Sebelum berbulan-bulan yang akan datang dan kisah ini akan segera hilang, maka aku akan mencoba untuk menuliskan pendapat. Meskipun terlambat, tak apa. Dari pada tidak sama sekali berbuat.
Menilai aksi Zaadit dengan melayangkan kartu kuning kepada Mr.Jokowi adalah wajar saja menurutku. Aku bahkan menilai aksi zaadit sebagai alarm pembangun esensi mahasiswa. Lihat saja, setelah seorang Zaadit mampu se-bravo itu melayangkan kartu kuning didepan presiden RI kala dies natalais UI dan kemudian viral, pada saat itulah seruan pro dan kontra mahasiswa bermunculan baik secara langsung ataupun tidak langsung di media sosial. Dengan dialeg presepsi masing-masing orang mengutarakan pendapatnya tentang aksi itu, termasuklah saya. Artinya, alarm itu benar-benar dibuat sekreatif mungkin oleh Zaadit sehingga mampu membangungkan tidur mahasiswa yang kemudian dibagi atas dua kategori mahasiswa. Pertama ialah kategori mahasiswa yang istilahnya sedang tertidur lama didalam lemari gelap dan terbangun lalu bersuara dan menunjukkan pendapatnya lewat berbagai cara dan media. Adapun kategori mahasiswa yang tidur lalu terbangun namun tidak bersuara, tapi tetap melibatkan dirinya dalam berita itu untuk menghindari ketertinggalan berita karena takut dianggap kudet. Ya sekalipun diam, didalam hati mahasiswa itu pasti sedikit banyak ada yang bergumam tentang aksi Zaadit.
Pada awalnya, saya termasuk dalam kategori kedua. Suka rela mengikuti perkembangan berita namun tidak lantas ingin mengkritisi ataupun bersuara. Tapi saya jadi berfikir, jika saya hanya menghindari itu dengan tidak ingin bersuara, sama saja saya pelit solusi untuk diri sendiri bahkan negeri ini. Yaasshh, semoga keputusan saya ini berkualitas. Dengan bangunnya mata mahasiswa untuk sadar esensi adalah hal penting. Mahasiswa semakin tau siapa sebenarnya ia dan apa yang harus dilakukannya, mau dibawa kemana status mahasiswanya nanti, apakah dapat memberikan untung atau rugi, semuanya akan kembali pada si mahasiswa itu bagaimana kedepannya ia harus berifikir dan bersikap untuk menjadikan hidup dan waktunya bermanfaat dan selalu menyenangkan. Disitulah kemudian kurasa nilai kemanusiaan kita akan turut bangun dan sadar bahwa diam atau bersuaranya mahasiswa sangat mempengaruhi masalah-masalah sosial di negeri ini.
Dalam buku Miriam Budiarjo (2013:09), Theda Skocpol yang tersohor karena aliran sosial dan tulisannya yang berjudul “Bringing the state back in: Strategies of analysis in current research.” Ia mengatakan bahwa dalam perkembangan masalah sosial muncul pendapat bahwa pendekatan behavioralis, dalam usaha meneliti perilaku manusia, terlalu meremehkan negara beserta lembaga-lembaganya padahal pentingnya lembaga-lembaga itu tidak dapat dinafikan.
Dalam kalimat diatas, yaitu “meremehkan lembaga” adalah kata kunci yang menjukkan arah dimana tulisan yang membahas tentang aksi Zaadit ini agaknya memiliki keberpihakan. Padahal disini aku tidak akan memihak siapapun, sebab apa yang telah terjadi menurutku benar-benar menjadi pembelajaran yang berguna. Orientasi pemikiranku atas “meremehkan lembaga” bukan kemudian terletak pada aksi Zadit yang mengkritisi Mr.Jokowi, melainkan lebih ke sikap dan kebiasaan mahasiswa yang masih sering tidur atau apolitis terhadap isu negara. Itulah yang kemudian menjadi tolak ukur apresiasi besarku terhadap development brave pada Zaadit saat ia menunjukkan aksi kartu kuningnya.
