mimbaruntan.com, Untan – Peran agama sebagai solusi pertobatan dalam permasalahan ekologi dan tindak koruptif menjadi diskusi hangat pada Webinar Hari Anti Korupsi Sedunia yang dilaksanakan oleh SAKTI Pontianak yang berkolaborasi dengan Indonesia Corruption Watch (ICW), Sejuk Kalbar serta Gemawan pada Selasa, (14/21).
Beberapa orang narasumber yang hadir dalam webinar ini turut serta memberikan penjelasan mengenai krisis iklim yang sedang terjadi di dunia serta dampaknya bagi manusia. Salah satunya Nisa Zonzoa, selaku Kepala Sekolah ICW. Ia membeberkan tentang banyaknya dampak dari perubahan iklim ini diperparah dengan adanya tindak korupsi di Indonesia. Ia mengambil contoh dari krisis iklim yang disebabkan oleh pertambangan batubara tidak luput dari konflik kepentingan yang mempunyai banyak celah korupsi.
“Karena batubara ini merupakan lahan basah, bisa memberikan keuntungan yang banyak bagi segelintir pihak, makanya terus menerus digunakan. Tapi disisi lain, dengan kita terus menerus menggunakan batu bara, yang terdampak sangat besar adalah masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa krisis iklim yang terjadi juga berhubungan dengan kontestasi perpolitikan di Indonesia. Dimana izin usaha tambang menjadi alat tukar dalam pembiayaan kampanye dalam pemilu.
“Salah satu sumber dana pemilu adalah dengan melakukan pertukaran antara pemerintah dan pengusaha dengan alat tukar berupa izin pembukaan lahan, izin pembukaan tambang,” tambahnya.
Baca juga: Tepis Mitos Perubahan iklim Lewat Bedah Buku
Berangkat dari krisis iklim yang terjadi, Sri Haryanti sebagai salah satu perwakilan dari Gemawan menjelaskan bahwa perubahan iklim yang terjadi sangat mempengaruhi perilaku masyarakat di Kalimantan Barat. Hal ini terjadi karena sektor perekonomian di Kalimantan Barat berasal dari alam, seperti pertanian, hutan, ataupun hasil laut.
“Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur tetapi juga mengubah sistem iklim yang mmepengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir,” paparnya.
Subandri Simbolon, akademisi lintas agama yang turut hadir dalam webinar tersebut menanggapi bahwa semua dampak kerusakan alam oleh manusia terjadi karena agama sudah dianggap sekuler sehingga banyak menghilangkan nilai spritualitas dari alam itu.
“Ini bukan hanya soal agama, tapi soal pemahaman kita tentang alam yang sudah tersekulerisasi. Kita menghilangkan makna spiritual alam. Tafsir keagamaan kita sudah melihat alam hanya sebagai objek bagi manusia. Kerusakan alam terjadi karena agama sudah tersekulerisasi.”
Subandri menjelaskan bahwa pendekatan melalui agama dalam menanggulangi krisis iklim dianggap sebagai hal yang penting karena agama bisa menjadi model sosial yang dilakukan untuk mencintai lingkungan. Selain itu, agama juga bisa menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan.
“Di Indonesia, agama sangat penting bagi masyarakat Indonesia dan ideologi Pancasila, agama juga mempengaruhi kebijakan,” jelasnya.
Baca juga: Melalui WCD, Lindungi Lingkungan dan Ekosistem Laut
Terakhir ia menambahkan untuk melakukan perubahan dari hal kecil dalam menjaga lingkungan dari krisis iklim karena krisis yang terjadi sekarang adalah tanggung jawab bersama.
“Saya ingin mengajak rekan-rekan lewat diskusi ini untuk melakukan pertobatan ekologis, pertobatan ini bisa kita mulai dari diri sendiri, dari hal kecil seperti menghemat listrik apabila tidak digunakan, mengelola sampah dengan cara yang tepat, melakukan paperless ketika perkuliahan dan aksi-aksi lainnya. Hal ini sudah sepatutnya dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab kita terhadap alam,” pungkasnya.
Penulis : Dedek
Editor : Daniel