mimbaruntan.com, Untan— Selama satu jam perjalanan, dua unit Speedboat 40PK menghempas kesunyian dari Dusun Batu Rawan, Desa Nanga Leboyan, Kecamatan Selimbau menuju sebuah perkampungan di DAS Leboyan; Dusun Meliau, di Desa Melemba.
Tidak ada kata lelah, karena mata dimanja pemandangan eksotik danau purba. Keindahan lainnya terpampang saat perahu motor kami menyelinap di sela-sela pepohonan tua di jalur perlintasan. Kami hanya bisa terdiam mengagumi ciptaan Tuhan. Jurumudi dengan lihainya mengendalikan laju speedboat menerobos rapatnya pepohonan.
Hingga tepat pada pukul 10.40 WIB Mesin speed berlalu pelan saat melintasi tulisan “Welcome to Long House” sebelum memasuki perkampungan warga. Dusun Meliau merupakan perkampungan kecil di tepian Sungai Leboyan Desa Melemba. Pemukiman dusun itu hanya terdiri dari sebuah Rumah Panjang atau Rumah Panjai dalam bahasa Dayak Iban, serta beberapa rumah warga, sebuah gereja, dan sekolah dasar. Rumah panjang Meliau dihuni kerabat dari Suku Dayak Iban dan tak luput bahwa daerah ini merupakan kawasan ekowisata yang diminati para wisatawan lokal maupun mancanegara.
Desa Melemba secara administratif masuk wilayah Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Desa Melemba terdiri dari tiga dusun yaitu Dusun Meliau, Dusun Sungai Pelaik, dan Dusun Manggin, dan yang hanya bisa ditempuh dengan speed atau transportasi air, dan menghabiskan waktu selama ± 1-2 jam pada musim hujan dan 3-4 jam pada musim kemarau dengan biaya Rp. 1 hingga Rp 2,5 juta.
Setibanya disana, saya beserta rekan Jurnalis Media Arus Utama yang difasilitasi oleh Millenial Challenge Acount Indonesia (MCAI) melalui Konsorsium Dian Tama, disambut oleh Sodik Asmoro selaku Ketua Pengelola Pariwisata Kaban Mayas (KPP Kaban Mayas). Ia menceritakan keseharian warga setempat dalam mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan pendapatan, Rabu (24/1).
Mata Pencaharian masyarakat Dusun Meliau sebagian besar adalah nelayan sungai dan danau. Selain itu ada juga petani madu (periau) repak, lalau dan tikung, berladang dan petani karet yang biasanya dilakoni sebagian besar oleh kaum ibu.Masyarakat juga memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), seperti rotan danau untuk tikar.
Kekayaan alam disekitar Desa Melemba agaknya tak bisa disia-siakan begitu saja, seiring jalannya waktu, perubahan sosial budaya penduduk setempat mampu mengolah hutan sebagai sumber daya alam berkelanjutan untuk meningkatkan perekoniman keluarga, seperti pemanfaatan HHBK Rotan Kulan yang dijadikan sebagai anyaman tikar dan tas yang menjadi khas oleh-oleh Dusun Meliau.
Usut punya cerita, sebelum dimanfaatkan sebagai kerajinan, bahan pokok seperti rotan ini dijual dengan skala besar untuk perusahaan-perusahaan di luar Desa Melemba. Hal ini sempat membuat kondisi hutan dan HHBK terancam habis. Namun setelah Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan ilegal loging melanda dari tahun 90-an hingga 2005, penduduk setempat mulai bahu membahu bersama membangun kembali untuk merawat hutan, mereka sadar bahwa kekayaan alam yang melimpah di sekitaran desa mampu mendongkrak perekonomian keluarga. Khususnya para wanita penggiat kerajinan tangan, saat ini pun hutan menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang sangat penting bagi mereka.
Selain rotan, bahan seperti daun pinang juga menjadi pewarna alami untuk pewarna kain tenun, dan masih banyak lagi bahan bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami untuk kerajinan tangan. Di rumah Panjai, perempuan Iban mewarisi tradisi leluhur untuk membuat Tenun Ikat.
Motif etnik dayak dan penggunaan pewarna alam, membuat tenun karya mereka bernilai tinggi. Beberapa jenis tumbuhan yang dibudidayakan seperti daun engkerebai penghasil warna coklat, daun renggat akar penghasilwarna biru, daun renggat padi penghasil warna biru, daun mengkudu penghasil warna kuning, dan daun engkerabai laut penghasil warna merah kecoklatan.Untuk motifnya cukup beragam pula, umumnya menggambarkan tema alam seperti pohon, bunga, buah atau hewan.
