mimbaruntan.com, Untan- Separuh kopi susu tandas ia teguk, sebelum melanjutkan bercerita sambil sesekali diiringi tawa. Pasalnya yang ia ceritakan tentang kelucuan tingkah anak-anak Gang Angket yang ia didik. Dialah Doni Chairullah, pendiri Sekitar Projek.
“Aku mau apapun yang aku lakukan itu untuk menggerakkan dan membantu orang banyak, dari video yang aku buat, Pendidikan yang aku kerjakan, sampai ke pekerjaan yang aku lakoni sekarang, itu untuk menggerakkan orang banyak,” cerita pria yang saat ini bekerja di sebuah organisasi non- profit, Suar Asa Khatulistiwa.
Sejak berdirinya Sekitar Projek di tahun 2016, Doni menjadikan ini sebuah alat untuk menyalurkan hobinya di bidang videografi. Video-video yang dihasilkan pun memiliki misi tersendiri, yaitu menjadi ruang untuk menyuarakan isu-isu keberagaman melalui channel YouTube bernama Sekitar TV.
Seiring berjalannya waktu, di tahun 2020, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Pontianak ini melebarkan fokus kegiatannya ke dunia pendidikan, yang dinamainya Sekitar Pendidikan.
Sama hal nya dengan karya-karya yang telah ia buat, Sekitar Pendidikan juga memiliki misi yang besar, yaitu mengubah stigma negatif pada masyarakat Gang Angket,.
“Aku lahir di Gang Angket dengan stigma yang memang buruk, kacau banget di situ. Dari kecil aku biasa liat polisi nangkap orang, suara tembakan, dan itu mempengaruhi masa kecilku, makanya aku ingin buat perubahan disana,” begitulah Doni menggambarkan kondisi tempat tinggalnya saat ditemui di salah satu warung kopi di Jalan Gajah Mada pada Jumat (25/6).
Dari Cuan Hingga Isu Keberagaman
Saat itu ia menginjak semester 6. Sekitar Projek sudah terbentuk, ruang untuk sekadar menyalurkan karya visualnya. Tapi perangkat dan skill videografi dirasa belum mumpuni. Pintu masuk Borneo Talent School pun akhirnya menjadi harapan besar walau ia datang tak membawa sepeser uang pun.
“Aku bilang, aku mau buat video-video untuk Borneo Talent School secara gratis selama satu tahun, tapi aku minta akses untuk belajar gratis juga, aku tunjukin karya yang sebenarnya gak bagus-bagus amat, cuma demi belajar video, aku mohon-mohon. Pokoknya aku harus sekolah disitu,” terangnya disusul tawa, matanya mengawang keatas mengenang masa itu.
Enam bulan berjalan, kegigihannya berbuahkan hasil, cuan mengalir dan cukup untuk membiayai kuliahnya, Doni pun diangkat menjadi pengajar disana. Puluhan karya video pun telah ia lahirkan.
Baca juga : Viza Juliansyah : Demonstrasi Mahasiswa Jangan Sampai FOMO
Ia mencari cara lain untuk mendapatkan uang, sekadar untuk membarui perangkat yang ia gunakan. Namun tak disangka, melalui berbagai jalur fellowship yang ia coba tak hanya memberikannya uang saja, namun pelajaran berharga tentang keberagaman dan toleransi.
Dimulai dari Sekolah Keberagaman yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, berlanjut dengan berbagai fellowship tingkat nasional hingga internasional, dan berakhir dengan misi yang besar. Menciptakan ruang jumpa berbagai kelompok marjinal di Kalimantan Barat.
Agama Bahai, Penyintas Konflik Etnis Sambas, dan orang-orang yang aktif menyuarakan keberagaman dan toleransi di Kalimantan Barat. Semua itu ia rekam seapik mungkin dalam bentuk visual.
“Itu bisa jadi alat kita untuk saling bertemu. Karena kalau udah bertemu dan kenal, stigma itu bisa dengan sendirinya memudar,” ucapnya.
Kikis Stigma Dari yang Terdekat
Piring-piring berisikan sosis dan keripik tersusun di pojok teras, itu sajian untuk menyambut Meiry, pengajar di kelas inspirasi Minggu ini (27/06).
