Tanggal 1 Mei, setiap tahunnya diperingati oleh masyarakat internasional sebagai Hari Buruh atau kebanyakan orang lebih akrab dengan istilah May Day. Selayaknya sebuah seremoni perayaan, peringatan Hari Buruh idealnya membawa suka cita bagi kaum buruh. Namun, saya pribadi malah tak habis pikir. Semacam kebiasaan di negeri ini, perayaan Hari Buruh selalu diwarnai dengan aksi turun ke jalan oleh massa yang tak pernah puas dengan apresiasi dari negara terkait pekerjaan mereka. Atau negara memang tidak pernah melakukan hal tersebut? Mari kita sedikit mengilas balik apa saja tuntutan yang diperjuangkan oleh kaum buruh di tahun 2019 lalu.
Ribuan buruh kala itu memadati area Monas untuk menyuarakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang dianggap merugikan buruh karena menghilangkan peran serikat buruh dalam kenaikan upah minimum, yang selanjutnya disesuaikan dengan inflasi. Di tahun ini ujian yang lebih berat lagi-lagi membayangi para buruh, setelah pemerintah resmi melontarkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat) Februari lalu. Sama halnya dengan kebiasaan bangsa ini yang gandrung dengan produk luar negeri, pemerintah agaknya tak beda jauh. Kali ini bukan lagi barang impor, metode pembuatan produk perundang-undangan saja impor dari negara Paman Sam sana yang jelas sistem hukumnya berbeda dengan negeri ini.
Omnibus Law sendiri terbilang asing di telinga bangsa ini. Pasalnya ide untuk mengimpor metode ini baru dicetuskan oleh Presiden Jokowi tahun 2019 lalu. Seperti terlena dengan respon positif masyarakat terhadap reformasi birokrasi, kali ini pemerintah lagi-lagi gandrung untuk mencampur-campur peraturan perundang-undangan yang jumlahnya tak tanggung-tanggung 79 UU dengan total 1200 pasal. Bukan maksud ingin meramal, tapi mari kita prediksi bersama bagaimana nasib buruh jika RUU ini jadi disahkan.
Izin Merekrut TKA Semakin Longgar
Berdasarkan ayat (1) pasal 42 Omnibus Lawa RUU Cipta Kerja disebutkan ‘Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat’. Jika RUU ini disahkan, maka ketentuan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dimana sebelumnya TKA Harus mendapatkan izin dari menteri atau pejabat terkait tidak lagi berlaku. Selain itu, jika merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018, maka setiap TKA yang ingin bekerja di Indonesia harus mengantongi beberapa perizinan sekaligus seperti Rencana Penggunaan Tenaga Keja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan izin menggunakan Tenaga Kerja Aing (IMTA). Hal tersebut tentu saja akan membuat proses perizinan menjadi berbelit-belit dan memberikan hambatan (barrier) bagi TKA untuk bekerja di Indonesia, namun sekaligus membuka peluang bagi tenaga kerja asal Indonesia. Akan tetapi, dengan disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut, maka peluang tersebut akan ikut mengecil.
Saya teringat dengan tulisan Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya ‘Indonesia For Sale’. Di dalam tulisannya, Dandhy menceritakan fenomena liberalisasi pasar yang kemudian mendorong BUMN sekelas Pertamina harus meningkatkan pelayanannya, jika tidak ingin tersaing oleh perusahaan asing. Kabar baiknya Pertamina berhasil menjawab tantangan tersebut. Saya merasa pemerintah agaknya ingin melakukan hal serupa kepada kaum buruh. Liberalisasi masih dianggap sebagai daya paksa yang paling ampuh agar kaum buruh lebih meng-upgrade kemampuannya jika tidak ingin tersingkir oleh TKA. Dan lagi, kaum buruh di hari perayaan ini mendapat ujian baru. Pertanyaanya, apakah mereka siap?
