Brutal adalah kata yang tepat untuk mendefinisikan buku ini dengan segala kevulgaran dan keganasannya. Buku berjudul Tiba Sebelum Berangkat merupakan novel anti-Jawa sentris yang berhasil membuat saya ingin berburu tulisan Faisal Odang lainnya, pasalnya selalu dan selalu saya dapatkan novel historis yang ditulis secara Jawa sentris dan dari tulisan inilah saya bisa melihat histori dari kaca jendela yang bebeda.
Imajinasi penulis tentang suasana ruang penyekapan Mapata yang diiringi dengan cerita berak, tahi, daun kering, hingga pemotongan lidah serta alat kelaminnya memulai semua cerita ini, sekaligus membuat saya menyelam jauh lebih dalam tentang tradisi di tanah Bugis sebenarnya. Hingga sampai dipertengahan buku saya memilih untuk berhenti membaca. Saat-saat dimana saya memilih untuk mencoba menghabiskan buku ini dimalam hari, imajinasi saya liar membayangkan bagaimana rupa Puang Matua Rusmi yang bertubuh lelaki namun berpenampilan wanita, bagaimana pula membayangkan aksi berak Mapata tanpa cebok itu, terlebih membayangkan penyiksaan seksual yang dialamai Mapata, karena ruangan saya membaca terlalu senyap dan emosi yang terbawa saat penyiksaan diceritakan.
Saya putuskan untuk berhenti membaca sebab hingga dipertengahan tulisan ini seolah menggiring saya bahwa orang-orang sodom ini tidak bersalah sama sekali dan Bissu yang merupakan gender kelima dan suci itu tidaklah benar-benar suci, terlebih mimpi buruk yang saya dapat tentang perlakuan Bissu yang jauh dari kata suci pikiran dan tindakannya (yang kemudian saya tahu bahwa Bissu didalam adat Bugis adalah pendeta yang suci dan bersih dan tidak melakukan tindakan sodom sebagaimana diawal hingga pertengahan kisah). Ditambah lagi pendirian Negara Islam yang dilakukan oleh NII/DII yang jauh dari makna kata Islam itu sendiri, disana penuh akan penyiksaan dan kekerasan yang sungguh tak manusiawi, semuanya disusun dan menuntut untuk dijelaskan lebih terang lagi. Perilaku TII tak ubahnya binatang dalam kisah ini, mereka bergerak karena berlandaskan sakit hati dan haus kekuasaan semata.
Biar dikata hanyalah sebuah fiksi, namun riset tentang pemberontakan NII/DII di Sulawesi dan pemerintahan Indonesia yang menikam kaum adat Bugis benar terjadi sebab semua latar peristiwa sarat akan referensi dan riset yang dalam. Semacam kembali menerjuni kisah sejarah SMA tentang pemberontakan Andi Azis, namun dalam versi yang lebih dalam dan mendetail hingga ke kerak mendasar. Ini yang pada akhirnya membuat saya kembali melanjutkan membaca setelah beberapa minggu lamanya.
Saya melanjutkan membaca buku ini ditempat yang ramai dan memutar lagu-lagu tanpa henti, menghindari imajinasi yang berlebihan. Dipertengahan ini saya melanjutkan kisah perkumpulan waria di Makassar yang membuat Mapata akhirnya disekap dan menunggu satu-persatu organ tubuhnya tanggal dan dijual. Memang tak banyak yang dilakukan Mapata didalam ruang penyekapan itu. Hanya dua hal. Makan dan berak. Namun yang membuat menarik adalah Ali Baba, si penjagal yang mengatas namakan agama harus memastikan terlebih dahulu apakah Mapata yang dikenal Laela ini dinyatakan bersalah atau tidak melalui tulisan yang ia tulis setelah tak mampu berbicara sebab tinggallah sekerak lidahnya yang sebagian diputus dan entah kemana.
Delapan puluh persen buku ini hanyalah berisikan tulisan yang Mapata tulis untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya dan Puang Matua Rusmi yang ia rindukan tubuhnya selalu. Tulisan itulah yang membuat buku ini beralurkan maju dan mundur. Perlahan, lebih jauh lagi membaca, banyak hal yang tak disangka yang akhirnya menunjukan siapa penjagal sesungguhnya.
Jangan pernah berhenti ditengah, walau imajinasi tak keruan, sebab akan menimbulkan banyak kesalahpahaman. Habiskan bukunya perlahan. Resapi kedalam suasana tanah Bugis. Telan yang bisa ditelan, jangan semuanya. Tilik satu persatu, akan banyak pesan didalamnya.
Pada akhirnya, sampailah kepahaman saya mengenai judul buku ini. Sebuah judul yang menurut saya tak ada hubungan apapaun dengan isi cerita sebelum saya sampai dipenghujung kisah. Barulah saya sadar bahwa “Tiba Sebelum Berangkat” adalah mati sebelum tubuh Mapata benar-benar mati.
Penulis : Maratushsholihah