Tawa riang dan lantunan selawat menghidupkan suasana di Lembaga Pendidikan Agama Islam (LPAI) tunanetra Ar-Rahmah. Saat disambangi oleh reporter Mimbar Untan pada Minggu (29/01) lalu, LPAI Ar-Rahmah tampak ramai oleh santri tunanetra dengan aktivitasnya masing-masing. Berlokasi di Jl. Seram I, Kecamatan Pontianak Selatan, LPAI Ar-Rahmah menjadi rumah bagi anak-anak tunanetra untuk tinggal dan belajar.
Kami sempat menemui salah satu santri, yaitu Heri atau yang akrab disapa Kacong. Heri sudah menghuni LPAI Ar-Rahmah sejak tahun 2012. Kepada kami, Heri menceritakan keinginannya untuk berbagi ilmu kepada sesama tunanetra setelah menyelesaikan pendidikan di LPAI Ar-Rahmah.
“Saya harap nanti setelah saya keluar dari sini bisa membagikan ilmu-ilmu saya dengan orang lain baik itu pada sesama tunanetra ataupun pada orang lain jugalah sesuai pengetahuan saya,” ucapnya.
Kemudian kami dibawa berkeliling oleh Indra, ketua yayasan LPAI Ar-Rahmah, untuk melihat langsung ruangan-ruangan di LPAI serta aktivitas santri di dalamnya. Bangunan LPAI Ar-rahmah mencakup musala, ruang kelas, dan beberapa kamar yang dipisahkan antara santri ikhwan dan akhwat.
Sejarah Singkat Berdirinya LPAI Ar-Rahmah
Dalam kunjungan kami, Indra menceritakan sejarah singkat berdirinya LPAI Ar-Rahmah dan bagaimana merangkul anak-anak tunanetra di dalamnya. Menurut ceritanya, rumah yang saat ini dihuni anak-anak tunanetra adalah milik suami istri, Datok Rahim Ja’far dan Fatimah. Sepeninggal Datok Ja’far, rumah tersebut telantar karena kesebelas anaknya sudah memiliki rumah masing-masing.
Salah satu menantu dari Datok Ja’far adalah seorang qariah internasional yang bekerja di Departemen Agama dan tinggal di Jawai. Di Jawai ia bertemu anak-anak tunanetra yang belajar mengaji secara otodidak. Karena tidak ada guru, maka tidak pernah ada yang mengoreksi bacaan mereka. Akhirnya anak-anak tersebut, sejumlah 27 orang dibawa ke sebuah rumah yang berada di Jl. Paris 2. Namun karena rumah tersebut tidak cukup menampung 27 anak, mereka dipindahkan ke rumah Datok Ja’far.
Kesebelas anak Datok Ja’far masing-masing mengumpulkan bahan pokok untuk anak-anak. Selain kebutuhan makan dan tempat tinggal, anak-anak tersebut juga diberi pendidikan Al-Qur’an dan pengetahuan agama.
Di tahun 2013, Indra yang merupakan cucu tertua dari Datok Ja’far, ditunjuk untuk menjaga rumah tersebut dengan anak-anak tunanetra yang menghuninya. Indra mencari cara agar anak-anak tunanetra di LPAI Ar-Rahmah bisa mendapatkan pendidikan. Hingga suatu ketika, Indra mengetahui bahwa ternyata ada 3 anak di LPAI yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Rasau Jaya. Akhirnya Indra datang ke sekolah itu untuk mendaftarkan 3 anak lainnya. Saat itulah ia bertemu Ngatinem, kepala sekolah SLBN Rasau Jaya, yang kemudian menawarkan kerjasama agar LPAI Ar-Rahmah dijadikan sekolah khusus untuk anak tunanetra.
Kini, LPAI Ar-Rahmah memiliki 3 tenaga pengajar. Para murid dikelompokkan sesuai umurnya untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Murid tunanetra dari SLBN Rasau Jaya juga dipindahkan tempat belajarnya ke LPAI Ar-Rahmah.
Baca Juga: Sekitar Pendidikan, Lingkungan Positif untuk Belajar dan Bertumbuh
Perjalanan Mengelola LPAI Ar-Rahmah
Gemuruh langit disusul dengan suara air membentur atap Ar-Rahmah, mengiringi cerita Indra mengenai perjalanannya mengurus anak-anak tunanetra. Bagi Indra, mengurus anak-anak tunanetra tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, dan kerohanian saja, tetapi juga harus ada hal yang mendukung pendidikan dan keterampilan mereka.
“Anak-anak mau belajar, tapi belajar harus pakai braille,” ujarnya.
Mengayunkan tangan, memainkan raut muka, Indra berusaha menggambarkan rasa sakit yang anak-anak tunanetra rasakan saat mereka mempelajari braille yang menjadi salah satu alasan satu per satu dari mereka memilih pulang, yang tadinya berjumlah 27 orang tersisa 6 orang.
“Belajar braille tuh sakit disini (menunjuk daerah sekitar kepala bagian belakang sampai leher), ada yang nangis, ada yang mundur dulu ke belakang, ada yang tidur, terutama mereka yang usianya yang sudah lumayanlah (berumur). Jadi itu yang bikin dari 27 orang sisa 6 orang, semangat belajarnya kurang.”
