Hiruk pikuk anti Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia dimulai sejak awal tahun 2016. Hingga kini, LGBT menjadi polemik yang tak berkesudahan. Hal ini dibangun karena kesadaran dari masyarakat mayoritas konservatif yang menganggap orientasi seksual yang berbeda adalah suatu penyakit bagi negara.
Kepanikan moral yang dihadapi kelompok LGBT bisa dilihat dalam berbagai bentuk seperti, tulisan yang provokatif bahkan perlakukan yang diskriminatif, persekusi dan kekerasan. Masifnya tindakan ini tidak lepas dari peran pemerintah yang berakibat dalam pembentukan pola pikir masyarakat terhadap kelompok LGBT.
Seperti surat edaran oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam pernyataan tertulisnya menyatakan pemicu maraknya persekusi terhadap kelompok minoritas adalah tidak adanya keseriusan dari negara untuk menindak tegas oknum yang melakukan persekusi dan banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat diskriminatif.
Hal ini sejalan dengan tulisan dari kumparan.com, pada tahun 2018 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menuliskan bahwa Bupati Indramayu dan Cianjur mengeluarkan surat edaran yang mendiskriditkan LGBT sebagai penyebab adanya HIV/AIDS. Adanya stigma ini, secara tidak langsung menggiring masyarakat untuk mendiskriminasi kelompok LGBT. Padahal, secara medis HIV/AIDS hanya akan menular jika terjadi kontak cairan berupa darah, cairan vagina, cairan mani dan asi. Serta secara global, sebenarnya proporsi terbesar kasus HIV/AIDS ada dari kelompok heteroseksual. Di Indonesia pun begitu, 61 persen ODHA yang teridentifikasi adalah heteroseksual, dan jumlah yang signifikan adalah ibu rumah tangga. Jadi ketika bicara soal HIV/AIDS, data menunjukkan bahwa problem yang besar justru ada di titik yang tidak terkira.
Film Kucumbu Tubuh Indahmu garapan Garin Nugroho juga menjadi korban pencekalan dari beberapa Perda. Salah satunya Walikota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono melarang penayangan film ini dengan alasan pemerintahan kota Pontianak sedang menggalakkan program yang bertujuan melindungi masyarakat dari kekerasan dalam keluarga. Tidak hanya berhenti pada pemboikotan film, pencekalan hingga kekerasan fisik juga terjadi pada saat Hari Tari Sedunia 2019. Kericuhan dipicu oleh salah satu penampilan tarian yang dianggap mengandung konten LGBT.
Penolakan secara terang-terangan terhadap kelompok LGBT juga dilakukan oleh Wakil Gubernur Sumatra Barat. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh tim konselor penelitian pengembangan penyakit HIV/AIDS yang menyatakan bahwa Sumbar adalah provinsi dengan jumlah LGBT terbanyak yaitu 18.000 orang, menjadi acuan bagi Wakil Gubernur untuk menolak keberadaan kelompok LGBT ini. Namun tidak dijelaskan secara pasti apakah orang sebanyak itu yang menyebarkan penyakit HIV/AIDS. Inilah yang disebut sebagai confirmation bias, orang cenderung mencari informasi atau data untuk mendukung kesimpulan yang sudah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, keberadaan kelompok LGBT bukan hanya tidak diterima namun juga mendapatkan tindak kekerasan. Seperti tertulis pada Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2015 melaporkan bahwa pada tahun 2014 tercatat 37 kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT khususnya transpuan. Penelitian juga dilakukan oleh Arus Pelangi, Komunitas Sehati Makassar (KSM), PLUSH pada tahun 2013 yang dirangkum dalam buku Menguak stigma, kekerasan, dan diskriminasi pada LGBT di Indonesia menunjukkan bahwa 49% kelompok transpuan mengalami kekerasan seksual. Jumlah tersebut memang telihat sedikit dibanding jumlah yang tidak tercatat dan terlaporkan.
Jika LGBT dianggap suatu dosa, maka itu bukanlah satu-satunya jenis dosa terkait moralitas yang kita lihat dalam hidup sehari-hari. Meninggalkan ibadah wajib, seks di luar nikah, juga bentuk dosa. Banyak dari kita cukup bisa menerima untuk ko-eksis dengan berbagai jenis dosa lain, tapi tidak untuk dosa berwujud LGBT. Indonesia adalah negara berdasarkan ketuhanan, sementara LGBT bertentangan dengan agama, artinya LGBT tidak boleh ada di Indonesia. Logika itu sama saja dengan mengatakan orang yang tidak puasa atau tidak salat tidak boleh ada di Indonesia. Pada hakikatnya, tidak ada undang-undang yang pasti terkait larangan hubungan homoseksual saat ini di Indonesia. Bahkan UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif.
Kemarahan dan ketakutan yang sama sekali tidak mendasar ini secara tidak langsung menunjukkan adanya sikap intoleran dalam kehidupan berkebangsaan. Sentimen ini membuat kita terjebak dalam kesalahan logika dan membuat penglihatan kita terhadap suatu masalah menjadi kabur dan bergeser, dan kebijakan yang diambil pun keliru. Seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia mendoakan atau memberi pemahaman agama, adil terhadap pikiran kita sendiri, dengan tidak mengasosiasikan LGBT dengan kemerosotan moral. Jika heteroseksual pun mau berkontribusi terhadap polemik yang berkaitan dengan LGBT bisa dibahas secara objektif dan rasional, menggunakan data dan bukti, bukan dalam bentuk diskriminasi, persekusi maupun kekerasan.
Penulis: Kiki