Jauh sebelum mengenal istilah “Narsisisme”, terdapat sebuah kisah mitologi Yunani tentang seorang pemuda yang jatuh cinta pada refleksinya sendiri. Narcissus, adalah seorang pemuda yang tersohor oleh keindahan rupanya. Setiap orang yang melihatnya akan langsung jatuh hati. Tak hanya dikagumi oleh kaum manusia, ia juga populer di kalangan nymph. Namun, Narcissus lebih menikmati kesendirian dan menolak setiap orang yang datang padanya. Ia bahkan menolak nymph bernama Echo. Suatu ketika, saat hendak meminum air di sungai, ia melihat sosok yang amat rupawan yang tak lain adalah refleksinya sendiri.
Narcissus jatuh cinta pada dirinya sendiri. Rasa cinta dan obsesi yang besar membuatnya betah berhari-hari memandangi pantulan wajahnya di sungai. Dikisahkan bahwa Narcissus jatuh dan tenggelam karena membungkuk terlalu dekat ke sungai, namun ada juga yang percaya bahwa tubuhnya berubah menjadi sebuah tanaman bunga yang kini kita kenal dengan bunga daffodil.
Baca juga: Dunia Perfilman Indonesia: Cerminan Gaya Hidup Masyarakat dari Masa ke Masa
Berangkat dari kisah tersebut, muncul istilah narcissism yakni obsesi atau rasa cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Seseorang yang mengalami gejala ini disebut narcissist. Lantas, Apakah narsisisme akan selalu dipandang sebagai hal yang buruk? Salahkah jika seseorang sangat terobsesi pada dirinya sendiri? Apa yang membedakan narsisisme dengan rasa percaya diri?
Narsisisme merupakan sikap yang normal dan dapat dialami setiap orang. Selama dalam batas wajar, sikap narsis justru akan membawa pengaruh positif, diantaranya membuat kita selalu mencintai dan menghargai diri apa adanya, mensyukuri apa yang kita miliki, mendorong pengembangan diri ke arah yang lebih baik, serta senantiasa menjauhkan pikiran negatif tentang diri sendiri. Namun, kita perlu memperhatikan batasan. Sebaiknya jangan terlalu memelihara sikap narsis karena dikhawatirkan akan berkembang menjadi sebuah gangguan kepribadian yang disebut Narcissistic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Narsistik).
Seseorang dengan gangguan kepribadian narsisistik sangat terobsesi pada dirinya sendiri, sehingga cenderung arogan, self-centered, dan egois. Selain itu, ia tidak akan pernah tenang jika ada seseorang yang lebih baik darinya. Seringkali haus pujian, mudah tersinggung, delusional, dan suka merendahkan orang lain. Ia sering berpikiran bahwa dirinya lebih unggul, unik, dan berbeda dari yang lain sehingga merasa perlu diperlakukan secara khusus. Dan gejala terburuknya, seseorang dengan gangguan kepribadian narsisistik dapat melakukan apa saja agar demi menduduki tahta tertinggi meski harus menjatuhkan dan mengambil keuntungan dari orang lain.
Narsisisme dan rasa percaya diri. Serupa tapi tak sama. Keduanya berorientasi pada bagaimana seseorang memandang dirinya dan mengatur pembawaannya. Kembali pada pertanyaan di awal, apa yang membedakan narsisisme dengan rasa percaya diri?
Berbeda dengan narsisisme, sikap percaya diri cenderung mengarah ke dampak yang positif. Rasa percaya diri dimiliki oleh seseorang yang yakin terhadap kemampuannya sendiri yang mendorongnya untuk melawan rasa takut serta tantangan di depan mata. Rasa percaya diri tidak didasari oleh obsesi. Rasa percaya diri juga memberi pengaruh ke dalam bukan keluar, yang artinya percaya diri akan memberi pengaruh pada individu itu sendiri bukan pada orang disekitarnya.
Dilihat dari penyebabnya, narsisisme dan rasa percaya diri memiliki beberapa perbedaan. Meski belum ada teori yang pasti tentang penyebabnya, pola asuh orangtua dipercaya menjadi salah satu faktor munculnya sikap narsis pada anak. Orangtua yang terlalu memanjakan maupun kurang memberi kasih sayang sama-sama berpotensi menumbuhkan sikap narsis yang akan dibawa seorang anak saat beranjak dewasa. Sikap narsis dipercaya juga dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan dari orangtua. Artinya, narsisisme merupakan karakter bawaan lahir yang tumbuh oleh pola asuh orangtua dan lingkungan keluarga.
Sementara rasa percaya diri tidak tumbuh begitu saja ketika kita lahir. Untuk memiliki kepercayaan diri, seseorang harus melewati perjalanan yang panjang. Melalui proses pengembangan diri dan eksplorasi kemampuan, seseorang akan menemukan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan yang dianggapnya mampu ia kuasai dan taklukkan. Tentunya lingkungan yang suportif juga sangat mendukung munculnya rasa percaya diri.
Sosial media, meski belum dapat dipastikan menjadi penyebab narsisme, namun dapat menjadi sarana bagi setiap orang untuk unjuk diri dan berpamer ria. Bersaing agar menjadi figur yang unggul dan populer, meski harus menyenggol dan menjatuhkan pihak lain. Melakukan apapun demi menduduki tahta tertinggi di dunia maya yang tak lain hanyalah kebohongan dibalik layar.
Dengan memahami perbedaan-perbedaan antara narsisme dengan rasa percaya diri serta mengetahui ciri-ciri seseorang dengan gangguan kepribadian narsistik, harapannya kita tidak lagi sembarangan men-cap orang lain sebagai seseorang yang narsis. Memposting foto selfie setiap detik tidak menandakan seseorang itu narsis. Unjuk kebolehan di sosial media bukan bentuk dari sikap narsis. Menulis caption berisi penghargaan untuk diri sendiri juga tidak selalu berarti narsis. Siapa saja berhak melakukan apapun yang disukainya, selama dalam batas wajar dan tidak berpengaruh buruk bagi orang lain.
Jika setelah membaca tulisan ini anda merasa bahwa diri anda adalah seseorang yang narsis, tidak perlu khawatir. Karena orang yang narsis tidak akan pernah sadar bahwa dirinya narsis. Namun jika anda masih merasa diri anda adalah seseorang yang narsis atau mungkin menderita Narcissistic Personality Disorder, alangkah lebih baiknya mendatangi terapis atau psikolog untuk diagnosa dan penanganan lebih lanjut.
Penulis : Ibnu