Di atas kerangka besi nan mengudara itu, seorang pemuda untuk pertama kalinya berada di atas langit Kalimantan. Perjalanannya akan berakhir di Pontianak, kota yang akan menjadi ‘rumah’ sementaranya guna melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri dengan embel Tanjungpura, nama kerajaan yang pernah ada di wilayah Kalimantan Barat. “Dari atas pesawat kulihat, aduh ini aku masuk hutan mana ya,” ceritanya kepadaku. Sontak aku tertawa mendengar ceritanya, bagaimana teman ini mengira Pontianak adalah kota yang berada di tengah hutan. Karena, bagiku yang memasuki Pontianak pada malam hari, hanya ribuan kerlap-kerlip lampu yang bertebaran, yang menunjukkan peradaban besar di bawah langit. Tentunya hal itu tidak salah sama sekali. Pontianak adalah kota besar yang berada di sebuah pulau yang terkenal belantaranya. Itu pikirku dahulu, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di sana, sama dengan teman tersebut.
Tebakanku, hutan yang dilihat teman tersebut, mungkin lahan seluas 3,48 Hektar yang dinamakan Arboretum Sylva Universitas Tanjungpura (Untan). Orang-orang mungkin akan bertanya, hutan seluas 3,48 Hektar? Sekecil itu disebut hutan? Ya memang begitu adanya. Merujuk UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Atau menurut Dengler, hutan adalah kumpulan pepohonan berjajar rapat dan menutupi wilayah yang luas sehingga terbentuk iklim mikro dengan kondisi ekologi yang berbeda dengan wilayah tersebut dan bersifat unik. Dari dua pengertian tentang hutan tersebut, kita akan menemukan gambarannya ada di Arboretum Sylva Untan. Barisan pepohonan rapat nan beragam dan iklim mikro nan menyejukkan pengendara yang melintas di riuhnya jalanan di depannya atau warga Kota yang berolahraga baik pagi maupun sore hari. Ibaratnya harta karun, arboretum menyimpan keanekaragaman hayati yang menjadi tempat tumbuhnya spesies pohon-pohon endemik nan langka Kalimantan, tempat singgahnya beragam burung-burung kala musim migrasi telah tiba, dan ‘labotorium’ pengetahuan, di mana ilmu-ilmu yang diperoleh dari mahasiswa-mahasiswa kampus tempatnya berdiri dapat diuji dan dibuktikan secara akademis.
Namun, akhir-akhir ini kabar buruk berhembus dari ‘hutan mungil’ tersebut. Berita-berita sekaligus tagar #SaveArboretumSylvaUntan berseliweran di ranah dunia maya yang saya baca. Dilansir mimbaruntan.com, sejak Juni tahun lalu rencana pembangunan yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian (Faperta) yang masuk dalam wilayah arboretum, memicu perdebatan dan sengketa lahan dengan Fakultas Kehutanan (Fahutan), yang dalam hal ini bertanggung jawab atas wilayah arboretum, walaupun pihak Faperta membantah perihal pembangunan tersebut. Namun, bantahan pihak Faperta seyogyanya tidak terbukti, di saat tembok-tembok mulai dibangun di dalam arboretum. Hal ini kembali memicu penolakan keras mahasiswa kehutanan yang ‘peduli’ langsung berdemontrasi dan tagar #SaveArboretumSylvaUntan kembali bergaung.
Baca juga: Batas Panas antara Arboretum dan Faperta
Pertanyaannya saya: Apakah kita peduli terhadap hutan itu sendiri? Saya sebenarnya punya jawaban tersendiri. Jawabannya TIDAK. Kita hidup dalam kebanggaan ‘semu’ terbuai kabar baik ala GNFI (Good News From Indonesia) bahwa kita tinggal di pulau yang terkenal dengan julukan ‘Paru-paru dunia’ , yang merujuk pulau yang kita tinggali memiliki hutan yang luas. Tapi, sadarkah kita hutan-hutan Kalimantan, dalam hal ini Kalimantan Barat berkurang sedemikian drastisnya setiap tahunnya? Atau kita benar-benar menganggap bahwa bencana banjir yang setiap tahun menyambangi memang akibat curah hujan yang tinggi seperti ucapan para kepala daerah bahkan sekaliber presiden negeri ‘Zimbabwe’ yang lulusan kehutanan kampus ternama itu. Ucapan seperti itu sebenarnya bisa menjadi diskursus atau perdebatan di ruang-ruang kampus yang menjunjung intelektualitas dan kebebasan akademik, atau bahkan di kampus dimana Arboretum Sylva Untan itu berdiri dalam keterancaman akan pembangunan. Namun, hal itu tidak terjadi. Ribuan hektar hutan yang lebih luas dibandingkan ‘hutan mungil’ Arboretum saja, setiap tahunnya berganti menjadi perkebunan atau pertambangan tidak menuai protes atau perdebatan di tengah masyarakat kita. Atas nama pembagunan dan kesejahteraan kita diam dan merelakan.
Sangat disayangkan memang, bahaya yang mengancam arboretum itu hanya berujung penolakan ‘segelintir’ mahasiswa saja, dimanakah suara ribuan intelektual kampus itu berada? kemanakah masyarakat kita yang punya kebanggaan akan ‘Paru-Paru Dunia’ dunia ini? menurut saya, Arboretum Sylva Untan bukan hanya milik mahasiswa kehutanan saja, ia milik kita semua. Sudah sepatutnya kita turut memprotes pembangunan yang mengancamnnya. Turutnya kita dalam protes tersebut, saya kira akan menjadi momentum ke depannya akan masa depan hutan kita, memprotes kerusakan hutan atau lingkungan di negeri ini dan mengadvokasi masyarakat-masyarakat yang terancam hutan dan kehidupannya. Atau pilihannya mainstreamnya kita akan merelakan perambahan Arboretum Sylva Untan nan mungil itu, karena terbiasa merelakan kerusakan hutan yang lebih luas. Kalau memang pilihannya adalah opsi yang terakhir, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan judul, “KITA MEMANG TIDAK BUTUH HUTAN, RAMBAH SAJA ARBORETUM”.
Maaf ada pertanyaan penting yang ketinggalan, REKTORNYA ADA DIMANA YA?
Penulis: Ikbal, mahasiswa akhir zaman jurusan Rimba prodi Ilmu Kelapa Sawit.