Selama satu jam perjalanan kami tiba di Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Mempawah yang menjadi lokasi pembangunan Pelabuhan Internasional Kijing. Sepanjang perjalanan tampak rumah-rumah yang hanya tinggal kerangka. Beberapa masih ada rumah yang utuh dan bertuliskan “Rumah ini masih dalam pengawasan justisia” kurang lebih begitu narasinya. Tujuan kami saat itu untuk menyaksikan proses pembanguan pelabuhan, sambil melihat kehidupan nelayan. Namun warga setempat mengatakan sejak pembangunan pelabuhan dikerjakan pada awal 2018, aktivitas nelayan sudah terhenti terhitung sejak satu tahun lamanya.
Tak putus semangat, kami mencoba mencari kehidupan masyarakat nelayan yang masih beraktivitas melaut. Dengan ditemani warga setempat, akhirnya kami sampai di Dusun Nelayan. Tampak belasan kapal nelayan dengan warna-warni bersandar di tepian daerah pantai. Bau ikan asin menusuk hidung ditengah cuaca yang terik. Beberapa pria paruh baya sedang berbincang dibawah pohon rindang sambil menikmati batangan rokok dan segelas kopi ditemani dengan anyaman jala yang menggantung di batang pohon. Ada juga yang hendak mempersiapkan diri untuk turun melaut, berharap esok dapat mengepulkan asap di pekarangan dapur. Itulah sepintas kehidupan nelayan Desa Sungai Limau saat tim majalah mengunjungi daerah pembangunan pelabuhan internasional kijing yang terletak tak jauh dari Desa Sungai Limau Kecamatan Sungai Kunyit Kabupaten Mempawah.
Suhaimi (56) warga Desa Sungai Limau Dusun Nelayan berbincang banyak mengenai pengalamannya melaut yang digelutinya sejak masih remaja. “Kite udah melaut sejak masih bujangan, lama dah saye ni nyari ikan, nyari udang di laut. Dulu masih sanggup nyari ikan banyak-banyak, untuk makan pun cukup, sekarang dah susah lah,” ujarnya kepada reporter, Sabtu (6/4).
Ternyata menjadi seorang nelayan merupakan hobi yang tertular dari orang tua Suhaimi. Sejak dulu, pekerjaan nelayan menjadi pekerjaan yang turun temurun di lakukan oleh keluarganya. Ami sapaan akrab bapak dua anak ini mengatakan bukan hanya dirinya saja, warga setempat juga menganggap bahwa pekerjaan nelayan menjadi turun temurun, lantaran untuk menyambung nasib, hasil lautlah yang sangat menjanjikan.
“Coba liat rumah-rumah sini, semuanya hasil dari laut. Untuk makan dan kehidupan sehari-hari semuenye lah hasil laut ni,” ujarnya sembari tertawa menunjukkan satu persatu rumah warga yang sudah direnovasi, Sabtu (6/4).
Ami menyayangkan atas permasalahan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat yang bekerja sebagai nelayan. Ia menjelaskan aktifitas pembangunan pelabuhan rupanya berdampak terhadap hasil tangkapan warga sekitar. Menurutnya, sebelum ada pembangunan pelabuhan nelayan bisa memproduksi ikan dan udang kurang lebih ratusan kilo. Dalam satu hari bisa mencapai Tiga Ratus Ribu rupiah untuk tangkapannya. “Biasenyekite dapat ratusan kilo kalau sekali melaut, cukuplah hasilnye untuk masak dirumah, dan untuk jajan anak. Kalau sekarang ni dapat seadenye pun udah bersyukur,” kenang Ami ketika belum ada pembangunan pelabuhan kijing.
Ami juga menceritakan nelayan di daerah Kijing I yang menjadi pusat pembangunan pelabuhan internasional tersebut telah lumpuh sejak satu tahun belakangan. Menurut penuturan Ami sebagian nelayan sudah mencoba peruntungan baru, misalnya berdagang, bahkan ada yang keluar kota untuk mengadu nasib diperkotaan. “Udah satu tahun di daerah kijing I tu ndak ade nelayan lagi, banyak lah mereka jualan, ade yang cari kerje di Pontianak, ada juga sampai ke Malaysia ngagak keluargenye sambil kerje disana,” katanya.
