Rintik gerimis membasahi kota pagi ini, berselang dua jam dari stasiun pertama, dan tersisa satu gerbong sebelum stasiun pemberhentian kereta tempat tujuanku. Aku terpaku pada kotak beludru merah bingkisan Natal ke-7 untuk Ibu, semoga kali ini tidak gagal kuberikan seperti sebelumnya.
Hiasan Natal di sepanjang jalan membingkai indah dan syahdu, ciri khas pemandangan bulan Desember. Kerinduan memuncak bagi anak rantau yang merayakannya, momen di mana orang-orang dapat berkumpul dan beribadah bersama keluarga terkasihnya. Berbeda dengan aku di sini yang kebingungan dalam kecanggungan kepada Ibu.
Dengan payung hitam beserta jaket jeans era 90-an membungkus badannya, ia tersenyum sembari melambaikan tangan kepadaku di ujung stasiun. Kotak beludru yang kugenggam kembali kumasukkan ke dalam tas, entah kuberikan atau tidak nanti.
“Akhirnya kamu tiba, Ibu sudah menunggu sejak pukul 12.00 tadi,” ucapnya sambil terkekeh pelan, sambil mengusap rambutku yang sedikit basah.
“Padahal tidak perlu menunggu selama itu,” sahutku pelan. Wanita itu hanya tersenyum sambil memberikan jaket kulit berbulu domba yang tampak begitu hangat.
Baca Juga: Um
“Sudah-sudah, yang penting tiba dengan selamat. Ayo segera pulang ke rumah, ada Ayah dan biskuit gandum serta cokelat panas untukmu,” ujar wanita itu dengan antusias mengajakku pulang.
Menapaki tanah basah selama 10 menit dari stasiun hingga tiba di depan rumah berlantai dua, berwarna merah bata, dikelilingi pohon Cemara dan mangga, beserta ayunan di depan bangku taman tua yang begitu usang, dilengkapi cerobong mengepulkan asap hitam aroma bakaran kayu api menyeruak dalam paru-paru.
“Eve!” Ayah menyerukan namaku, dengan sedikit lebih cepat menggerakkan kursi roda ke arah pintu. Begitu malang karena aku.
Ayah kehilangan sepasang kakinya saat menyelamatkanku dari insiden kebakaran di Sekolah Menengah Atas (SMA). Sejak saat itu, Ibu menjadi tulang punggung keluarga, harus mengurus biaya kuliahku dan pengobatan Ayah. Meski dengan rasa bersalah, aku justru semakin canggung dan tidak menyukai suasana di mana aku harus merepotkannya.
“Ayah,” aku berhamburan dalam pelukannya, penuh kerinduan yang sarat dari kejauhan Ibu hanya melihat kami sambil tersenyum teduh.
“Biar Ibu antarkan barang-barang dan tasmu ke kamar, Nak,” Ibu mengambil barang-barang milikku dan membawanya ke kamar.
“Bagaimana kabar Ayah?” tanyaku sedikit tersedu, kuperhatikan tubuh rentanya kian berkurang berat badannya.
“Kau merindukanku, Eveylin?” tanya Ayah, kembali tertawa menatap putri kecilnya yang sekarang berusia dua puluh lima tahun.
“Tentu saja, Ayah, aku sangat merindukanmu,” sahutku. Senduku kembali mengeratkan pelukan kami.
“Merindukan Ibu juga tidak?” tanya Ayah, aku terdiam membiarkan netraku merapah ke penjuru ruangan. Biasanya, sudah berdiri pohon Natal di sudut kanan ruang tamu, tapi tahun ini tidak ada.
Tergambar jelas 15 tahun lalu, kami menghias pohon Natal bersama dengan alunan pop Christmas yang menemani persiapan perayaan Natal keluargaku. Tahun ini, senyap dan sendu.
“Aku akan membersihkan diri dan bersiap makan malam,” sahutku melenggang pergi meninggalkan Ayah dan pertanyaan yang sungguh tidak pernah ingin kujawab. Bahkan dari pertanyaan itu, sebenarnya aku tidak memiliki jawaban yang pantas.
Rinai gerimis membasuh kota pagi ini, berselang dua jam dari stasiun pertama dan tersisa satu gerbong sebelum stasiun pemberhentian kereta tempat tujuanku. Aku terpaku pada kotak beludru merah bingkisan Natal ke-7 untuk Ibu, semoga yang kali ini tidak gagal kuberikan seperti sebelumnya.
