Akhir tahun lalu LPM Untan mengeluarkan riset tentang pola vonis hakim pada kasus Tipikor di Kalimantan Barat. Hasilnya, dari 50 putusan kasus yang terjaring sepanjang Agustus 2017 – Agustus 2018, rerata vonis termasuk ke dalam vonis yang ringan yang menguntungkan koruptor. Upaya serius perlu dilakukan dalam menangani kejahatan luar biasa ini.
Keliru mungkin kata yang tepat jika korupsi hanya terjadi di pulau Jawa atau khususnya di Jakarta. Keliru jika kasus korupsi hanya Novanto, Nazarudin dan Gayus Tambunan. Memang mereka adalah ikon koruptor di Indonesia. Namun nyatanya permasalahan korupsi di Kalimantan Barat tidak kalah mengkhawatirkan.
Dari kasus penyelewengan BOS, hingga yang selalu menjadi primadona, pengadaan barang dan jasa. Kasus-kasusnya juga bukan hanya dilakukan oleh kalangan pengusaha, pejabat publik hingga Rektor adalah tokoh utama dalam berebut manisnya uang negara.
Permasalahan korupsi di Indonesia memang seakan telah menjadi lingkaran setan yang sulit diputuskan. Mulai dari oknum hingga penegakan hukum, sulit rasanya melihat dan menimbang mana yang bersih dan dipercaya.
Penegakan hukum dalam hal ini yaitu institusi kehakiman. Ini karena Hakim sebagai penentu bersalah atau tidaknya terdakwa. Lebih jauh apakah hukuman yang diberikan itu memberikan keadilan atau malah sebaliknya.
Keraguan ini muncul bukan tanpa sebab. Banyak riset memperlihatkan bahwa kinerja hakim dalam memutus perkara korupsi bisa dinilai memprihatinkan atau mungkin kata yang juga mewakili adalah ironi.
Baca Juga: Vonis Ringan Koruptor Tak Memberi Efek Jera
Tren Putusan Hakim Tipikor di Kalbar
Riset yang dilakukan LPM Untan misalnya, untuk kasus korupsi di Kalimantan Barat dari Agustus 2017-Agustus 2018, 50 kasus telah terjaring. Dari 50 kasus yang diputuskan tersebut, rerata lama penjara “hanyalah” 1 tahun 9 bulan. lalu jika diklusterisasi versi ICW, lama penjara itu termasuk kedalam kategori hukuman ringan yang tentu ironi.
Belum lagi kerugian negara yang tidak dikembalikan seluruhnya. Untuk periode yang sama, kerugian negara akibat Tipikor di Kalbar sebesar 64.7 milyar rupiah, dan yang dikembalikan kepada kas negara sebesar 26 milyar, angka ini hanya 40.6%. Artinya jika dihitung secara kasar, untuk satu kasus korupsi, koruptor relatif “untung” 60% dari setiap kejahatannya karena tidak mengembalikan uang yang telah dimalingnya.
Kemudian adalah denda. Sekali lagi, untuk periode yang sama, rerata denda yang diberikan adalah 94 juta rupiah. Angka ini memang hampir 2x lipat dari denda minimal untuk pasal 3 UU Tipikor yaitu 50 juta rupiah, Namun jika dilihat lebih dalam, 38 dari 50 kasus tersebut didenda hanya dengan denda minimal, yaitu sebesar 50 juta rupiah.
Bimbangnya hakim semakin terlihat dalam disparitasnya putusan. Disparitas dalam periode tersebut yang begitu kentara terlihat pada putusan dengan nomor registrasi 50/Pid.Sus-TPK/2017/PN Ptk dengan nama terdakwa Iswandi. Dan kasus dengan nomor registrasi 33/Pid.Sus-TPK/2017/PN Ptk dengan nama terdakwa Yudi Muntono. Keduanya sama-sama divonis 1 tahun penjara. Namun jika dilihat dari kerugian negara yang dihasilkan. Iswandi mendapatkan satu tahun penjara karena kejahatannya yang mengakibatkan kerugian negara sebesar 153 juta, sedangkan Yudi mendapatkan satu tahun penjara karena kejahatannya yang mengakibatkan kerugian negara yang sebesar 2.7 milyar.
