Rinai gerimis membasuh kota yang dilintasi garis equator ini. Awan kumulonimbus membingkai angkasa minggu ke dua bulan Maret. Kakiku menapaki trotoar yang basah, sorot mataku mengamati orang-orang sekitar hanya aku? Benar, hanya diriku perempuan aneh yang tetap membiarkan tombak langit menusuk kulitku. Menerpa langkah yang kalut tak terarah. Sekelebat bayangan insiden dua jam berselang membentang bak menonton layar lebar bergenre melodrama dari kehidupanku sendiri.
“Erra?” Zael menggenggam tanganku tak lupa tatapan nanarnya.
“Aku tidak apa-apa. Hanya memintanya kembali.” Jelasku dengan senyum tipis.
“Kenapa kembali hanya untuk membaca ulang kisah yang narasinya saja kau sudah hafal?” Ia sedikit geram dengan tingkah keras kepalaku.
“Aku hanya perlu memperbaiki hubungan kami. Mungkin dia bosan dengan diriku yang monoton lagipula aku tak sempat memenuhi standar gadis cantik yang ia inginkan, tapi aku bisa mengatakan padanya sekaligus meminta waktu agar dapat memenuhi standar itu.” Paparku perlahan. Aku sungguh tak perduli Zael mengerti ataupun tidak maksudku bahkan jika ia memberiku solusi, aku hanya perlu seorang yang mendengar tuturku.
“Kau berharga, Ra! Jangan pernah menjadi orang lain, kau punya standar sendiri untuk cantikmu kalau kau terus memaksakan diri menjadi seperti apa yang dirinya mau bukankah artinya kau terpijak ego mantan kekasihmu?” Zael semakin tak suka dengan penjelasanku.
“Mungkin karena rambutku ikal jadi tampak sangat tidak rapi, jika Jack tidak menyukainya aku bisa smoothing atau memberi hiasan poni.” Bantahku dengan tawa kecil.
“Kau sudah lakukan itu. Aku tidak tahu kenapa kau hanya fokus pada satu pria yang tidak pernah menghargai keberadaanmu, dua bulan lalu tepat di hari jadi ke tiga tahun hubungan kalian, pria itu membatalkan janjinya sama seperti tahun-tahun sebelumnya.” Protes Zael.
Kami memang seperti kutub magnet yang sejenis, saling tolak menolak secara opini.
“Mungkin saja Jack sibuk.” Sahutku.
“Sibuk? Kau tak lihat bagaimana dia pulang ke rumah sempoyongan, apakah itu dinamakan sibuk? Dia akan pergi dengan gadis-gadis dan sahabat perempuannya lalu membuat hati mungilmu merasa insecure, kemudian kalimat tidak pantas untuk siapapun direspon oleh otakmu. Kau tak pernah berubah, Ra. Aku lelah menasehatimu.” Zael menunjuk ke arah jantungku ocehannya naik dua oktaf. Untung saja sedang hujan lebat jadi Kafe ini tak begitu ramai pengunjung.
Aku menggenggam tas ransel tua milikku, sepatu lusuh dengan tampilan acak-acakan, dalam hatiku bergumam “Aku benar-benar menyedihkan.” Kuputar kedua bola mataku menahan Isak tangis yang turut membuat sesak di dada. Ku perhatikan kembali setiap sudut kafe berbalut cat putih serta binar warm white dari lampu sekitaran kami. Teringat tampilan sahabat Jack, gadis yang merupakan anak CEO perusahaan properti terbesar ke-7 di Indonesia sementara aku? Aku tidak bisa menyalahkan pekerjaan orang tuaku. Mereka juga pasti tak ingin bekerja di bawah terik matahari, aku tau pemikiran ku salah, tapi boleh sebagai anak muda memiliki sedikit gengsi? Aku harus bekerja keras untuk mengangkat derajat keluarga sementara mereka, sahabat perempuannya tinggal katakan “ingin” dapat mereka gapai dengan mudah.