Begitu Meiry datang, sorak-sorai terdengar, yang menampilkan ekspresi malu-malu pun terlihat diantara kelima belas murid Sekitar Pendidikan ini.
Meiry bukan orang pertama yang diundang di kelas Inspirasi, berbagai profesi sebelumnya sudah banyak yang diundang. Selain kelas Inspirasi, ada kelas kritis dan softskills.
Ketiga kelas itu dipilih bukan tanpa alasan, baginya kritis harus dibangun sejak dini, soft skill untuk menemukan bakat apa yang ada disetiap muridnya, sedangkan Inspirasi adalah kelas untuk mereka menemukan gambaran masa depannya.
“Kelas Inspirasi itu buat mereka tahu kalau dunia luar itu tidak sesempit Gang Angket yang punya stigma tempatnya penjahat. Tapi itu gak cukup, aku harus bekalin mereka pikiran kritis dan memantik bakat mereka, dari hal yang sederhana,” ceritanya saat kelas berlangsung.
Alasan lainnya yang memperkuat Doni untuk konsisten dengan kelas ini adalah ketika dirinya mengingat masa lalu, saat duduk di bangku sekolah dasar. Akses untuk bertemu dengan orang di luar tak pernah ia dapatkan, maka dari itu ia ingin menjadi jembatan pertemuan itu.
“Itu sebenarnya sekolah impianku, sekitar Pendidikan adalah sekolah yang dari dulu aku mau. Sekolah itu adalah Doni banget, ” kata Doni dengan mata yang mengarah kepada murid-muridnya yang bersenda gurau.
Usai satu persatu memperkenalkan diri, Meiry mulai menceritakan profesinya sebagai seorang traveller. Pertanyaan pun beruntun datang, tentang bagaimana Meiry bisa pergi seorang diri mengelilingi dunia, apa negara yang pertama kali ia kunjungi, kenapa ia tidak takut berpergian jauh. Dan pertanyaan menyusul lainnya yang keluar dari anak usia Sembilan hingga sebelas tahun ini.
Meiry menyambutnya dengan tawa, sesekali ia menunjuk negara yang ada di dalam tumpukan majalah Bobo yang ia bawa.
Sungai di teras belakang kediaman Doni, tempat di mana kelas itu digelar semakin berisik oleh anak-anak seberang yang bermain sampan. Namun itu tidak membuat konsentrasi muridnya buyar. Semuanya tetap duduk di tempatnya hingga kelas berakhir.
Setelah kelas ditutup, sebagian anak-anak sibuk menikmati makanan ringan yang sudah mereka sajikan, sedangkan Sebagian yang lainnya bergantian menghampiri Meiry untuk mendapatkan oleh-oleh cokelat dari Turki.
Gerakan ini seringkali mendapat perhatian dari kepala Rukun Tetangga (RT), tawaran untuk melebarkan ruang lingkup Gerakan ini pun tak jarang disodorkan. Namun Doni menolak, dirinya tak mampu mengurusi lebih dari murid yang ia punya sekarang, tapi bukan berarti ia menutup kesempatan itu. Usaha untuk mengajak anak-anak remaja sekitar pun terus ia lakukan.
Ia sedang berusaha mendekati anak-anak seusia sekolah menengah pertama dan menengah atas untuk kemudian diajak menjadi pengajar, sehingga ruang gerak Sekitar Pendidikan bisa lebih luas lagi.
“Aku tiap Minggu itu harus ngajak mereka ngopi untuk ngobrol tujuannya buat bentuk kesadaran bahwa kita ini punya masalah di sekitar rumah sendiri dan yang bisa menyelesaikan itu ya kita sendiri,” katanya.
Tak sebatas itu, di saat bersamaan Doni harus menunjukkan prestasinya kepada mereka, sebagai bukti bahwa yang dia lakukan tidak sia-sia, sehingga Doni berharap rasa percaya kepadanya itu hadir.
“Saya terharu liat semangat anak-anak disini bertanya, antusiasnya untuk belajar itu, Doni bisa dibilang berhasil menciptakan kelas ini. Semoga Gerakan semacam ini terus tumbuh di Pontianak,” ujar Meiry di saat satu persatu murid pulang melalui jalur gertak kecil di samping rumah Doni.
Reporter : Ersa Dwiyana & Mara
Penulis : Mara
Editor : Tri Pandito