Melalui Raperda yang dilakukan dengan musyawarah penduduk setempat, mereka mulai menjaga hutan sehingga tidak ada lagi pembabatan hutan secara liar. Penduduk mulai tertib dalam mengambil hasil hutan, dengan tidak merusak hutan.
Sela 15 menit berkelililng Rumah Panjai menyaksikan hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh perempuan melemba, saat itu kami cukup beruntung dapat menyaksikan “Inai” Laii atau Ibu Laii panggilan untuk suku dayak iban meski usia sudah menginjak hampir 60 tahun lincah memotong dan membersihkan rotan untuk dijadikan anyaman tikar. “Sejak masih gadis sudah lakukan ini,” katanya singkat sambil memotong rotan pandan.
Susiana Tan (60) ketua kerajinan tangan Desa Melemba merupakan salah satu pelaku yang giat menganyam rotan yang disulap menjadi tas dan tikar. Kegiatan ini sebenarnya sudah dilakukan turun temurun, bahkan sejak kecil anak-anak sudah diajarkan memebuat kerajinan tangan sheingga tidak perlu keahlian khusus ketika menganyam maupun menenun.“Sudah turun temurun menganyam, dan kelompok kerajinan tangan baru di sah kan pada tahun 2016,” ujarnya seusai pulang berladang.
Ia menjelaskan cara pembuatannya, mulai dari pengambilan rotan hingga menjadi tikar. “Rotan di ambil di hutan, di belah dulu terus dijemur, jemurnya satu hari saja, kemudian di ukur biar sama panjang, lalu di raut, baru dianyam, hasilnya nanti bisa dijadikan tas atau tikar,” katanya.
Untuk menjual hasil kerajinan tangan, ibu empat anak ini mengatakan biasanya para wisatawan yang langsung mengunjungi Rumah Panjai atau Rumah Panjang Desa Melemba, sambil melakukan perjalanan wisata. “Kalau untuk barang mentah biasanya dijual 70 ribu, kalau sudah jadi tas dengan motif itu harganya 300-an,” seraya menunjukkan dua buah tas hasil kerajinan tangan.
Dari grafik kunjungan yang terlihat di papan informasi, jumlah wisatawan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Untuk tahun 2016, sebanyak 80 wisatawan asing dan 130 wisatawan lokal datang untuk menyaksikan panorama dusun Meliau. Fasilitas yang didapat yakni paket wisata lengkap yang termasuk homestay beserta makanan selama 3 hari penginapan, dan cinderamata berupa syal tenun ikat khas Iban yang digemari para wisatawan.
Sebanyak 24 ibu-ibu menggeluti kesehariannya untuk memproduksi kerajinan tangan.Masing-masing terbagi menjadi 14 orang giat menenun, dan 10 orang menganyam. Hasil kerajinan tangan berupa tas, tikar, dan syal ini tentunya menjadi salah satu alternatif pendapatan untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
Untuk pemasaran, Ibu 60 tahun ini mengaku masih minim wawasan startegi pemasaran. Meski demikian, ketika ada event hasil kerajinan tangan perempuan melemba ini dibawa di pameran.“Di Desa Leboyan nanti ada penitipan, kadang dijual disitu, baisanya juga di bawa ke pameran,” katanya. Susi mengaku manfaat yang dirasakan ketika mengolah hasil hutan yakni dapat menambah pendapatan. “Kalau dari segi ekonomi ya bisa nambah penghasilan,” tambahnya seraya menyeka keringat di dahi.
Jaga Hutan Dengan Aturan Adat
Dengan andil perempuan memanfaatkan sumber daya alam, sedikit banyak dapat menambah pendapatan keluarga.Bahan-bahan yang digunakan murni dari hasil sumber daya alam yang ada di Desa Melemba. Hal ini diakui oleh Sodik yang sedang duduk di pelataran rumah, katanya, selain menjadi ibu rumah tangga, perempuan di Melemba juga bisa menambah pendapatan keluarga dengan cara giat melakukan pembuatan kerajinan tangan.
“Dengan adanya peran ibu dalam mengolah Sumber Daya Alam mampu meningkatkan perekonimian keluarga, minimal bisa membantu kebutuhan untuk peralatan rumah tangga dan sebagainya, karena selain mereka menyediakan akomodasi konsumsi ditunjang dengan hasil kerajinan itu diharapakan untuk bisa meningkan perekonomian kebutuhan rumah tangga udah terpenuhi,” terangnya.
