mimbaruntan.com, Untan – Lima belas pemusik gambus berkolaborasi dalam kegiatan Rantai Bunyi Konser Ceramah, Dawai Syair Melayu pada Kamis, (21/09). Kegiatan yang diadakan di Keraton Kadariah tersebut menjelajahi musik dawai dengan warna gambus Oud dan Selodang.
Materi bunyi yang menjadi fokus dalam perayaan Pekan Kebudayaan Nasional 2023 adalah dawai dengan atau tanpa nyanyian. Rantai Bunyi menelusuri bagaimana material bermusik yang berciri serupa merantai secara kontekstual.
Baca Juga: Ruang Apresiasi dan Ekspresi Seni di Pontianak Terbatas?
Menurut Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Yudi Wahyudi, penguatan kebudayaan dapat dilakukan dengan penguatan komunitas. Dengan adanya perbedaan, seperti pada alat musik dawai juga dapat menyatukan masyarakat sosial melalui karya musik.
“Untuk kemajuan kebudayaan salah satu caranya adalah penguatan ekosistem, melalui musik dawai. Perbedaan adalah berkah, untuk mempersatukan karya melalui Rantai Bunyi,” katanya pada Kamis, (21/09).
Adapun Konser Ceramah ialah rangkaian kegiatan dari Pekan Kebudayaan Nasional, yang diadakan pada lima provinsi residensi terpilih: Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi residensi terakhir.
Program residensi di Kalbar terdiri dari lokakarya, kreasi, penelitian dan publikasi. berkolaborasi dengan Balaan Tumaan, residensi mengundang empu dan 15 pemusik baik pelaku musik senior, junior maupun pemula.
Konser Ceramah menyuguhkan bunyi ketika para musisi berdialog satu sama lain dalam pemaknaan bunyi baru. Para musisi residensi didatangkan dari berbagai wilayah di Kalbar. Dengan perbedaan kultur dan generasi, mereka bersama-sama mengeksplorasi musik dawai.
Baca Juga: Perempuan Melayu Terakhir
Konser tersebut turut menghadirkan Sultan Pontianak ke-IX, Syarif Machmud Melvin Alqadrie. Ia mengapresiasi kegiatan tersebut lantaran melakukan aktivitas bermusik tradisional di tengah ramainya musik kekinian.
“Selama ini kita hanya mendengar musik-musik modern. Ini musik tradisional, dimana alat yg disediakan adalah alat-alat tradisional, hal ini harus kita angkat kembali,” ucapnya.
Imel, mahasiswa yang menikmati konser tersebut berpendapat bahwa musik tradisional terjangkau untuk kalangan manapun. Namun ketertarikan anak muda terhadap kebudayaan tersebut masih sedikit.
“Yang namanya kebudayaan memang harus dilestarikan. Tidak semuanya anak milenial menguasai alat musik tradisional, karena di era sekarang minat dan bakat itu minim untuk budaya kita sendiri. Dengan adanya kegiatan seperti ini semoga bisa mendorong remaja milenial agar lebih mencintai kebudayaannya sendiri,” pungkasnya.
Dengan adanya kegiatan seperti ini semoga bisa mengapresiasi remaja milenial agar lebih mencintai kebudayaannya sendiri.
Penulis: Putri
Editor: Mira