Belum lama ini jagat maya dihebohkan oleh video bincang podcast di kanal Youtube Deddy Corbuzier yang mengundang pasangan gay, Ragil Mahardika dan Frederik Vollert. Video tersebut tentunya menuai banyak komentar dari netizen, baik berupa kritik, pendapat, maupun ujaran kebencian.
Kini publik kembali diramaikan oleh pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang akan kembali mendorong upaya kriminalisasi kelompok LGBT lewat revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Pernyataan ini tentunya menuai pro dan kontra. Di satu sisi ada yang mendukung perumusan tindak pidana bagi kaum LGBT, dan disisi lain ada juga yang mengecam pernyataan tersebut karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap kaum LGBT di Indonesia.
Tampaknya kontroversi tentang LGBT tidak akan pernah ada habisnya. Satu isu reda, muncul isu lainnya. Kelompok LGBT di Indonesia seolah dibuat sesak oleh banyak pihak. Tidak sedikit kaum LGBT di Indonesia yang mengalami diskriminasi. Menurut data organisasi Arus Pelangi, dalam kurun waktu 2006-2018 sudah terdapat 1.850 individu LGBT menjadi korban kekerasan. Dan kini, LGBT dianggap sebagai suatu kriminalitas. Mengapa publik begitu terobsesi untuk menghakimi kaum LGBT?
Kita mungkin bertanya-tanya, apa yang membuat suatu tindakan ditetapkan sebagai kriminal?
Kerugian yang ditimbulkan? Pengaruhnya pada lingkungan? Atau hanya karena dianggap sebagai suatu hal yang “buruk”?
Untuk itu mari kita pahami terlebih dahulu, apa itu kriminal? Kriminal sendiri diambil dari kata crimen yang memiliki arti kejahatan. Suatu tindakan disebut sebagai kejahatan apabila melanggar peraturan atau undang-undang pidana, melanggar norma-norma yang berlaku, dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kejahatan seperti menghilangkan nyawa, mencuri, atau pun korupsi, jelas merugikan orang lain, sama hal nya dengan pelecehan seksual yang jelas melanggar norma kesusilaan. Lantas bagaimana dengan LGBT? Kerugian seperti apa yang bisa disebabkan oleh seseorang dengan orientasi seksual yang menyimpang? Katakanlah LGBT memang melanggar norma, namun perlukah sampai dipidana dan dijatuhi hukuman?
Baca juga: Bunda Mayora, Transpuan Gigih dari Fajar Sikka
Mungkin sebagian masyarakat belum paham betul arti dari LGBT itu sendiri. LGBT merupakan akronim dari Lesbian Gay Biseksual dan Transgender. Lesbian, gay, dan biseksual adalah orientasi seksual, sementara Transgender adalah identitas gender. Orientasi seksual dan identitas gender adalah dua hal yang berbeda. Orientasi seksual mengacu pada ketertarikan baik dalam bentuk seksual maupun emosional terhadap individu lain dengan jenis kelamin tertentu. Sementara identitas gender mengacu pada bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya. Identitas gender tidak mengacu pada kondisi biologis, jenis kelamin, ataupun kode genetik sama sekali. Seseorang dapat melabeli atau menetapkan identitas gendernya berdasarkan perasaan atau kenyamanannya sendiri.
Setelah memahami arti dari LGBT, kita dapat menarik sebuah poin penting, bahwa LGBT bukanlah suatu bentuk “aksi” atau “tindakan” melainkan bentuk identitas dan orientasi seksual seseorang. Kedua hal tersebut sudah memasuki ranah privasi dan personality yang seharusnya bukan urusan orang lain. Yang menjadi pertanyaan, kenapa eksistensi LGBT selalu saja disorot oleh masyarakat? Apa yang membuat publik menganggap LGBT sebagai sebuah kejahatan?
Pertama, masyarakat sudah pasti berdalih pada hukum agama dalam menentang LGBT. Kaum LGBT disebut sebagai kaum yang terkutuk, terlaknat, dan dianggap sebagai pertanda akhir zaman. Tentunya sebagai masyarakat beragama setiap orang berhak dan wajib berpegang teguh pada kepercayaanya. Bagaimanapun, hukum agama yang telah tertulis dalam kitab suci tidak dapat diganggu gugat. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua orang menganut kepercayaan yang sama. Setiap individu punya pandangan dan pemahamannya masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk sepaham dengan kita. Perbedaan kepercayaan dan pemahaman itulah yang menjadikan setiap individu memiliki keunikannya tersendiri.
