“Saya ingin menjadi seorang pelukis.”
Hampir semua dari kita pernah mengucapkan kalimat ajaib ini, minimal di masa kanak-kanak. Setiap kepala punya angan dan impiannya sendiri, entah itu luar biasa atau biasa saja. Sayap mimpi yang dikepakkan sedari awal bisa saja patah oleh argumen orang lain, terutama lingkungan terdekat yaitu keluarga khususnya orang tua. Hakekatnya, orang tua mendambakan yang terbaik untuk anaknya dan mengarahkan anaknya di jalan yang dipandangnya baik. Namun arahan yang berlebihan dapat meletakkan anak dalam tekanan yang besar, jauh dari rasa nyaman.
Sebagian besar anak yang pemberontak lahir di keluarga yang terlihat baik dari luar saja. Hubungan yang tidak sehat antara anak dan orang tua dapat ditimbulkan oleh sikap otoriter. Anak yang bertumbuh liar dalam imajinasinya seharusnya diberi pandangan secara baik, bukan didikte dan dihakimi menurut kapasitas orang tua. Perilaku demikian adalah salah satu ciri dari toxic parenting.
Baca juga : Toxic Maculinity dalam Kehidupan Sehari-hari
Seorang teman saya pernah mengalami gejala-gejala toxic parenting. Mimpinya yang digantungkan sedemikian tinggi harus berbenturan dengan kehendak orang tuanya. Rencana awal untuk melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan desain komunikasi visual harus dikuburnya dalam-dalam. Diskusi dan tukar pendapat antara orang tua dan anak tidak menemui titik temu sehingga salah satu pihak diharuskan mengalah.
“Arsitek tidak punya masa depan. Kamu jadi pegawai saja.”
Menjadi seorang arsitek, penulis atau bahkan seniman tidaklah sehina dan serendah itu. Pandangan itu bahkan tidak relevan dengan fakta yang ada. Seorang penulis yang berprestasi bahkan bisa teramat sangat sukses melampaui pegawai kantoran. Hanya saja, resiko yang diambil tentunya lebih besar. Pandangan kuno ini berkembang di kepala orang tua Indonesia. Segala perilaku dan perbuatan anak dipandang merupakan tanggung jawab orang tua secara penuh, sehingga orang tua cenderung memaksakan apa yang diinginkannya.
Kesehatan Mental Anak
Menurut studi dari University College London, anak yang sejak kecil selalu dikontrol kehidupannya, ternyata tidak bahagia dan memiliki kesehatan mental yang rendah. Bahkan, efek jangka panjangnya mirip dengan kondisi mental orang yang pernah ditinggal meninggal oleh seorang yang dekat dengannya. Penelitian yang dilakukan Gustav Einstein pada tahun 2011 di Magelang juga menunjukkan pola asuh otoriter signifikan terhadap perilaku agresif anak. Signifikasi ini disebabkan oleh anak melakukan peniruan terhadap apa yang dilihatnya dilingkungan keluarganya.
Anak yang tumbuh bersama toxic parent memiliki kreatifitas dan percaya diri yang rendah serta kestabilan emosi yang lemah. Anak memiliki ketakutan dalam mengerjakan sesuatu secara salah jika tidak melibatkan orang tua. Kekhawatiran dan kecemasan terus menggerogoti pikiran anak dan dapat naik level menjadi depresi.
Baca juga : Sumur, Dapur, Kasur
Dalam lingkungan sosial, anak juga dapat berperilaku 180 derajat dari perilakunya di rumah. Anak yang merasa bahwa rumah bukanlah tempat yang nyaman lagi, memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan diri di dunia luar. Buruknya adalah ketika aktualisasi ini menjadi negatif, sehingga anak jatuh dalam pergaulan yang salah seperti tawuran, kekerasan, obat-obatan dan bahkan seks bebas. Proses pencarian jati diri yang seharusnya dalam lingkup cinta kasih orang tua malah menyimpang menjadi brutal.
Dominansi orang tua dalam pengambilan keputusan mengharuskan anak memakan buah simalakama. Demokratis yang tidak lagi berlangsung mempersempit ruang bagi anak untuk berpendapat dengan cara pandangnya sendiri, sehingga sebagian besar anak meng-iyakan komando orang tuanya. Dan ironisnya ketika anak memilih untuk berpihak kepada pemikirannya, timbullah sebuah watermark ‘pembangkang’ atau ‘durhaka’.
Kesehatan Mental Orang Tua
Penelitian Dr. Mai Stafford membuktikan bahwa pola asuh otoriter membuat orang tua cenderung dominan dan berkuasa terhadap anak. Kontrol berlebih pada anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya trauma. Orang tua dengan masa lalu gelap cenderung memiliki ketakutan akan terjadi hal yang sama pada anaknya. Ini adalah wujud cinta kasih yang direfleksikan secara timpang, sehingga anak kekurangan ruang untuk mengekspresikan dirinya.
Perilaku orang tua juga merupakan cerminan dari apa yang dulu diterimanya. Belum lagi tekanan pekerjaan dan lingkungan sosial maupun keluarga besar. Lingkungan sekitar terkadang menghakimi perilaku anak dengan mempertanyakan tanggung jawab orang tua, sehingga orang tua tanpa sadar mununtut lebih dari anak. Kondisi ini diperparah jika orang tua belum siap secara emosional pada saat berkeluarga.
Intelegensi orang tua juga memperngaruhi cara pandangnya dalam menentukan pola asuh. Orang tua dengan intelegensi dan kematangan rendah cenderung memaksakan indikator keberhasilan anak dan menakar ukuran itu di badan sendiri. Cara pandang tempo dulu dipaksakan untuk sinkron dengan masa sekarang sehingga anak terhimpit di antara dua zaman yang tak searah.
Kesudahan Toxic Parenting
Meski sedarah, orang tua dan anak adalah pribadi dengan prinsip dan perspektif yang mungkin saja berbeda. Orang tua bukanlah seorang pribadi yang sempurna layaknya Tuhan, selalu ada lubang kosong atau cacat pada perspektifnya seperti halnya manusia lain. Begitu pula dengan anak, pengalaman minim dan penuh ketimpangan dalam kestabilan emosi. Kedua pribadi yang seharusnya saling menyempurnakan.
Musyawarah dalam lingkungan terkecil ini adalah solusi sederhana namun begitu sulit untuk tercipta. Orang tua perlu menciptakan ruang bagi si buah hati untuk beropini sesuai kapasitasnya dan anak berkaca pada kodratnya yang penuh akan rasa hormat terhadap orang tua. Kedekatan emosional perlu dibangun antara dua kepala yang tak sejalan.
Jika pemikiran orang tua dan anak tidak menemui titik temu, maka tentunya harus ada pihak yang mengalah. Menurut Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, terkadang kondisi membuat kita tidak bisa mengubah seseorang karena hanya akan membuat lelah secara fisik dan emosional.
“Dengan kata lain, kita harus berdamai dengan keadaan. Memang ini tidak mudah dan butuh proses”.
Penulis : Friskila S.