Indonesia sebenarnya telah memiliki instrumen sebagai penegakan aturan atau memberikan efek jera kepada terdakwa koruptor. Penegakan aturan itu meliputi proses penahanan, pengembalian kerugian negara atau ganti rugi yang telah dikorupsi, serta pemberian denda. Bukan hanya efek kapok tujuannya, namun instrumen ini juga diharapkan memberikan keadilan bagi korban baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, jika berkaca apa yang terjadi di Kalbar, instrumen penegakan aturan tidak dilakukan dengan maksimal bahkan hanya sedikit di atas dari beban minimal hukuman. Implikasinya adalah efek jera yang diharapkan dari penerapan hukuman ini masih jauh panggang dari api. Hukum yang menurut Aristoteles berfungsi sebagai sarana memberikan keadilan, tidak hadir dalam putusan yang diberikan oleh wakil Tuhan dalam persidangan.
Bahayanya adalah hukuman yang dijatuhkan hanya akan menjadi pencucian dosa dari kejahatan yang telah dilakukan. Bahkan hukum tak lagi menjadi pemutus kejahatan, malah menjadi alat pendukung dilakukannya kejahatan, seperti yang dikatakan oleh Nitibaskara (2001) seorang kriminolog dalam bukunya berjudul Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum, Dan Sosiologi.
Memang tidak bijak jika semua keanehan ini adalah hakim penyebabnya. Masih ada jaksa, advokat dan lainnya yang juga berperan dalam suatu putusan, namun posisi hakim benar-benar tidak tergantikan dalam suatu proses peradilan.
Kurang maksimalnya putusan itu merepresentasikan hakim yang positivistik. Tentu bukanlah hal yang salah ketika hakim harus taat kepada aturan yang dibuat. Namun esensi dari seorang hakim bukan hanya corong dari aturan itu dibuat.
Terlebih untuk kasus korupsi. Hal ini karena, kejahatan korupsi bukan hanya kejahatan yang terjadi dan merugikan orang yang bersangkutan ataupun institusinya, namun dampak tidak langsung akan dirasakan pula oleh masyarakat luas. Hakim perlu melihat lebih dalam permasalahan korupsi. Konteks permasalahan dan akibat dari korupsi yang terjadi.
Baca Juga: Indonesia Corruption Watch Selenggarakan Sekolah Anti Korupsi 2018
Hukum Progresif Sebagai Dasar Hakim
Mungkin pembaca pernah mendengar nama mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Beliaulah orang yang memutuskan Luthfi Hasan Ishaq dan Irjen Djoko Susilo mendapat 18 Tahun penjara. Ataupun Akil Mochtar yang harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
Sederet nama napi kurang beruntung di atas seakan merepresentasikan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia. Bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk tunduk kepada hukum.
Hukum progresif menyajikan pandangan hakim yang menyeluruh terhadap permasalahan. Termasuklah dampak-dampak yang ditimbulkan dan bagaimana peranan hakim dan hukum dalam pemberian keadilan.
Kalaupun hakim harus membaca kata-kata secara tekstual dalam buku Undang-Undang, hakim juga perlu mempelajari untuk membuat interpretasi yang tidak harfiah agar mampu mengungkap norma-norma sosial yang secara kontekstual melatarbelakangi dibuatnya aturan tersebut.
Perubahan yang diharapkan dapat berubah dengan digunakannya hukum progresif adalah paradigma dari hakim. Paradigma atau mindset dari hakim menentukan bagaimana hakim membaca dan memaknai hukum. Perubahan dari paradigma positvistik menuju paradigma progresif.
Agenda perubahan paradigma ini meliputi perubahan asumsi dasar atau asumsi filosofis teoritis yang dijadikan sumber nilai, tolok ukur, kerangka pikir, orientasi, asas, parameter, tolok ukur, serta arah dan tujuan dari hukum itu ditegakkan.
Sayangnya memang, hukum progresif belum masuk ke dalam kurikulum pengajaran dalam perkuliahan, tempat seorang hakim umumnya ditempa. Hadirnya pemahaman tentang pemahaman ini masih bergantung pada individu hakim. Bukan suatu hasil dari proses struktural menjadi seorang hakim.
Padahal semua ini akhirnya agar orang-orang yang berkecimpung dalam dunia hukum tidak begitu malu dengan slogannya sendiri bahwa keadilan harus ditegakkan meski langit akan runtuh.
Sumber:
Nitibaskara, Tubagus Ronny (2001), Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum, Dan Sosiologi, Jakarta: Peradaban
Penulis: Adi Rahmad