Oleh Septi Dwisabrina
Suasana hening dan sunyi, mewarnai kehidupan Helly. Gadis yang baru berumur 16 tahun ini, sudah terbiasa menjalani kehidupan yang serba apa adanya. Semenjak ia di tinggal kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan bis, kemudian Helly pun diasuh oleh pamannya yang juga hidup pas-pasan.
Sehari-hari paman Helly hanya bekerja sebagai pencari jangkrik. Penghasilan yang di dapat pun tidak seberapa. Kadang untuk makan sehari-hari saja sangat sulit, apalagi untuk melanjutkan sekolah Helly di jenjang SMA, itu sangat memerlukan biaya yang lumayan besar.
Namun, tidak pernah terlintas dibenak Helly untuk melanjutkan sekolahnya, ia berfikir untuk apa bersekolah tinggi-tinggi, pasti nantinya akan mendapat pekerjaan yang ala kadarnya.
Walaupun Helly hanya tinggal berdua dengan pamannya, Helly sebenarnya tidak mau terlalu bergantung kepada pamannya. Terkadang Helly sungguh sedih melihat kondisi pamannya itu yang kurang sempurna. Akan tetapi jauh dilubuk hati Helly yang paling dalam, ia selalu berdoa agar pamannya itu sehat selalu dan di murahkan rizekinya.
Suatu hari, Helly dengan pakaian yang lumus, berjalan kaki diatas trotoar dekat gedung yang menjulang tinggi. Di pandanginya gedung itu dari atas hingga kebawah.
“Andai saja, aku bisa bekerja di dalam gedung ini, pasti aku bisa membahagiakan paman” ucap Helly lirih.
Merasa angan-angan itu tidak akan pernah tercapai, ia pun melangkahkan kakinya dengan cepat melewati kerumunan orang-orang yang berada dengan pakaian yang rapi dan bersih.
Ketika malam tiba, segerombolan lelaki berbadan tegap mengedor-gedor pintu rumah. Helly yang awalnya terlihat nyenyak dalam tidur pun terbangun. Ketika Helly keluar dari kamar, ia melihat pamannya dicekik kemudian di jatuhkan kelantai.
“PAMAN!!” teriak Helly. “kalian ini siapa?” tanya Helly seraya menolong pamannya.
“Pokokya kalau sampai besok pagi kalian tidak membayar sewa kontrakkan, silahkan angkat kaki dari rumah ini!” seru lelaki berambut gondrong.
Malam itu Helly tidak bisa tertidur, ia kasihan melihat pamannya itu teraniaya. Perasaan hambar melengkapi ketersiksaan Helly, sempat terlintas dipikirannya untuk mencari jalan pintas, agar bisa membantu pamannya itu. Seketika itu ia terbayang-bayang sosok kedua orang tuanya yang seakan-akan ingin menguatkannya.
“Aku harus bekerja lebih giat lagi demi paman” ucap Helly penuh semangat.
Pagi yang begitu mencekam menghinggapi batin Helly dan pamannya. “Sepertinya kita harus pindah dari sini hel, paman sudah tidak ada uang lagi”. Helly hanya tertunduk, ia bingung apa yang harus ia lakukan.
Tiba-tiba dari luar orang-orang yang berbadan tegap itu datang dan menerobos masuk kedalam rumah, dan langsung mengacak-ngacak isi rumah.
“Berhenti… aku dan pamanku akan pergi dari rumah ini!” teriak Helly.
“Bagus, kalo kalian pergi…cepat tinggalkan rumah ini”.
Helly dan pamannya merapikan barang-barang yang akan mereka bawa. Setelah keluar dari rumah itu, helly dan pamannya itu tunggang langgang tak tentu arah melewati jalan setapak.
“Hel…maafin paman ya, seharusnya paman bisa buat kamu bahagia” ucapnya lirih.
Mendengar ucapan pamannya itu, helly sungguh tak kuasa dan tak bisa berkata apa-apa. Ia pun memeluk pamannya dan air matanya pun jatuh seketika.
Helly melepaskan pelukannya. “Seharusnya helly yang minta maaf, karena helly Cuma nyusahin paman aja”.
“Kamu tidak nyusahin paman hel, karena paman bertanggung jawab penuh terhadapmu”.
Tiba-tiba hujan lebat mengguyur kawasan itu. helly dan pamannya pun mencari tempat berteduh. Mereka pun singgah di salah satu warung kecil di simpang jalan.
Terdengar suara perut helly berbunyi.
“Kamu lapar hel ?” tanya pamannya.
“Ga kok, helly ga lapar” jawab helly menyakinkan, meskipun itu adalah kebohongan.
Helly tidak ingin merepotkan pamannya itu, ia pun harus bisa melawan rasa laparnya agar tidak menjadi beban.
“Malam ini kita tidur dimana paman ?” tanya Helly.
