik lebih banyak mendapatkan komentar buruk, hujatan, diskriminasi, serta dipandang buruk dan menjijikan. Alasannya, karena Ragil dan Frederik terang-terangan menunjukkan status hubungan mereka. Hubungan Ragil dan Frederik jelas sulit diterima publik. Tidak semudah hubungan Victor dan Alden yang tidak hanya diterima namun juga didukung. Hubungan yang jelas palsu dan dibuat-buat.
Ini mungkin sedikit kasar, tetapi kita tidak bisa mengelakkan bahwa publik lebih mudah menerima Victor dan Alden karena mereka dianggap lebih tampan dan good looking. Victor dan Alden mungkin memenuhi standar mereka, sementara Ragil dan Frederik tidak.
Pasangan tampan rupawan, itulah yang diinginkan mereka. Ketika menyadari bahwa di kehidupan nyata, pasangan sesama jenis tidak selalu setampan yang mereka lihat di film, saat itulah standar mulai terbentuk. Standar busuk yang terbentuk oleh obsesi dan berujung pada sikap diskriminasi. Dengan standar itu, mereka seolah beranggapan bahwa gay itu terkutuk, pasangan gay itu menjijikan, tapi untuk beberapa orang (yang memenuhi standar mereka) ada sedikit pengecualian.
Tanpa sedikit pun membenarkan pihak siapa pun, publik lah yang seharusnya lebih cerdas dan berpendirian. Cerdas dalam artian dapat memilih hiburan yang sehat dan bermanfaat. Lebih selektif memilih hiburan yang dinikmatinya, agar tidak mudah terpancing oleh industri-industri hiburan atau public figure yang melakukan strategi queerbaiting.
Publik juga harus berpendirian. Berpendirian dalam artian tahu dimana ia berpijak. Tidak sepantasnya seseorang yang menyukai film-film BL dan menikmati konten-konten dengan unsur LGBT, justru bersikap diskriminatif pada kalangan LGBT di kehidupan nyata. Memandang jijik dan mengutuk mereka yang tidak sesuai dengan standarnya. Tidak sepantasnya membuat pengecualian dan setengah-setengah dalam berpijak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak perusahaan di luar sana yang mempraktekkan queerbaiting. Membeli atau tidak membeli produk yang mereka tawarkan adalah hak masing-masing individu sesuai kebutuhannya.
Tidak banyak yang bisa kita perbuat untuk menghentikan praktik queerbaiting ini. Namun, yang terpenting saat ini adalah kepekaan dan kehati-hatian kita dalam mengonsumsi hiburan. Jangan mudah tertipu oleh gimmick dan diperdaya oleh fanservice. Industri hiburan penuh dengan sandiwara. Tingkah laku para aktor di dalamnya penuh dengan kepalsuan. Tak lebih dari boneka yang dimainkan oleh harta dan popularitas.
Penulis: Ibnoodle
Sumber:
https://www.dictionary.com/e/slang/queerbaiting/
https://www.urbandictionary.com/define.php?term=queerbaiting
https://futekiya.com/what-is-fujoshi-fudanshi/
https://www.animenewsnetwork.com/feature/2016-12-21/what-is-a-fujoshi/.109594
*) Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi mimbaruntan.com.