LGBT juga dianggap sebagai sebuah kejahatan karena disebut dapat memicu penularan HIV/AIDS. Aktivitas seksual yang dilakukan oleh sesama jenis lebih beresiko menularkan HIV/AIDS terutama jika dilakukan melalui anal/anal sex. Tentunya hal ini benar adanya, namun tidak menutup fakta bahwa hubungan seksual antara lawan jenis pun dapat memicu penularan HIV/AIDS. Oleh karena itu, apapun orientasi seksualnya, setiap orang harus berhati-hati dan tidak asal dalam berhubungan seksual. Gunakan pengaman dan jangan berganti-ganti pasangan dalam melakukan aktivitas seksual.
LGBT juga sering dianggap sebagai pembunuh generasi. Semakin banyak kaum LGBT, populasi manusia akan semakin berkurang lantaran tidak adanya proses reproduksi yang mana hanya bisa terjadi dengan hubungan heterosexual (lawan jenis). Padahal, tak jarang juga terjadi kasus pembunuhan dan pembuangan anak oleh pasangan hetero yang tidak mampu menanggung biaya hidup anaknya. Banyak juga pasangan yang memutuskan untuk menggugurkan janinnya lantaran tak siap untuk berkeluarga. Bukankah kasus seperti ini sama saja mengurangi populasi manusia, bahkan dengan cara yang lebih kejam yakni menghilangkan nyawa?
Perdebatan mengenai LGBT tidak akan pernah ada habisnya. Dari berbagai pro dan kontra terkait kriminalisasi LGBT di Indonesia, timbul sebuah pertanyaan. Bagaimana hukum mengungkap dan menangkap seseorang yang diduga LGBT?
Apakah dengan mendatangi setiap rumah dan mengecek satu per satu anggota keluarga di dalamnya? Membuat serangkaian Gay Test yang wajib diisi dan diikuti masyarakat? Menggrebek hotel atau kosan yang diduga ditempati pasangan LGBT? Bukankah tindakan seperti itu sudah memasuki ranah privasi?
Lalu, bagaimana proses pembuktian seseorang yang diduga LGBT dilaksanakan? Pidana seperti apa yang akan dijatuhkan bila sudah terbukti? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang belum terjawab.
Satu hal yang perlu digaris bawahi, siapapun harus diadili dan dihukum apabila melakukan tindak kejahatan, tidak terkecuali kaum LGBT. Hukum harus mempidana seseorang karena tindakannya bukan karena identitas dirinya. Hukum harus berorientasi pada “apa” yang dilakukan bukan “siapa” yang melakukan. Seseorang tidak pantas diadili karena orientasi seksual atau identitas gendernya. Namun ia tetap harus diadili jika terbukti melakukan tindakan kejahatan, seperti pelecehan seksual dan yang lainnya.
Baca juga: Mendapat Perlakuan Kekerasan Seksual? Mari Bersuara!
Jika ada yang perlu dikritisi dari sisi kaum LGBT di Indonesia, mungkin sebaiknya berhenti memaksakan pemerintah untuk melegalkan LGBT di Indonesia. Sepatutnya tidak melakukan kampanye, seruan, ataupun aksi yang menuntut pelegalan LGBT. Tidak terang-terangan dalam menunjukkan identitas diri dengan embel-embel “pride” dan tidak menormalisasikan eksistensinya di Indonesia. Dan jangan pula memaksa orang lain yang berpegang pada keyakinan atau hukum agama untuk menerima pandangannya. Bagaimanapun juga, bangsa kita akan terus berpegang pada norma demi mempertahankan identitas nasional.
Saat ini kaum LGBT di Indonesia sudah tidak lagi menuntut pelegalan pernikahan sesama jenis dan semacamnya. Kini mereka hanya meminta dihargai sebagai seorang manusia, berharap tidak lagi didiskriminasi ataupun diserang, baik secara fisik maupun verbal. Sebagai warga negara tentunya kita berhak memilih untuk mendukung maupun tidak mendukung keberadaan LGBT di Indonesia. Namun sebagai seorang manusia, kita sepatutnya menghargai manusia lain. Karena setiap jiwa itu berharga dan pantas untuk dihargai.
Terakhir, manusia dengan segala kekurangan serta dosa yang dibawanya, tidak sepatutnya menghakimi dosa orang lain. Bagaimana pun, dosa dan pahala seharusnya menjadi urusan masing-masing individu dengan Tuhannya. Cukup Tuhan yang mengadili. Karena perkara dosa dan pahala sudah diluar kendali manusia. Untuk menutup tulisan ini, ada satu pertanyaan yang mungkin bisa anda renungkan jawabannya. Silahkan jawab sesuai pandangan dan pemahaman anda masing-masing.
Apakah warga Indonesia bisa hidup berdampingan dengan kaum LGBT di masa yang akan datang?
Penulis: Ibnoodle