Penduduk mulai mengubah pola pikirnya ketika tahu kekayaan alam sekeliling perkampungan ternyata mampu membantu perekonomian keluarga. Ceritanya, pada tahun 90-an sampai tahun 2005 maraknya zaman Hak Penguasaan Hutan (HPH), kemudian disambut lagi dengan ilegal logging dari tahun 2000-2005 sehingga ketersediaan hutan mulai terancam. Merasakan pahitnya peristiwa itu, akhirnya melalui Rancangan Peraturan Desa hutan terselamtakan.
“Tahun 2008 sampai 2010 sekarang sumber daya alam seperti rotan dan sebagainya itu banyak lagi,” tambahnya.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, warga secara mandiri, melakukan pengambilan hasil hutan dengan tidak merusak hutan, melalui Peraturan Desa yang mengatur hasil alam yang non kayu yang bisa dimanfaatkan untuk kerajinan.Dalam satu keluarga dibatasi pengambilan rotan dalam memproduksi kerjianan anyaman tikar.
“Dalam satu keluarga hanya boleh memproduksi sekian untuk pengambilann bahan bakunya, nanti juga ada tempatnya ditentukan untuk mengambil rotan, karena ngambilnya kan gak mungkin tiap tahun di satu tempat yang sama, jadi tiap tahunnya di beda beda tempat, di spot yang berbeda.” jelas laki-laki berdarah Jawa ini.
Untuk mempertahankan hutan tetap lestari, aturan adat saat ini memegang peranan sangat penting.Pengambilan kayu hanya boleh dilakukan di huli sungai, yakni di hulu sungai Melemba. Disana terdapat kawasan bebas, bukan dikawasan taman nasional dan buka juga kawasan hutan lindung. Meski demikian, dalam mengambil kayu juga ada aturannya, tidaklak sebebas-bebasnya.Yakni hanya boleh mengambil kayu untuk kebutuhan masyarakat meliau dan tidak boleh dijual keluar. Untuk memastikan hukum adat dilaksanakan dengan baik, masyarakat Dusun Meliau membuat Tim Patroli yang berasal dari kelompok nelayan, begitu juuga dengan hutan adat, juga ada tim patrolinya.
Pendampingan Pengrajin Perempuan
Kesuksesan pengrajin perempuan di Melemba tidak bisa dikatakan Bediri Kaki Sendiri (Berdikari), tentunya turut andil peran Konsorsium Dian Tama dengan didukungan dana dari Millenium Challenge Account – Indonesia (MCA – Indonesia) yang saat ini sedang melaksanakan program pengembangan dan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata sebagai alternatif penghasilan dan pemanfaaat jasa lingkungan yang berkelanjutan di Desa dampingan, yang salah satunya adalah Dusun Meliau.
Tujuan utama proyek kemakmuran hijau adalah pengentasan kemiskinan melalui ekonomi rendah karbon, yang diimplementasikan dalam beberapa proyek seperti penyediaan energi baru dan terbarukan, pembangunan fasilitas dasar, memperbaiki bentang lahan, dan meningkatkan produktivitas.
Selain itu juga melalui pendampingan manajamen keuangan, sehingga selain menjadi ibu rumah tangga dan menunggu hasil tangkapan ikan suami, perempuan di malemba juga membantu perekoniman keluarga dengan berkarya melalui kerajinan tangan yang diolah menjadi tas, tikar, dan syal tenun khas daerah Melemba.
“Peran mereka itu sangat vital, artinya penting, karena mereka mulai menggagas dan mendampingi kita, sampai kita ada peraturan desa tentang mengelola ekowisata, dan jasa lingkungan, dari regulasi sampai peningkatan sumber daya manusia, dari peluang bisnis sampai mereka membantu obsevrasi lapangan tentang penlaian nilai konservasi tinggi,” timpal Sodik.
Dilain kesempatan, Herculana Ersinta leader Konorsium Dian Tama mengatakan dari pihaknya hanya sebatas membantu cara menginovasi produk agar kerajinan tangan dapat menjadi memiliki nilai jual yang tinggi.
”Kami hanya bisa membantu sebatas, karena memang kalo soal keterampilan pemenun dan menganyam, tak perlu terlalu didampingi secara khusus, tapi mungkin ada pesanan khusus, baru kita lakukan inovasi bersama mereka supaya ketika mereka produksi emang orang mau belinya, biasanya kita bawa ke pameran,” pungkasnya.
Penulis : Umi Tartilawati
Editor: Lutfiana