Hal senada juga di ungkapkan Rajali (55) rekan Ami yang bekerja sebagai nelayan.Ia menuturkan untuk saat ini memang masih bisa melaut, akan tetapi belum tentu untuk tahun berikutnya. Ganti rugi menurut Rajali memang merupakan solusi untuk para nelayan yang terdampak, akan tetapi belum tentu mampu menghidupi keluarga seumur hidup. Apalagi ganti rugi yang diberikan masih kurang bagi nelayan. Ketakutan terbesar untuk nelayan adalah hilangnya pekerjaan tersebut. “Disini untuk satu kelong 12 juta, hanya untuk di tepi sini ni, makin di tengah laut itu murah dibayarnye. Harusnye makin ketengah tu makin mahal,” keluhnya.
Rajali menambahkan sekalipun diganti dengan harga ratusan juta tetap tidak akan cukup untuk keperluan rumah tangganya. “Kehidupan kan terus berjalan, kitaini untuk seumur hidup, belum lagi untuk anak-anak sekolah,apelah kalau cuman ratusan juta pun ndak gak cukup, duit bisa habis, kalau kite kerje melaut kan ade gak yang ditunggu,” katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Pemerintah Kabupaten Mempawah, masyarakat Kecamatan Sungai Kunyit pada umumnya bermata pencaharian sebagai wiraswasta dengan persentase 15.81%, sedangkan yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan persentase 2.98% akan tetapi bagi masyarakat terutama daerah pesisir hasil laut merupakan sumber kehidupannya. Tidak hanya nelayan, dampak pembangunan pelabuhan juga dirasakanMastoer (60) pria yang bekerja sebagaiwiraswasta menjual furniture ini mengaku keberatan dengan ganti rugi yang ditawarkan oleh perusaaan Pelindo. Selain murah, menurut Mastoer penetapan relokasi rumah pun letaknya kurang strategis. “Tentunya ngaruh dengan hasil penjualan kita, biasanya orang sudah tahu kita jualan sini, nanti bingung nyari dimana,” keluhnya.
Harapan Mastoer yakni perusahaan Pelindo bisa bertemu dengan warga yang masih menolak untuk di relokasi. “Kita maunya pihak perusahaan tu ketemu ketemu sama kita, hanya itu saja, dan menentukan harga yang layak, jangan dipukul rata semua,” ujarnya kecewa.
Dampak Pembangunan Pelabuhan Laut Internasional Kijing
Pembangunan pelabuhan laut internasional di Kecamatan Sungai Kunyit memang mendapat pro dan kontra. Disisi lain, untuk memajukan daerah Mempawah juga banyak dampak lain yang satu diantaranya kehilangan mata pencaharian terutama bagi Nelayan. Dr Erni Panca Kurniasih SE. M.Si dosen ekonomi pembangunan regional Untan menjelaskan dampak positif bagi masyarakat mempawah yakni pembangunan pelabuhan tersebut secara umum akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembanguann. Infrastruktur juga memegang peranan penting sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya. “Pelabuhan ini sudah lama sebenarnya di idam-idamkan pemerintah, karena kita tidak punya pelabuhan besar sebagai tempat tempat kapal besar untuk melakukan kegiatan bongkar muat, ekspor dan impor, dengan adanya pelabuhan ini sebeanrnya memberikan jalan untuk daerah mempawah sebagai daerah yang maju,” jelasnya kepada reporter ketika ditemui disela kesibukannya mengajar, (27/5).
Tak dipungkirinya, menurut Erni dampak negatif dari pembangunan pelabuhan laut internasional ini tentu ada. Dampak-dampak turunan dari perubahan fungsi dan tata guna lahan adalah terjadinya perubahan mata pencaharian dan pendapatan penduduk, timbulnya keresahan dan perspektif negatif masyarakat, gangguan terhadap aktivitas nelayan, peningkatan kepadatan lalu lintas pelayaran serta bangkitan lalu lintas yang tentunya menjadi masalah serius yang harus ditangani oleh pemerintah. “Ya ini lah dampak negatifnya, meski dibilang tidak sebanding dengan dampak positif, tentunya hal ini cukup menjadi serius apabila terkait dengan mata pencaharian warga setempat, apalagi yang nelayan menggantungkan hidupnya di laut,” ujarnya.
Perpindahan mata pencaharian sudah pasti akan terjadi, tentunya ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah untuk bertindak adil bagi masyarakat pesisir yang terkena dampak pembangunan pelabuhan. Menurut Erni hal ini berkaitan dengan pemberian solusi yang tepat agar kesejahteraan masyarakat terjamin. “Solusi jangka pendeknya bisa jadi warga setempat berdagang, makanan dan dagangan yang bisa memberikan penghasilan bagi masyarakat,” jelas Erni. Selain itu ia juga menambahkan selain itu pemerintah juga harus memberikan solusi jangka panjang.“Apalagi yang menjadi nelayan itu kan biasanya sudah berusia lanjut, jadi berikan lah mereka pelatihan yang sesuai dan cukup untuk dipahami masyarakat, agar berguna dan dapat menjadi mata pencaharian tetap,” jelasnya.
