Allahuakbar-allahuakbar, lailahaillallah-huallahuakbar, allahuakbar walillahilham begitu bunyi lafaz takbir yang memenuhi ruang di salah satu selasar Rumah Retret Panti Samadi Nasare, Jatingaleh, Kota Semarang, (03/02).
Takbir itu ia gaungkan ketika ingatannya melambung ke suatu tempat di pedalaman Jawa Timur, pada dekade 60an saat Idul Fitri tiba. Lantunan yang serak-serak berat, jika anda lebih tahu suara Emha Ainun Nadjib mungkin bisa dikatakan mirip dengannya. Meski terdengar fasih, akan keliru jika berpikir takbir itu keluar dari orang islam. Suara itu tak lain keluar dari rongga imam keuskupan agung Semarang, Romo Budi.
Dengan saksophone di tangannya, ia juga tanpa alergi melantukan irama yang kental dengan suasana islam. Syi’ir tanpo waton yang diciptakan oleh Gus Dur mengalun indah di ruang wisma ret-ret samadi. Ia memang seringkali melakukan itu. Memesona orang di luar agamanya, dengan kemampuan yang ia miliki. Tentu bukan untuk menyombongkan diri, namun memberi sadar bahwa keberagaman bukanlah suatu yang harus dihindari.
“Keberagaman itu indah dan bukan ancaman. Keberagaman sebenarnya harus kita syukuri,” pesan Romo.
Aloysius Budi Purnomo atau juga yang sering disapa Romo Budi lahir dari keluarga Katolik di Baturetno, Wonogiri. Dia anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Purwoatmojo yang sempat jadi bruder dan Sisilia Pursuharti yang seorang koster gereja. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi pastur meski tumbuh dan berkembang di lingkungan yang majemuk.
Ketika ditemui di kediamannya di Wisma Ret-ret Samadi Nazaret, Jatingaleh, Kota Semarang, ia sedang dalam sesi istirahat setelah mengikuti pertemuan antara anggota Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK-KAS) di Aula Wisma Ret-ret. Pertemuan yang membahas tentang bagaimana kerja HAK-KAS untuk waktu kedepan.
Dalam pertemuan itu, ia berstatus sebagai demisioner dari ketua HAK-KAS setelah bertugas selama hampir 11 tahun yaitu sejak Mei 2008. Dan selama itu pula ia melanjutkan menyebarkan nilai-nilai perdamaian romo sebelumnya yaitu romo mangunwijaya dengan berbagai cara.
Menyebar perdamaian dengan HAK-KAS
Kotribusinya begitu besar melalui HAK-KAS itu, ia banyak menginisiasi pertemuan-pertemuan, srawung lintas agama dan kepercayaan. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan perdamaian yang memang menurutnya suatu sifat alami yang ditinggalkan manusia indonesia kini. Sebut saja srawung persaudaraan sejati orang muda lintas agama Oktober 2018 lalu yang dihadiri oleh hampir 900 orang atau pertemuan “perempuan berkerung beragama islam dan katolik” maret 2016. Serta banyak macam upaya itu sejak ia memimpin pertama kali memimpin HAK-KAS.
Selain kegiatan lintas iman yang ia inisiasi, ia juga mendirikan sebuah majalah rohani berjudul inspirasi. Majalah bulanan yang diedarkan ke penjuru tanah air. Majalah itu menurutnya sebagai salah satu media yang digunakan untuk menyebarkan nilai keberagaman di internal agama katolik. Tidak berlebihan karena muatan yang didalamnya bukan hanya seputar permasalahan dalam perspektif katolik.
“sebuah karya jurnalistik yang juga searah dengan visi teman-teman(merawat keberagaman, membela yang terpinggirkan), nah kita ada kolom ekumene, kolom interreligius”
Hingga kini majalah tersebut masih eksis dan hidup murni dari biaya iklan dan langganan para pembacanya di berbagai wilayah di indonesia.
Hubungan Baik dengan Pemuka Agama Lain
Romo Budi juga menyadari bahwa ia sebagai pemuka agama harus memberikan contoh baik dalam penyebaran nilai perdamaian. Salah satunya dengan bersilaturahmi dengan berbagai kalangan dari sesama katolik hingga agama-agama lain.
Sebut saja Gus Dur, Mustofa Bisri atau Gus Mus, Gus Nuril, Cak Nun, Habib Luthfi dan banyak lagi dari berbagai agama dan kepercayaan lain. Silaturahmi atau sowan tersebut bukan hanya berkunjung namun juga sebagai bentuk imannya.
“Maka jika ada warga katolik yang hanya sembunyi, bermental getho, diragukan keimanan dan kekatolikannya secara benar,” ia menjelaskan.
Silaturahmi yang ia bangun semakin kokoh bukan hanya dengan berkunjung, tapi juga sering kali ia berkolaborasi dengan kepiawayannya memainkan saksophone. Sebuah mini saksophone pemberian yang ia gunakan saat berkolaborasi dengan kelompok musik Kiai Kanjeng dan Cak Nun, solawatan bersama di pondok pesantren milik Gus Nuril hingga mengiringi puisi Gus mus dan tarian Sufi.
Semua yang ia lakukan itu menurutnya atas kerinduannya dengan kerukunan dan kedamaian yang ramai saat ia muda namun seakan hilang di masa tua nya. “Maka sampai saat ini, saya selaku ketua komisi HAK Demisioner, saya begitu banyak belajar dari leluhur saya yang baik-baik saja, maka saya itu bertumbuh dari peralihan dulu baik-baik saja, dan sekarang seperti ini, kok bisa ya?,” ia berheran-heran.
Romo ini bukan hanya paham secara teoritis namun ketika agama ia aplikasikan secara keseluruhan dalam kehidupan, maka harmoni akan selalu tercipta. Dan itu yang selalu ia sampaikan hingga kini di tahun ke 51 hidupnya. []
Oleh: Adi Rahmad