Mahasiswa semakin kesini terlihat semakin banyak yang “sabodoteing” dengan negaranya, tapi tidak semua mahasiswa loh ya. Kenapa aku bilang begitu, karena aku sendiri merasa sering sedih saat melihat rekan-rekan di universitasku banyak yang perilaku sosial mahasiswanya masih egoisme sentimen personal. Bagiku sulit mengajak teman-temanku untuk mau berdiskusi membangun sikap kritis, membangun karakter kuat menghadapi dunia politik yang sering disalahgunakan. Tapi ketika ada kebijakan pemerintah untuk satu dan lain hal dan dirasa tidak pro rakyat, lalulah kemudian mahasiswa tanpa dasar ini berkoar tak jelas lalu tak jarang lantas hilang dan tak bersuara. Bersuara ya berarti harus menunjukkan apa yang disuarakan itu ada, kalau ujung-ujungnya hilang, lebih baik dari awal diam. Pendapat tersebut aku kemukakan tak lain sebagai bentuk reminder untuk diriku sendiri juga. Mengajak orang lain untuk lebih cerdas dalam bernegara ialah juga mengajak diriku sendiri agar senantiasa selalu perduli dan terus menjadi lebih baik.
Yah.. makasih loh Zaadit, makasih secara pribadi dari aku. Hehe
Hmm kalo ngeliat dari sisi yang lain, apa yang dilakukan Zaadit ke Mr.Jokowi katanya malah dibilang kurang beretika ya?, hmmm kalau masalah etika, aku yakin Zaadit sendiri udah pahamlah dan tahu betul beretika itu apa dan gimana. Tapi dalam konteks aksi Zaadit melayangkan kartu kuning ke kepala negara ini menurutku bukan etika kemanusiaan yang lantas ia hilangkan akan tetapi lebih cenderung Zaadit ingin menunjukkan bahwa terlepas dari etika kemanusiaan, ini adalah sebuahkritisi, dan cara penyampaiannya sengaja dengan langsung disampaikan di depan Mr.Jokowi malah pada acara Dies natalis UI, itu pure bentuk esensi mahasiswa dalam berkritik. Secara etika memang tidak seyogyanya, tapi masuk akal saja kalau development brave yang dilakukan Zaadit juga termasuk bentuk usahanya menyampaikan aspirasi langsung didepan Mr.Jokowi yang sebagai presiden tentu dong susah banget ditemuin. Nah dengan cara begitulah Zaadit mencoba alternatif kreatif. Kalo bicara masalah etika, etika apa sih yang dipermasalahkan? Bahkan rakyat yang sudah mengedepankan moral etika kepada pejabat negara dan kaum pemerintahan di negeri ini saja tidak juga banyak merubah kondisi bangsa jauh lebih baik, yang terjadi malah etika tersebut sedikit banyak ditumpangi dengan kepentingan yang merugikan rakyat.. so far, i hope u know what i mean guys.
Ini bukan berarti etika tidak perlu, justru itu sangat fundamental. Tapi aku rasa, apa yang dilakukan Zaadit sudah mewakili sikap beretika politik kok di Indonesia yang masalah politiknya sangat kompleks dan keras ini.
Yang pasti, dari adanya kasus ini kita sebagai mahasiswa harus terbangun kembali dan bersikaplah dengan baik atas berbagai permasalahan negara yang kompleks. Memahami, mengoreksi, dan menciptakan solusi. Simple saja, menurutku solusi yang baik itu adalah ketika kita bisa memulai hal kecil yang lebih baik untuk diri kita, berkarya dan tetap kritis menghadapi isu politik yang merajalela perasaan. Tidak kemudian menciptakan obrolan panas dan perdebatan tak berujung, bahkan yang ada malah timbul konflik dan tentu itu akan membuat suasana semakin tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, apa yang bisa kita lakukan sesuai jangkauan kemampuan kita ialah misalnya dengan tetap menjadikan diri kita dan lingkungan tetap positive dan membahagia. Terimakasih. Salam mahasiswa.
Oleh : Saidatul Mutia, Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untan