mimbaruntan.com,Universitas Tanjungpura-Ada berbagai macam cara memaknai peringatan hari HAM yang jatuh pada 10 Desember lalu, Ada yang mengadakan aksi turun ke jalan, ada juga yang menggelar diskusi, bahkan ada yang menggelar pemutaran film dan diskusi.
Kegaduhan para penonton di aula Perpustakaan Daerah berubah hening saat lampu-lampu mulai dimatikan, seolah-olah tahu film akan segera diputar para penonton tanpa komando memilih membisu menyaksikan layar lebar yang dipajang panitia.
Ya, sekitar puluhan orang sengaja datang untuk menyaksikan pemutaraan film “Senyap” karya Joshua Oppenheimer. Film yang bergenre dokumenter ini berdurasi sekitar 90 menit. Joshua memfilmkan para pelaku genosida di Indonesia, peristiwa bersejarah yang pernah terjadi sekitar tahun 1965 terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Komunis yang kala itu dianggap mengganggu stabilitas negara setelah meletusnya Gerakan 30 September atau yang sering dikenal dengan G30S ini ditangkap dan dihabisi di beberapa daerah di Indonesia.
Film yang mengangkat Adi sebagai tokoh utama merupakan adik kandung dari korban pembunuhan tersebut, ia bertekad untuk memecah kegelisahan kehidupan keluarganya semenjak peristiwa sadis itu terjadi.
Adi mencari tahu para pelaku pembunuhan tersebut, hingga ia berhasil menemui beberapa pelaku yang terlibat dalam peritiwa ini. Namun Ia mendapat tantangan dari para pelaku tersebut karena PKI hingga saat ini masih dianggap tabu masyarakat Indonesia. Para pelaku membela diri karena peritiwa tersebut merupakan suatu kebanggaan bagi mereka yang dianggap sebagai tindakan bela negara.
Gelak tawa sesekali memecah keheningan ketika ada adegan-adegan atau kata-kata yang terdengar lucu, hingga pemutaran film berakhir para penonton ramai memberikanapresiasi terhadapan film “Senyap” ini.
Peraih Eagle Award 2013, Lanang, mengatakan film ini berani mengangkat apa yang sudah menjadi tabu pada masyarakat Indonesia. “Ada keterbukaan dalam film ini, apa yang kita pelajari selama ini tidak semuanya benar, namun film ini membuka mata generasi muda,” ujar Lanang.
Ajaran yang terlanjur melekat pada masyarakat terhadap PKI di tanah air telah mendarah daging hingga sekarang. Bahkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah menggambarkan pembrontakan PKI merupakan bentuk penghianatan terhadap negara sehingga orang-orang PKI dianggap musuh dan harus tumpaskan.
Mantan Bupati Kuburaya, Muda Mahendrawan menilai sisi yang ditonjolkan dalam film ini sebenarnya positif, karena menampilkan sisi-sisi humanis. “Kalau Joshua menonjolkan dari sisi yang terlalu besar, nanti khawatirnya hal ini tidak ada habis-habisnya,” ujar Muda.
Muda juga mengingatkan bahwa itulah masalalu, kemudian sekarang kita harus terima, tetapi dengan catatan kita tidak ingin hal itu terus menerus mengantui, dan menjadi phobia bagi masyarakat kita.
Kegiatan tidak hanya berakhir pada pemutaran film, namun dilanjutkan dengan diskusi mengenai film tersebut. Nelly, pemateri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pontianak mengungkapkan film ini merupakan satu bagian yang penting. “Film ini meluruskan fakta-fakta yang terjadi saat ini,” ujarnya.
Pemutaran film dan diskusi ini diprakarsai Lembaga Bhinneka bekerjasama dengan Canopy Indonesia serta Komnas HAM. Dianna, Penulis yang aktif di Lembaga Bhinneka ini menyampaikan melalui film ini kita diajak untuk berpikir dan merenungkan kembali sejarah kelam bangsa ini. “Kita diajak untuk lantang menyuarakan agar tindak kekerasan dan pelecehan menjadi perhatian yang harus diselesaikan secara hukum,” ujar Dianna.
Saat ini Pontianak, menjadi kota yang beruntung karena berhasil memutar film ini, sebab di beberapa tempat di Indonesia, adanya larangan terhadap pemutaran film “Senyap”. Bahkan panitia pemutaran film mendapatkan teror dan intimidasi oleh aparat dan penguasa setempat yang belum jelas alasan mengapa film ini dilarang pemutarannya.
Reporter : Iman