“Paman juga bingung hel, kalau kita pulang ke kampung, kamu mau ?”
Helly terdiam sejenak. Sebenarnya ia tidak ingin kembali lagi ke kampung halamannya itu, karena disana penuh dengan kenangan ia bersama kedua orang tuanya. Namun, ia tidak boleh egois. Jika pulang ke kampung adalah jalan terbaik, kenapa tidak ?.
Helly pun mengangguk.
“Paman punya uang 300 ribu, ini cukup untuk kita pulang ke kampung”.
Helly menghela nafasnya perlahan. semoga ini yang terbaik, pikirnya.
Dua hari pun berlalu, helly dan pamannya tiba dikampung halaman. Tidak ada yang berubah, semuanya terlihat sama seperti waktu terakhir helly meninggalkan kampungnya itu.
Menempati kembali rumah kecilnya itu, membuat kenangan lama muncul silih berganti. Helly terduduk di kursi kayu di depan rumahnya.
Pamannya tidak ingin mengganggu suasana hati helly yang terlihat sangat menghayati kenangan di masa lalu.
Malam pun tiba. Helly mendapati pamannya itu duduk merenung seorang diri di atas kursi.
“Paman mikirin apa ?”.
“Helly…..” ucap paman terkejut. “bukan apa-apa hel, paman Cuma ingin bekerja”.
“Tapi….”.
“Paman tau, kondisi paman tidak memungkinkan untuk bekerja, tapi paman tidak bisa hanya berdiam terus melihat kehidupan seperti ini”.
Helly tersentak mendengar ucapan pamannya itu. helly pun masuk kedalm kamarnya.
“Aku harus bantuin paman, aku harus bisa mandiri dan ngebahagiain paman, aku harus bisa”.
Keesokan harinya, helly pergi sangat pagi menuju ke pasar. Ia berharap disana ia bisa mendapat uang dengan menjadi jasa pembantu para pedagang. Meskipun mengangkat barang-barang berat, helly rela melakukannya.
Setiap hari helly bekerja tanpa sepengetahuan pamannya. Ia takut pamannya marah jika tau ia bekerja. Sedekit demi sedekit, hasil jerih payah helly terkumpul meskipun tidak banyak ia tetap bersyukur.
Ketika ia pulang, ia di tanya oleh pamannya itu. “kamu dari mana hel, kenapa baru pulang ?”.
“Ehmm…Helly dari jalan-jalan ke kampung sebelah paman”.
“Hel…tadi paman banyak dapat jangrik, kalo di tempat tinggal kita dulu, tidak banyak dapatnya tapi disini lumayan banyak”.
Helly mencoba untuk tersenyum walaupun hatinya miris, ia sedih melihat pamannya rela berjuang demi dia, walaupun fisiknya tidak sempurna.
Tahun demi tahun silih berganti, kini usia Helly sudah menginjak 18 tahun. Kali ini helly berinisiatif untuk pergi ke tempat seorang pemilik kebun buah di kampung itu, berharap bisa membantu, karena sedang musim buah.
Setibanya disana, ia langsung bertemu dengan pemilik kebun. Ia pun menyampaikan niatnya itu. pemilik kebun itu sungguh terkesan dan merasa terbantu. Saking seringnya helly membantu pemilik kebun itu saat musim buah, pemilik kebun itu pun memperkerjakan helly disana. Helly sungguh senang bisa bekerja disana dengan penghasilan yang lumayan.
Helly pun memberitahu pamannya, bahwa ia memperoleh pekerjaandi tempat seorang pemilik kebun. Awalnya pamannya itu marah, karena helly bekerja, namun setelah mendengar penjelasan helly, ia pun menyetujui walaupun sedikit berat.
Dari usaha yang paling kecil inilah, helly pun bisa membantu pamannya itu. setidaknya sekarang helly sudah tidak bergantung kepada pamannya lagi dan sudah bisa mandiri.
Di tahun-tahun sebelumnya ia tidak bisa memberi apa-apa untuk pamannya.
Akhirnya, di tahun ini, tepatnya dihari ulang tahun pamannya yang ke 40, ia memberinya sesuatu.Pamannya begitu terharu, ketika helly memberikannya sebuah baju koko dan peci. “Paman ini hadiah dari helly untuk paman, meskipun tidak mahal, tapi helly ikhlas memberikannya untuk paman, meskipun ga setimpal dengan apa yang telah paman lakuin untuk Helly selama ini, ini sebagai balas jasa helly kepada paman”.
Paman helly pun memeluk tubuhnya. “Terima kasih hel…”.
Walaupun bukan orang tua kandungnya, namun ia sudah menganggap pamannya itu seperti orang tuanya sendiri. Kini hari-hari Helly sedikit lebih baik, dari sebelumnya. Terus berharap yang terbaik demi masa yang akan datang.