“Besok kau perlu uang berapa?” Pertanyaan Zael membuyarkan lamunanku. Menyebalkan sekali harus kata-kata itu yang nyaris tiap kali bertemu aku mendengarnya.
“Maaf Zael, aku selalu meminta bantuanmu.” Aku menghela nafas sembari menundukkan kepala.
“Kau punya otak yang cerdas hanya saja pemalas luar biasa, suka mengeluh, merasa tak cukup perihal kecantikan padahal kau hampir punya semuanya, Ra.” Celetuknya.
“Kulit, rambut dan tampilanku tak pernah mendapatkan perawatan khusus.” Sahutku tenggelam dalam kepedihan.
“Umur seperti kita memang selalu terombang-ambing dengan gengsi dan penilaian orang lain.” Kali ini Zael menjawab dengan nada santai kurasa ia jenuh mendengar keluh kesahku yang tak pernah tamat.
“Salah jika aku iri pada perempuan lain yang seumuran denganku? Mereka yang tak perlu merasakan kesusahan saat mencari biaya hidup, mereka yang tak perlu takut untuk disukai karena sudah dibungkus dengan harta dan kecantikan.” Manikku berkaca-kaca, aku mengusapnya diam-diam sebelum Zael melihat kembali ke arahku.
“Tidak perlu ditahan, menahan tangis tidak membuatmu terlihat sangat kuat.” Zael memberikan kotak tisu ke arahku, wajahnya memandang ke arah lain. Ia paham benar sahabatnya ini tak ingin orang lain melihat kesedihannya.
“Maaf Zael, aku sudah memberikan semua untuknya. Mahkotaku telah hilang,” ujarku tersenyum miris. Maniknya membelalak tak percaya namun kembali ia netralkan begitu melihat sosokku mengunci pandangan kami redup.
“Mahkota perempuan tak sesempit itu pengartiannya. Pertama soal standar kecantikan, kedua soal harta selanjutnya soal keperawanan. Perempuan lebih berharga dari hal-hal itu. Hal tersebut memang melekat erat pada kita tapi bukan berarti memegang kendali besar atas kehidupan kita, Ra.” Imbuh gadis bermanik cokelat yang setia menemani cerita sore rabuku ini.
“Terima kasih Zael.” Hanya itu yang dapat terucap dari bibirku.
“Tidak ada kata sama-sama. Aku ingin kau belajar berterima kasih juga dengan dirimu sendiri. Ra, beli makanan yang dirimu suka. Beli barang yang ingin kau pakai, rawat apa yang ingin kau rawat perihal kecantikan kau tak perlu ragukan itu kau sudah memilikinya kau hanya cukup sadar akan itu. Ku mohon jangan mempersempit definisi seorang wanita, kau tetap bermakna meski kau tak memenuhi patokan yang mereka tetapkan. Kau punya parameter sendiri sempurnakan itu. Jangan biarkan seorang pendapat orang lain menahkodai hidupmu.” Timpal Zael.
Aku berdiam di depan zebra cross tidak berjalan maju, mundur ataupun menjauh larung kembali aku dengan percakapan kami. Ku tatap kedua telapak tanganku seharusnya aku tak perlu menawarkan tiket untuk penumpang yang tak punya paspor keberangkatan penerbangan denganku. Untuk yang kemarin, aku menghela nafas sembari tersenyum tipis yang berlalu tak akan mengambil alih di masa sekarang ataupun mendatang, aku dapat menepisnya jikapun ia. Aku perempuan hebat terlepas apa yang telah ku lalui aku berharga lebih dari perkiraanku.
“Sejauh manapun aku terbang, sepenat apapun sayapku mengepak, ranting manapun yang menjadi tempat ku bertengger, udara manapun yang ku hirup meski diriku diwarnai bila aku merpati putih aku tetaplah merpati putih itu. Tak ada yang mengubah diriku meski pemburu mencabik habis aku.”
Penulis: Mira