Pertengahan Mei berselang delapan tahun sejak laraku tak bersuara, pelupuk mataku tak lagi basah serta kakiku telah kokoh berpijak di permukaan bumi.
Kuedarkan pandangan di semesta kota khatulistiwa, sudah lama aku tidak menyapanya. Kota di mana aku mengenal sosok itu, sosok yang terbesit manis dalam ingatanku. Pria jangkung yang selalu berhasil memberi dekap paling hangat saat kesedihan mengintip di balik teka-teki kehidupan.
“Searrea!” Seorang perempuan berambut pendek sebahu, berbalut dress dengan renda merah maroon yang menjuntai, membuatnya terlihat sangat manis terlebih eye smile yang ia miliki kala gadis itu tersenyum.
“Delia!” Aku berlari kecil, menghamburkan diri ke dalam pelukannya. Meski aku rindu tapi bukan sosok ini yang ingin kupeluk.
“Kau sudah benar-benar pulih, ya. Hingga memutuskan bekerja di kota ini?” Tanya gadis itu meyakinkanku.
“Tentu aku tak boleh berlarut-larut pada luka,” lirihku dengan senyum tipis yang membingkai. Penuh kebohongan.
Rinai gerimis menyambut kedatanganku juga, selain pelukan dari sahabat cantik nan mungilku ini.
Aku menarik nafas berat kerinduan kembali menekan saraf-saraf dalam otakku. Membuncah, tumpah ingin berlari kudekap tubuhnya. Aku terseok-seok dalam kepedihan, menjejakkan kaki pada tempat-tempat yang kerap kami kunjungi berdua.
Aku kembali, Gar. Di tempat kita menghabiskan es krim berdua, tempat di mana kita berbincang tentang masa depan sialan yang tak pernah benar prediksinya. Bajingan sekali perasaan payahku ini, memori perihal aku yang selalu menangis kala mataku menangkap sosok badut dan kau dengan sigap meski menertawakan ketakutanku sembari memeluk. Hal-hal manis dan brengsek yang akan selalu terpatri abadi dalam ingatanku. Aku marah, sangat! Emosiku tersulut, api kerinduan membakar habis diri ini. Dua ribu sembilan ratus dua puluh hari masih dirimu.
“Rea?” Delia menepuk pundakku, menyadarkan diriku dari lamunan yang tak berguna ini,
“Aku tidak membawa payung, sengaja. Aku tau kau sangat menyukai hujan kau boleh menangis bersamanya, ” ujarnya.
“Menyebalkan sekali kau ini, apa aku masih semudah itu untuk terbaca?” Gerutuku dengan tawa kecil.
“Dengan perasaan yang sedalam itu aku tak pernah berpikir akan surut dengan mudah saat kau kembali menjejakkan kaki di kota yang dilewati garis equator ini. Sudahlah kubilang jangan lari dari luka, semakin kau lari dan bersembunyi ia akan semakin mengejarmu serta menorehkan luka-luka itu. Terlukalah sampai kau lelah. Perpisahan memang tak pernah ada persiapan meskipun kau sudah tau ujung dari sebuah hubungan,” jelasnya padaku.
“Kau terlalu banyak mengoceh, Delia. Kurasa aku lebih lelah mendengarkan ini haha,” tawaku terdengar sumbang dan menyedihkan, sialnya bulir bening meluncur dari netraku. Sepasang manikku memang berkaca-kaca sejak tadi.
“Dari pada kau! Terlalu banyak berekspektasi pada manusia, manusia itu dinamis, dia bisa berubah setiap detiknya kita tak bisa kontrol hal itu.” Tekan gadis itu padaku.
“Aku hanya merindukannya dan sedikit rasa cinta,” senduku.
“Iya aku tau, tak ada yang menyalahkan hal itu meskipun hidup tetap berjalan kau hanya melanjutkan hidup, benar bukan?” Tanyanya, aku mengangguk membenarkan hal itu.
Tak pernah kubayangkan cintaku habis di pria aneh itu,
“Tuhan iri padanya makanya Tuhan membuat kalian tak bersatu. Tapi jangan menyalahkan Tuhan untuk hal itu, kau saja yang terlalu mencintai ciptaannya,” tutur Delia semakin memojokkan diriku rasanya, egoku memang selalu tergores kenyataan.
“Kau benar,” sahutku,
“Baik, sudahlah. Bagaimana kalau kita pergi ke ujung sungai itu ada perbatasan laut dan sungai di sana juga ada matahari terbenam dapat memanjakan Indra penglihatanmu,” ucapnya, sambil menarik tanganku untuk mengikutinya.
“Warna jingga yang sarat akan kepedihan,” gumamku membatin. Aroma petrikor menyeruak akrab ke dalam paru-paru membuatku sesak teringat kembali akhir dari petrikor jingga kami.
Meski kini rintikku tak lagi mengguyur ragamu, takku dapati rangkulan hangat, nyanyian sendu tak lagi berdengung, lembar akhir dari kita yang terpaksa ditudung oleh semesta. Kini kuhantarkan terbenammu pada temaram senja. Kalah telak aku diperistirahatan terakhir rasa, menggema kembali lara.
Penulis: Mira