Beberapa hari lalu, Pemirama atau Pemilihan Raya mahasiswa di Universitas Tanjungpura diselenggarakan. Sebuah peryaaan demokrasi yang banyak menimbulkan catatan.
Pemilihan raya yang menentukan Ketua BEM dan DPM itu dilaksanakan secara serentak di semua fakultas (5/3). Namun satu hal penting, meski pemenang unggul lebih dari 50% suara, hanya 16% mahasiswa yang menggunakan hak pilih di Untan. Enam belas sekian persen ini bernilai sekitar 4.000 dari total 27.630 Daftar Pemilih Tetap. Angka ini juga bukan hanya tahun ini terjadi. Pemirama yang diselenggarakan tahun sebelumnya juga berkisar pada angka 4000 pemilih mahasiswa dan lebih dari 80% golput.
Tentu bukan sebuah angka yang dapat dibanggakan, bahkan harusnya menjadi tamparan keras bagi penyelenggara serta objek yang dipilih. Dalam hal ini adalah BEM dan DPM skala universitas.
Golput 84%, seakan memberikan gambaran bahwa dua lembaga perwakilan mahasiswa itu tidak menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan perkuliahan. Padahal, sejarah mencatat awal dari BEM dan DPM atau seringkali di kampus lain disebut Senat atau Dewan Mahasiswa lahir dari proses bottom up. Artinya mahasiswa yang menciptakan dan bukan suatu entitas yang sengaja dibentuk oleh birokrat. Namun kini, khususnya di Untan, kondisinya seakan terbalik. Sekali lagi, 84% mahasiswa tidak ikut serta dalam menentukan pilihan pemimpin mahasiswa adalah cermin yang buruk dalam menilai eksistensi dua entitas ini.
Baca Juga: Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Pemirama Diwarnai Kericuhan
Penulis kira banyak hal yang menjadi pertimbangan mengapa hal tersebut bisa terjadi. BEM misalnya, ia yang memiliki peran advokasi kepada pihak rektorat seringkali hanya sampai pada agenda-agenda seremonial belaka. Jajak pendapat bersifat eksklusif serta kajian-kajian yang kelewat usang membuat kita bertanya tentang apa sebenarnya yang sedang dilakukan.
DPM juga tak kalah banyak sorotan. Hadirnya yang hanya ketika dimasa pemilihan raya seakan mengecilkan diri bahwa tugas DPM hanyalah sebagai wadah penyelenggara Pemirama. Melupakan tugasnya sebagai legislasi yang juga harus mengkritik dan mengkaji. Tak jarang bahkan badan legislasi ini hanya menjadi pelengkap hadirnya tanpa melakukan tugas dan kewajiban.
BEM dan DPM juga seringkali nampak mesra dengan pihak birokrat. Tentu itu bukan satu hal salah, namun ketika kedekatan membuat kritisme menjadi tumpul bahkan segan untuk berbicara, maka artinya ada hal lain yang terjadi. Tentu miris, ia yang sering menggaungkan kritisme dan agen dari perubahan, malah terjebak dalam hegemoni kekuasaan.
Sesekali memang ada aksi. Tapi aksi juga yang dilakukan seringkali lebih berbau politis daripada substansi yang dibawa di dalamnya. Memang ini suatu hal yang bisa diperdebatkan, namun pola yang terlihat seringkali isu yang begitu jauh diangkat dan melupakan hal yang dekat dengan mahasiswa itu sendiri.
Hal lain lagi yang menjadi catatan penting adalah dinamika pergantian kekuasaan. Pergantian kekuasaan seringkali menimbulkan pertikaian. Bahkan menghalalkan segala cara demi mendapatkan kursi kepemimpinan.
Baca Juga: Ruang Kosong Debat Presidensial
Alasannya adalah kursi kepemimpinan selalu menjadi rebutan dari organisasi luar kampus. Hadirnya entitas luar kampus ini membuat perpolitikan menjadi panas. Tolok ukurnya bukan lagi kapabilitas ataupun visi-misi dari calon, melainkan mutlak pada latar belakang dari calon itu sendiri.
Golongan alternatif yang diharapkan muncul juga seringkali hilang bahkan sebelum bertempur. Ia tidak bisa berkata banyak bahkan cenderung hadirnya hanya menjadi penyamar dari dua kelompok besar agar tidak begitu kentara.
Panasnya di awal pergantian kekuasaan akhirnya juga akan berdampak pada masa kepemimpinan nantinya. Objek yang terpilih seakan tidak bertanggung jawab terhadap mahasiswa pada umumnya (meski banyak yang golput) dikarenakan sebab ia naik adalah karena efek dari latar belakang organisasi luar yang dimiliki, bukan kepada mahasiswa itu sendiri. Kesibukannya kemudian hanya akan berkutat pada pelebaran marwah dan mempersiapkan suksesor dari latar belakang yang sama di tahun selanjutnya. Tidak ada lagi agenda-agenda perjuangan aspirasi atau tindakan progressif lainnya secara sungguh-sungguh.
Kalau sudah begini, berharap saja tidak diperlukan karena sudah bisa mengira apa yang diharapkan tidak akan pernah dilakukan oleh wakil-wakilnya. Suara golput 84% menjadi jawaban bahwa perpolitikan mahasiswa Untan sedang tidak sehat. Begitu banyak yang tidak peduli menjadi satu poin penting menjawab seberapa jauh manfaat keberadaan dua lembaga ini bagi mahasiswa banyak.
Baca Juga: Pentingnya Paradigma Baru Hakim di Kasus Tipikor
Hal-hal ini harus diperbaiki jika ingin eksistensinya diharapkan menjadi bagian penting bagi mahasiswa. Perubahan yang mendasar perlu dilakukan. Semacam kembali kepada pandangan bahwa kampus adalah laboratorium raksasa dimana semua macam ilmu diuji secara ilmiah. Maka dalam praksisnya, termasuklah politik kampus juga harus dilakukan dengan ilmiah dan tidak terjebak dalam politk identitas yang menghancurkan.
Menilik kembali hakikat dibentuknya dewan mahasiswa dalam sejarah juga penting untuk dilakukan untuk mengisi kembali semangat perjuangan yang hilang. Namun sebelum semua itu, agaknya juga penting untuk mengakui dosa yang sudah-sudah.
Penulis: Adi Rahmad (Mahasiswa Untan)