Hiasan natal di sepanjang jalan membingkai indah dan syahdu ciri khas pemandangan bulan Desember, kerinduan membuncah bagi anak rantau yang merayakannya, momen di mana orang-orang dapat berkumpul dan beribadah bersama keluarga terkasihnya, lain dengan aku di sini yang kebingungan dalam kecanggungan kepada Ibu.
Dengan payung hitam beserta jaket jeans 90-an membalut badannya, ia tersenyum sembari melambaikan tangan kepadaku di ujung stasiun, kotak beludru yang kugenggam kembali kumasukkan ke dalam tas entah kuberikan atau tidak nanti?
“Akhirnya kamu tiba, Ibu sudah menunggu sejak pukul 12.00 tadi,” ucapnya terkekeh pelan, sembari mengusap rambutku yang sedikit basah.
“Padahal tidak perlu menunggu selama itu,” sahutku pelan, wanita itu hanya tersenyum sembari memberikan jaket kulit berbulu domba yang tampak begitu hangat.
“Sudah-sudah yang penting tiba dengan selamat, ayo segera pulang ke rumah ada ayah dan biskuit gandum serta cokelat panas untukmu,” ujar wanita itu dengan antusias mengajakku pulang.
Menapaki tanah basah selama 10 menit dari stasiun hingga tiba di depan rumah berlantai dua, berwarna merah bata dikelilingi pohon Cemara dan mangga beserta ayunan di depan bangku taman tua yang begitu usang, dilengkapi cerobong mengepulkan asap hitam aroma bakaran kayu api menyeruak dalam paru-paru.
“Eve!” Ayah menyerukan namaku, dengan sedikit lebih laju menggerakkan kursi roda ke arah pintu. Begitu malang karena aku.
Ayah kehilangan sepasang kakinya saat menyelamatkanku dari insiden kebakaran di Sekolah Menengah Atas (SMA) sejak saat itu Ibu menjadi tulang punggung keluarga harus mengurus biaya kuliahku dan pengobatan Ayah, meski dengan rasa bersalah aku justru semakin canggung dan tidak menyukai suasana di mana aku harus merepotkannya.
“Ayah,” aku berhamburan dalam pelukannya, penuh kerinduan yang sarat dari kejauhan ibu hanya melihat kami sambil tersenyum teduh.
“Biar Ibu antarkan barang-barang dan tasmu ke kamar Nak,” ibu mengambil barang-barang milikku dan membawanya ke kamar.
“Bagaimana kabar Ayah?” Tanyaku sedikit tersedu kuperhatikan tubuh rentanya kian berkurang berat badannya.
“Kau merindukanku Eveylin?” Tanya ayah kembali tertawa menatap putri kecilnya yang sekarang berusia dua puluh lima tahun.
“Tentu saja ayah, aku sangat merindukanmu,” senduku kembali mengeratkan pelukan kami.
“Merindukan Ibu juga tidak?” Tanya ayah, aku terdiam membiarkan netraku merapah ke penjuru ruangan biasanya sudah berdiri pohon natal di sudut kanan ruang tamu tapi tahun ini tidak ada.
Tergambar jelas 15 tahun lalu kami menghias pohon natal bersama dengan alunan pop Christmas yang menemani persiapan perayaan natal keluargaku tahun ini senyap dan sendu.
Baca Juga: Maknai Perempuan dan Tangkal Kriminalisasi: Kolaborasi LPM Untan bersama LBH Kalbar
“Aku akan membersihkan diri dan bersiap makan malam,” sahutku melenggang pergi meninggalkan ayah dan pertanyaan yang sungguh tidak pernah ingin kujawab, bahkan dari pertanyaan itu sebenarnya aku tidak memiliki jawaban yang pantas.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar yang sudah 2 tahun tidak ku kunjungi asing namun begitu bersih seolah selalu ada yang menempatinya, kuperhatikan selimut merah jambu yang tersusun rapi di atas kasurku tak lupa dua potret kegembiraan bersama Ibu dan Ayah sebelum insiden itu.
“Eve makan nak,” panggil ayah dari luar tersampai jelas di indera pendengaranku.
Aku melangkahkan menuju meja dapur tidak ada orang di sana, hanya gelap dan benderang cambuk langit yang menggelegar tampak dari jendela kaca di dapur serta remang Bakaran kayu yang menyalurkan asap menuju cerobong.