Kini terdapat 19 anak yang bersekolah di LPAI Ar-Rahmah, yang terdiri dari 7 siswa SD, 5 siswa SMP, dan 7 siswa SMA. Namun, tidak semua anak yang menempuh pendidikan di Ar-Rahmah juga tinggal di panti asuhannya. Sebagian merupakan murid yang sebelumnya belajar di SLBN Rasau Jaya,
“Kalo yang tinggal di sini itu biasanya karena jauh tinggalnya atau kadang ada orang tua yang merasa lebih baik anaknya tinggal di sini biar bisa bergaul dengan anak-anak yang lain.” tutur Indra.
Dukungan dan kepercayaan orang tua juga menjadi tantangan bagi Indra mengasuh anak-anak tunanetra. Ia menjelaskan bahwa orang tua dari anak-anak tunanetra lebih protektif daripada orang tua pada umumnya.
“Anak-anak tunanetra ini punya orang tua protektif, lebih besar melindungi karena anaknya ga melihat. Jadi kalau ada kejahatan, kalau ada orang jahat atau baik, ‘kan anaknya ga bisa membedakan, makanya orang tuanya takut anaknya celaka. Jadi kekhawatiran itulah yang buat orang tua lama mempertimbangkan untuk menitipkan anaknya di kami,” jelasnya.
Derap langkah kaki serta obrolan kecil anak-anak tunanetra beberapa kali terdengar di tengah perbincangan kami dengan Indra. Sesekali, Indra menyapa anak tunanetra yang melintas dengan ukiran senyum di wajahnya. Mengingatkan mereka untuk berjalan dengan hati-hati.
Menurut Indra, dukungan dan motivasi diperlukan untuk anak-anak tunanetra. Maka kehadiran psikolog dapat membantu anak-anak tunanetra membangun rasa percaya dirinya.
“Psikolog juga memotivasi mereka (anak-anak tunanetra), bagaimana mereka tetap semangat menjalani hidup ini. Itulah kenyataan, jadi mereka percaya diri dengan segala keadaan mereka,” terangnya.
Indra mengaku, perjalanan selama sepuluh tahun mengelola LPAI Ar-Rahmah memberikan banyak hal baru baginya. Baginya lembaga pendidikan ini pun didorong untuk bergerak karena anak-anak disana.
“Perjalanan ini dalam sepuluh tahun itu banyak lah hal yang baru buat saya. Intinya, Ar-Rahmah ini hanya menyalurkan dan memfasilitasi, tapi merekalah (anak-anak) motivasinya, orang tuanya juga,” pungkasnya.
Pendidikan di LPAI Ar-Rahmah
Fasilitas belajar yang digunakan oleh anak-anak tunanetra di LPAI Ar-Rahmah diperoleh dari SLBN Rasau Jaya. Kementerian Agama juga telah menyalurkan kitab suci Al-Qur’an. Selain itu, setiap sebulan sekali Perpustakaan Alianyang secara rutin membawakan sebanyak 36 buku cerita, yang ditukar dengan buku-buku baru di bulan berikutnya.
Namun, meski telah tersedia fasilitas belajar, LPAI Ar-Rahmah memerlukan sumber daya manusia yang dapat membantu anak-anak tunanetra belajar, yaitu seorang guru. Saat ini LPAI Ar-Rahmah memiliki 3 tenaga pengajar. Menurut Indra, jumlah tersebut sudah cukup untuk mengajar sebanyak 19 anak yang bersekolah di LPAI Ar-Rahmah.
Kurikulum yang diterapkan di LPAI Ar-Rahmah menginduk pada SLBN Rasau Jaya. Untuk sistem pembagian kelas, setiap anak dipisahkan sesuai umurnya untuk SD, SMP, dan SMA.
Namun, menurut Indra setiap anak memiliki kendala masing-masing sehingga harus dikhususkan pembelajarannya. Indra juga menekankan bahwa pemahaman dan keyakinan orang tua diperlukan untuk menerima anak di LPAI Ar-Rahmah .
“Setiap anak memiliki kendala masing-masing sehingga harus dipisahkan dalam belajarnya dan dikhususkan. Dan yang perlu kita lakukan untuk menerima setiap anak yang mau di panti ini adalah perlu adanya pemahaman pada orang tua dan memberi keyakinan pada orang tua,” jelasnya.
Baca Juga: Puncak Pekan Raya di Tengah Kota
Setitik Harapan di LPAI Ar-Rahmah
Ketika ada tujuan, disana ada harapan. Di akhir perbincangan kami, Indra menyampaikan harapannya agar keberadaan LPAI Ar-rahmah dapat tersosialisasikan. Bahwa masih ada tempat bagi anak tunanetra untuk belajar menjadi pribadi yang mandiri. Indra juga berharap agar lebih banyak orang peduli dan ikut memberdayakan anak-anak tunanetra.
“Harapan saya, satu, dengan keterbatasan finansial serta sarana dimiliki, saya ingin panti ini tersosialisasikan ke siapapun. Sehingga kalau ada keluarganya yang tunanetra, ada tempat untuk meringankan bebannya disini, dan akhirnya harapan kita anak bisa mandiri. Kedua, dengan tersosialisasikannya panti ini, ada yang peduli ke kita atau ada yang ingin memberdayakan serta ikut serta menjadi bagian dari kita,“ tutupnya.
Penulis : Ibnu, Joko, dan Vanessa
Editor : Putri