Mimbaruntan.com, Untan – Permasalahan kekerasan terhadap perempuan (KTP) masih kerap terjadi bukan hanya di kota-kota besar, namun juga di berbagai plosok Indonesia. Problema ini tak pernah henti mengingat banyaknya faktor yang masih kokoh menunjangnya.
Dalam catatan akhir tahun yang dirilis Maret lalu oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus KTP. Angka ini naik drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 259.150 atau tahun terendah dalam 5 tahun terakhir. Tak hanya dari jumlah yang meningkat, dari jenis dan bentuk kekerasannya juga semakin bermacam-macam terutama di dunia maya. Ihwal tersebut mencakup penghakiman digital yang bernuansa seksual, penyiksaan seksual, persekusi dalam jaringan (daring), ancaman kriminalisasi perempuan dengan UU ITE serta eksploitasi tubuh perempuan di dunia digital.
Baca Juga: Pontianak Belum Merdeka dari Anak Terlantar
Dalam laporan tersebut, ranah paling menonjol adalah kekerasan dalam ranah Privat sebesar 71%, ranah komuitas sebesar 26%, sedangkan ranah negara sebesar 1.8%. Dalam ranah privat, kekerasannya bisa kepada Istri, Pacar, dan Anak. Sedangkan Pada ranah komunitas seperti kekerasan dalam bentuk seksual, fisik, psikis, eksploitasi pekerja migran serta trafiking. Dan untuk kekerasan dalam ranah negara meliputi kasus kriminaslisasi konflik, penggusuran dan lain-lain.
Tuti Suprihatin selaku direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Pontianak menganggap kurangnya emansipasi menjadi poin utama yang berperan kuat dalam kerapnya kekerasan terjadi pada perempuan. Perempuan cenderung abai dan tidak mengerti baik itu hak nya maupun perkara hukum yang sebenarnya dapat digunakan untuk melindungi dirinya.
Banyak perempuan yang masih tidak mengetahui haknya sebagai korban, baik itu secara pendampingan maupun dalam istilah-istilah dalam hukum/kepolisian. “Korban sering kali kurang memiliki informasi tentang hak-haknya terutama di mata hukum, contohnya dalamm proses pengaduan, korban tidak mendapatkan pendampingan, ” jelasnya (28/11).
Faktor lain menurut Tuti adalah sikap permisif atau memberikan pemaafan kepada oknum. Dengan dalih kondisi anak yang akan terganggu. Korban kekerasan cenderung berusaha sekuat mungkin mempertahankan keluarganya dan bersifat defensif dari kekerasan yang terus diterimanya. “Oknum biasanya akan menyerang psikis korban dengan mengancam kondisi anak jika KDRT dilaporkan,” katanya
Faktor lain yang juga mempengaruhi permasalahan ini ada di bagian penegakan hukum. Kepolisian yang bertugas sebagai pelindung dari masyarakat masih dianggap belum memberikan suasana yang nyaman bagi korban, setidaknya begitu kata Yeni dari Yayasan SAKA dan sekaligus mantan komisioner Komnas Perempuan. Hal itu lebih parah lagi ketika permasalahannya adalah kekerasan dalam bentuk pemerkosaan.
Baca Juga: Wakil Dekan III: FMIPA Jauh Dari Kekerasan
Pertanyaan yang rumit dan tidak pantas membuat seakan korban diperkosa sekali lagi. “Perempuan banyak tidak diberikan haknya, tidak diperlakukan sebagaimana mestinya seorang korban yang mengalami kasus serius,” ia berkata.
Namun, kasus lingkaran kekerasan terhadap perempuan ini bukan tidak bisa untuk dihentikan. Upaya perbaikan harus lintas sektor hingga ke ranah hukum dan legislasi.
“Kita mendorong untuk penghapusan UU kekerasan seksual terhadap perempuan, karena banyak yang tidak jelas disana, dan harus diganti dengan UU yang lebih rinci, bukan hanya pada spek legalnya tapi juga penyembuhan,” katanya.
Yang kedua dengan bergabung dengan lembaga atau komunitas dengan visi yang sama. Berjejaring dan berorganisasi akan membuat korban lebih kuat di mata hukum, serta kesewenangan yang mungkin dilakukan selama masa peradilan.
Hal-hal itu diharapakan dapat merubah pandangan terhadap korban. Perempuan dapat menjadi subjek hukum bagi dirinya sendiri.
Penulis: Adi Rahmad
Editor : Aris Munandar