Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat rendahnya pendapatan yang dihasilkan. Tak dipungkiri bahwa masalah pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masalah yang besar. Terutama masalah dana pendidikan itu sendiri. Amat disayangkan ketika pemerintah gagal dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan menyangkut masalah tenaga pendidik, proses pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait dengan masalah keuangan.
Biaya pendidikan yang diterapkan di Perguruan Tinggi salah satunya adalah SPI yang merupakan singkatan Sumbangan Pengembangan Institusi adalah sumbangan yang diberikan oleh mahasiswa kepada perguruan tinggi yang bersifat wajib. Besaran ditentukan oleh perguruan tinggi yang sangat bermacam-macam. SPI bukan seperti UKT, karena SPI ini diberikan saat akan masuk ke perguruan tinggi yang sifatnya satu kali saja. SPI dapat diangsur selama empat semester.
Salah satu kampus yang menerapkan SPI adalah Universita Udayana. Tepatnya akhir Mei 2018 muncul sebuah wacana adanya Sumbangan Pengembangan Institusi dengan nominal 10-150 juta di Universitas Udayana. SPI tersebut hanya dibebankan kepada mahasiswa baru yang masuk melalui jalur mandiri berdasarkan aturan dari Permenristekdikti. Pembayaran uang SPI ini belum termasuk Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus dibayar setiap semester yang hanya dibatasi pada golongan empat dan lima. Universitas-universitas lain pun turut dibebani oleh kebijakan serupa seperti Universitas Negeri Semarang dan Universitas Hasanuddin yang nominalnya bahkan berada di margin 30-200 juta.
Secara resmi Universitas Tanjungpura (Untan) pada 6 Juni 2017 memungut biaya tambahan kepada mahasiswanya diluar dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang disebut dengan istilah Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Maka secara mutlak mahasiswa yang masuk perkuliahan melalui jalur mandiri, bermula dari angkatan 2017 hingga saat ini dikenakan biaya tersebut.
Memang bukan sebuah kebijakan yang aneh karena tidak hanya Untan saja namun relatif kebanyakan Perguruan Tinggi Negeri juga menerapkan kebijakan tersebut. Bahkan mungkin bisa dibilang lebih ganas meringkus mahasiswa, khususnya mahasiswa berkelas ekonomi rendah.
Baca Juga: Kejelasan Sumbangan Pembangunan Institusi Fakultas Kehutanan
Ya, kedengarannya memang jauh lebih kejam daripada kebijakan di Universitas Tanjungpura, namun mari kita introspeksi bagaimana perbandingan fasilitas antara Untan dengan kampus-kampus besar tersebut tentu jauh berbeda. Memang bisa dibilang berlebihan jika Untan hanya mematok biaya SPI di kisaran 1 hingga 4 juta rupiah yang terbagi menjadi lima golongan.
Meskipun Undang-undang Dasar dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah “hak” yang berarti kewajiban bagi negara untuk memenuhinya , dibebankannya uang pangkal ke mahasiswa hanyalah salah satu ekspresi lain ketika pendidikan tinggi berada dalam jerat fundamentalisme pasar. Dalam artian bahwa pendidikan dan prasyarat untuk sejahtera adalah persoalan pribadi, dan bukan tanggung jawab sosial yang menjadi urusan negara. Logika tersebut adalah pondasi dari segala bentuk komersialisasi pendidikan saat ini.
Berdalih pada peraturan Permenristekdikti RI Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, tepatnya tercantum pada pasal 8 yang menyatakan bahwa PTN dapat memungut uang pangkal dan/ atau pungutan lain selain UKT. Hal inilah yang mendasari Untan menerapkan SPI dengan alibi sebagai sarana dalam meningkatkan mutu perkuliahan.
Beranjak pada ayat pertama dalam pasal delapan menjelaskan bahwa PTN diberikan kewenangan penuh untuk menerapkan biaya perkuliahan diluar UKT, dalam hal ini adalah SPI kepada mahasiswa. Mahasiswa yang dihantui oleh biaya SPI terdiri dari mahasiswa asing, mahasiswa internasional, mahasiswa yang melalui jalur kerja sama, dan/ atau mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri.
Sementara itu pada ayat kedua, pungutan ini tetap harus memerhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa yang masuk melaui jalur mandiri semenjak ketetapan ini diberlakukan. Namun faktanya adalah hingga hari ini masih banyak mahasiswa yang merasa keberatan dengan adanya pengharusan biaya ini di Untan.
Meskipun Untan sudah dilegalkan untuk menarik pungutan lain di luar UKT yang dibebankan oleh mahasiswa khususnya pada mahasiswa jalur mandiri haruslah sinkron dengan kemampuan ekonomi. Apalagi ditambah dengan besaran biaya UKT yang belum tentu sanggup dibayar oleh sebagian mahasiswa, terutama bagi mahasiswa ekonomi menengah ke bawah.
Berpatok pada ayat terakhir dijelaskan bahwa PTN diberikan otonomi apabila jumlah mahasiswa baru yang masuk haruslah melihat persentasenya. Sesuai dengan ayat pertama, mahasiswa yang dilegalkan untuk dikenakan biaya SPI paling banyak 30% dari kesuluruhan mahasiswa baru di universitas tersebut. Tapi kenyataannya di Untan mahasiswa yang menyandang SPI mencapai persentase lebih dari 50% pada tahun 2017. Lalu apa kabar tahun 2018?
Baca Juga: Dua Wajah BLU Untan
Hal ini lah yang menjadi paradoks SPI di Untan dengan mengatasnamakan demi meningkatkan mutu perkuliahan berdasarkan pemenristekdikti ini. Namun masih adanya ketidaksesuaian yang nyaris tak terlihat. Ini masih dapat disangkal, bahwa penyebab paradoks atas kelebihan jumlah mahasiswa yang menyandang SPI karena pengalokasian kuota mahasiswa yang berhasil menduduki kursi di Untan.
Besarnya biaya yang tertumpuk dengan UKT membuat beberapa mahasiswa merasa keberatan dengan kondisi ekonomi yang nyaris tak teratasi. Inilah yang menjadikan mahasiswa ini jadi mau tak mau harus menerima tarif SPI yang bervariasi demi bisa menduduki perkuliahan di Untan, khususnya mahasiswa menengah kebawah.