“Ayah? Ibu?” Panggilku tak ada yang menjawab.
Lalu beberapa menit kemudian ada cahaya kecil menyala pantulan dari hiasan natal milik dan pemiliknya di sudut sana.
“Ibu?” Panggilku.
“Oh Eve,” Ia menyembunyikan hiasan natal tadi dan tersenyum menyadari kehadiranku.
“Ada apa?” Tanyaku penasaran wanita itu hanya menggeleng mengeluarkan makanan dari dalam lemari.
“Jangan dibakar, hiaslah lagi bersamaku,” tawarku padanya.
“Malam ini?” Tanya Ibu antusias
“Besok saja, malam ini istirahat dahulu lagipula natal masih dua hari lagi,” imbuh ayah menuju meja makan.
Binar mentari menerobos masuk melalui ventilasi kamar, gorden jendela sudah dirapikan oleh Ibu, aroma kamarku teramat harum dan menyejukkan begitu aku terjaga dipagi harinya Pop Christmas dari Mariah Carey dan Justin Bieber terdengar kini.
“Selamat pagi!” Seru Ibu penuh kegembiraan, aku hanya tersenyum kecil menghampirinya.
Wanita itu mulai menyusun satu persatu hiasan pohon natal suasana yang selalu ingin kurasakan sejak saat itu. Garis senyum pada air mukanya tak kunjung padam, asanya membara hangat di musim hujan bulan Desember.
“Kemari bantu Ibu,” imbuhnya.
“Ibu bolehkah aku berkata beberapa hal?” Tanyaku sembari menghampirinya.
“Maaf…,” lirihku.
Ibuku meletakkan lampu natal yang semula ia pegang, matanya berbinar mengunci manikku. Senyum teduhnya kali ini cukup mengundang air mataku untuk terjun tanpa aba-aba, menyebalkan sekali portal kejujuran akhirnya terbuka.
“Berbicaralah sayang, setelah itu Ibu..,” jawabnya lembut.
“Aku tidak menyukai kuliah Ibu, aku tidak menyukai pekerjaan setelah kuliah nanti bahkan sekarang saat aku pada semester matang tak kunjung selesai, aku tidak mempunyai fokus dan arah ke manapun, aku merasa sendirian, aku merasa tertinggal dengan pencapaian-pencapaian teman sebayaku, aku merasa bersalah pada Ibu..,” tuturku penuh isak tangis.
“Putriku?” Panggilnya aku masih menangis terus-terusan.
“Untuk mimpi yang itu, bagaimana jika tidak Bu?” Senduku.
“Evelyn Ibu membesarkanmu karena kau sebuah berkat yang Tuhan percayakan, perihal masa depanmu sudah diatur oleh-Nya, ekpektasi manusia lain serta dirimu terhadap diri sendiri mungkin besar dan bisa saja melukai tapi sebagai Ibumu berhasil atau diganti dengan lebih baik rencamu Ibu akan tetap bangga padamu,” ia menarikku semakin dalam di dekapannya.
“Kepakkan sayapmu setinggi mungkin di angkasa, jelajahi segala penjuru dunia, bila lelah temukan dahan yang kokoh jika belum, kembalilah bertengger pada sarang lama yang saat angin menerpa hanya itu membungkusmu sebagai tameng dalam bencana. Ibu akan tetap ada di sana Ev, menjadi tameng saat bencana tiba jangan pernah merasa sendirian langkahmu mungkin akan tertatih tapi Ibu akan selalu menggiringmu menuju tujuan,” imbuh Ibuku.
“Selamat natal ibu,” aku menyodorkan kotak beludru padanya.
“Terima kasih putriku selamat natal,” ia mengecup puncak kepalaku beberapa kali dan Ayah tersenyum di belakang Ibu menyaksikan momen pilu dan haru kami.
Aku melangkahkan kaki menuju kamar yang sudah 2 tahun tidak ku kunjungi. Asing namun begitu bersih, seolah selalu ada yang menempatinya. Kuperhatikan selimut merah jambu yang tersusun rapi di atas kasurku, tak lupa dua potret kegembiraan bersama Ibu dan Ayah sebelum insiden itu.
“Eve, makan, Nak,” panggil Ayah dari luar, tersampai jelas di indera pendengaranku.