Menurut Erni pergerseran mata pencaharian akan selalu terjadi jika suatu daerah ingin maju, tinggal pemerintah yang membantu memfasilitasi masyarakat menjadi mandiri dan dapat bersaing dengan daerah luar, “semuanya ada di pemerintah, ini resiko yang dihadapi bersama, artinya jangan hanya mengorbankan satu pihak saja untuk membuat daerah maju. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk membuat masyarakat yang terkena dampak akibat pembangunan pelabuhan, yang tentunya masyarakat mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya,” tuturnya.
Nasib Nelayan Sungai Kunyit
Menanggapi keluhan masyarakat Kecamatan Sungai Kunyit terutama nelayan, tak banyak yang dapat disampaikan oleh pihak Pelindo. Saat ditemui di Kantor Jl Pak Kasih Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Deputi General Manager Hukum dan Pengendalian Internal Mustafa M. As’ad menuturkan kehilangan mata pencaharian terutama nelayan memang selayaknya akan terjadi, untuk proses menjadi negara maju pergeseran mata pencaharian sudah menjadi hal yang lumrah. Tinggal pemerintah kabupaten dan provinsi yang dapat mencari cara untuk mengatasinya. “Tergantung pemerintah, dari kami mengganti rugi rumah warga yang digusur, kelong dan togok yang terdampak. Selanjutnya sudah tugas pemerintah untuk memberikan solusi kepada masyarakat terutama para nelayan tersebut,” ujar Mustafa disela kesibukannya, Senin (21/4).
Ketika disinggung apakah masyarakat sekitar dapat bekerja di pelabuhan tersebut, Mustafa mengatakan tidak semua orang dapat bekerja di pelabuhan. Hal ini dikarenakan pelabuhanakan beroperasi dengan kemajuan teknologi yang mengharuskan calon pekerja menguasai dan paham akan pengguanaan bidang teknologi. “Tenaga kerja diserap dengan kualitas dan kuantitas terbatas, karena pelabuhan wilayah terbatas, dan tempat terbatas, tidak semua orang bisa masuk ke pelabuhan,” ujarnya.
Untuk dapat menyerap tenaga kerja seperti masyarakar Sungai Kunyit, tentunya pemerintah harus turut andil untuk mendorong tenaga kerja yang terlatih, dan memiliki keahlian maupun kemampudan di bidang yang dibutuhkan. “Untuk menyerap tenaga kerja di Mempawah, tentunya pertama mereka harus paham teknologi, harus paham excel, harus paham microsoft word dan yang paling penting harus paham menggunakan aplikasi,” katanya.
Sementara, Sutarmidji Gubernur Kalimantan Barat angkat bicara mengenai keresahan nelayan. Hal ini dikarenakan ratusan warga yang tergabung didalam kelompok nelayan, kecamatan sungai kunyit menggelar aksi demo menuntut ganti rugi togok dan rugi pendapatan nelayan di Kantor Gubernur Kalbar, Kamis (2/4) pagi.
Sutarmidji dihadapan nelayan mengatakan akan mencarikan solusi keluhan dan tuntutan para nelayan. Bahkan, ia sebagai gubernur bernjanji akan mengawal langsung mediasi di pengadilan “Saya akan mencarikan solusi apa yang dituntut oelh para nelayan dan para pemilik togok. Bagi warga yang belum menerima uang ganti rugi saya sarankan untuk dimediasi melalui pengadilan, setelah ada keputusan pengadilan itu yanga kan menjadi dasar PT Pelindo membayar kepada masyarakat,” tegasnya.
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, upaya medaisi yang akandilakukan dirinya minta masyarakat nelayan togok dan kelong menyiapkan empat perwakilan untuk mediasi dengan PT Pelindo II. Selain itu, upaya solutif lannya para nelayan diminta membuat satu kesepakatan dengan membentuk koperasi TKBM, dimana tenaga kerjanya harus dari masyarakat Sungai Kunyit. “Saya juga minta sekitar 30 orang yang memenuhi syarat untuk didaftarkan ke dalam pelatihan Satpam gratis untuk di pekerjakan di PT Pelindo,” tutupnya.
Penulis : Umi Tartilawati