PHK Sepihak
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak sepertinya menjadi salah satu alasan mengapa Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini dianggap sebagai karpet merah bagi pengusaha, namun menjadi bom waktu bagi kaum buruh. Di dalam pasal 61 Omnibus Lawa RUU Cipta Kerjas disebutkan bahwa PHK bisa dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja. Berbeda dengan UU sebelumnya, yang mengharuskan PHK melalui negosiasi yang cukup panjang oleh Pengusaha, Pekerja, Serikat Pekerja, dan Pemerintah. Selain itu, pekerja kontrak yang di PHK karena pekerjaannya selesai, juga tidak lagi mendapat haknya sesuai dengan sisa kontrak. Sebagaimana dikatakan oleh Said Iqbal selaku Presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) bahwa “PHK jadi mudah. Tidak perlu lagi berunding dengan serikat pekerja”. Jika RUU tersebut jadi disahkan, maka jangan tanya aka nada ribuan bahkan mungkin jutaan buruh yang akan menerima nasib PHK sepihak di masa mendatang.
Pesangon Dihapuskan
Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam pasal 56 memperbolehkan pekerja kontrak di semua jenis pekerjaan. Bahkan yang tak kalah inovatifnya dari RUU ini adalah bahwa pekerja kontrak boleh dipekerjakan seumur hidup. Kondisi ini kemudian memunculkan kemungkinan- kemungikan seperti pekerja tetap akan semakin langka, pekerja kontrak akan menghadapi PHK sewaktu-waktu, dan apesnya tidak ada pesangon. Pasalnya, pesangon hanya bisa diberikan kepada pekerja tetap. Dengan melihat kemungkinan tersebut, saya kembali menyangsikan bagaimana RUU ini kemudian dianggap oleh pemerintah bisa mensejahterakan rakyat?
Penggantian Upah Minimun menjadi Upah Per-jam
Mendapat gaji di awal bulan tentunya sangat menyenangkan. Rasanya semua kelelahan yang hadir selama sebulan bekerja menguap begitu saja. Namun, bagaimana jika kemudian kondisinya berubah? Tanggal gajian adalah hari penuh pertanyaan tentang berapa banyak gaji yang saya peroleh bulan ini? Kondisi ini yang nantinya akan dihadapi oleh kaum buruh jika RUU ini benar-benar disahkan. Di Indonesia penerapan upah per-jam merupakan barang baru, berbeda dengan dengan negara maju sekelas AS. Upah per jam merupakan hal yang lazim. Namun, mengapa penerapan upah per jam tidak cocok diterapkan di Indonesia? Menurut Mirah Sumirah penerapan upah di luar negeri bukalah masalah, mengingat di luar negeri semua jaminan sosial sudah ter-cover dengan baik.
“Upah per jam tidak masalah diterapkan di luar negeri, karena jaminan sosialnya cakep. Jaminan sosial di luar negeri itu satu tunjangan pendidikan dari TK sampai Universitas gratis, Tunjangan kesehatan gratis dan tunjangan yang lain-lain juga gratis. Jadi tidak ada masalah jika diterapkan upah per jam karena semuanya sudah ter-cover dengan baik”, ungkapnya dalam salah satu talk show di Kompas TV, Februari lalu. Selain itu, dengan penerapan upah per jam, maka aka nada tiga prinsip yang berlaku, pertama tidak ada kepastian mendapatkan jaminan pekerjaan, kedua kepastian dalam mendapatkan upah, dan ketiga kepastian dalam mendapatkan jaminan sosial.
Penulis : Mita Anggraini
Referensi :
Idris, Muhammad, 2020,’Pasal Kontroversi di Omnibus Law: Kemudahan rekrut TKA’, diakses melalu : https://amp.kompas.com/money/read/2020/03/11/142726526/pasal-kontroversi-di-omnibus-law-kemudahan-rekrut-tenaga-kerja-asing
Putri, Cantika Adinda, 2020, ‘ Termasuk Soal Pesangon, ini 9 alasan buruh tolak RUU Ciptaker’, diakses melalui : https://www.cnbcindonesia.com/news/20200216192806-4-138248/termasuk-soal-pesangon-ini-9-alasan-buruh-tolak-ruu-ciptaker
Hidayat, Setiaji, 2019,’ Jokowi Mau Rombak sistem upah kerja dibayar per jam, mau?’, diakses melalui : https://www.cnbcindonesia.com/news/20191224170032-4-125475/jokowi-mau-rombak-sistem-upah-kerja-dibayar-per-jam-mau
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.