Aku melangkah menuju meja dapur, tidak ada orang di sana, hanya gelap dan cahaya cambuk langit yang menggelegar tampak dari jendela kaca di dapur, serta remang bakaran kayu yang menyalurkan asap menuju cerobong.
“Ayah? Ibu?” panggilku, tak ada yang menjawab.
Lalu, beberapa menit kemudian, ada cahaya kecil menyala, pantulan dari hiasan Natal milik dan pemiliknya di sudut sana.
“Ibu?” panggilku.
“Oh, Eve,” ia menyembunyikan hiasan Natal tadi dan tersenyum menyadari kehadiranku.
“Ada apa?” tanyaku penasaran, wanita itu hanya menggeleng, mengeluarkan makanan dari dalam lemari.
“Jangan dibakar, hiaslah lagi bersamaku,” tawarku padanya.
“Malam ini?” tanya Ibu antusias.
“Besok saja, malam ini istirahat dahulu. Lagipula, Natal masih dua hari lagi,” imbuh Ayah menuju meja makan.
Binar mentari menerobos masuk melalui ventilasi kamar, gorden jendela sudah dirapikan oleh Ibu, aroma kamarku teramat harum dan menyejukkan begitu aku terjaga dipagi harinya. Pop Christmas dari Mariah Carey dan Justin Bieber terdengar kini.
“Selamat pagi!” seru Ibu penuh kegembiraan, aku hanya tersenyum kecil menghampirinya.
Wanita itu mulai menyusun satu persatu hias an pohon Natal suasana yang selalu ingin kurasakan sejak saat itu. Garis senyum pada wajahnya tak kunjung padam, rasanya membara hangat di musim hujan bulan Desember.
“Kemari, bantu Ibu,” imbuhnya.
“Ibu, bolehkah aku berkata beberapa hal?” tanyaku sembari menghampirinya.
“Tentu, sayang…,” jawabnya lembut.
“Maaf…,” lirihku.
Ibuku meletakkan lampu Natal yang semula ia pegang, matanya berbinar mengunci mataku. Senyum teduhnya kali ini cukup mengundang air mataku untuk terjun tanpa aba-aba, menyebalkan sekali portal kejujuran akhirnya terbuka.
Baca Juga: Gerwani Bukan PKI: Gerakan Feminis Terbesar di Indonesia
“Berbicaralah, sayang. Setelah itu, Ibu…,” jawabnya lembut.
“Aku tidak menyukai kuliah, Ibu. Aku tidak menyukai pekerjaan setelah kuliah nanti, bahkan sekarang saat aku pada semester matang tak kunjung selesai. Aku tidak mempunyai fokus dan arah ke manapun, aku merasa sendirian, aku merasa tertinggal dengan pencapaian-pencapaian teman sebayaku, aku merasa bersalah pada Ibu…,” tuturku penuh isak tangis.
“Putriku?” panggilnya, aku masih menangis terus-terusan.
“Untuk mimpi yang itu, bagaimana jika tidak, Bu?” senduku.
“Evelyn, Ibu membesarkanmu karena kau sebuah berkat yang Tuhan percayakan. Perihal masa depanmu sudah diatur oleh-Nya. Ekspetasi manusia lain serta dirimu terhadap diri sendiri mungkin besar dan bisa saja melukai, tapi sebagai Ibumu, berhasil atau diganti dengan lebih baik rencanamu, Ibu akan tetap bangga padamu,” ia menarikku semakin dalam di dekapannya.
“Kepakkan sayapmu setinggi mungkin di angkasa, jelajahi segala penjuru dunia. Bila lelah, temukan dahan yang kokoh; jika belum, kembalilah bertengger pada sarang lama yang saat angin menerpa, hanya itu membungkusmu sebagai tameng dalam bencana. Ibu akan tetap ada di sana, Eve, menjadi tameng saat bencana tiba. Jangan pernah merasa sendirian. Langkahmu mungkin akan tertatih, tapi Ibu akan selalu menggiringmu menuju tujuan,” imbuh Ibuku.
“Selamat Natal, Ibu,” aku menyodorkan kotak beludru padanya.
“Terima kasih, putriku. Selamat Natal,” ia mengecup puncak kepalaku beberapa kali, dan Ayah tersenyum di belakang Ibu, menyaksikan momen pilu dan haru kami.
Penulis: Mira Loviana