mimbaruntan.com, Untan-“Thousands have lived without love, not one without water. Dalam satu kalimat pendek, penyair WH Auden dengan bernas meringkas perihal tingginya ketergantungan kita terhadap air. Kekeringan yang melanda di empat kecamatan Kab. Sambas membuktikan bahwa ketergantungan itu tinggi. Sekitar 148.767 penduduk jadi taruhan dengan satu sumber air, yakni Danau Sebedang.”
Kopi mulai datang dengan pelayan yang kira-kira berumur 70 tahun, sempat bertanya nama danau yang terlihat didepan mata.Sebedang begitu orang menyebut sebuah danau yang menyendiri di Kec. Tebas, Kab. Sambas ini. Danau yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang diisi kuburan orang Tionghua serta kantin kecil mengitari menandakan bahwa tempat ini juga dijadikan sebagai rekreasi masyarakat setempat. Akhir pekan dan hari besar lainnya merupakan agenda yang turut meramaikan danau Sebedang. Terkait dengan adanya pemakaman yang menghiasi bukit kecil ini diduga sudah lama bersarang.
Tajiri, Kepala Bagian Pariwisata Kabupten Sambas berbicara bahwa pihaknya tidak memiliki hak dalam mengkaji kerusakan lingkungan di desa sebedang. Mengenai pemakaman di danau sebedang, ia mengatakan, komplek pemakaman dari yayasan Tionghoa di Danau Sebedang memang telah ada sebelum dinas pariwasata mengelola wisata di sana.
Sedangkan untuk kerusakan hutan dan kekeringan air merupakan tanggung jawab dinas kehutanan dan pihak PDAM sendiri. “Mereka belum pernah melakukan kerja sama dengan dinas-dinas lain untuk bersama-sama menjaga kelestarian danau dan habitatnya,” tambahnya.
Instansi terkait hanya bisa menuding hal ini karena belum adanya pengecekan ke lapangan, padahal sawit yang ada sudah setinggi bocah delapan tahun. Dinas Kehutanan Kab. Sambas mengakui pihaknya belum ada pengecekan ke lapangan terkait kondisi Gunung Majau.
“Polisi Hutan yang sudah ada, telah berumur (sudah tua) sehingga kinerja mereka kurang maksimal dan tidak profesional lagi. Jadi sedikit sulit untuk mengarahkan mereka untuk memantau kondisi hutan disana,” papar Yayan yang menjabat Kepala Dinas Kehutanan.
Krisis Dan Bencana Mulai Menerpa
Danau yang memiliki luas sekitar lima kilometer ini menampung konsumen sekitar 148.767 jiwa yang tedampar pada empat kecamatan di Sambas. Mirisnya sumber air yang menampung begitu banyak manusia dikelola oleh PDAM Tirta Muare Ulakan dengan fasilitas sudah usang.
Instansi yang terletak dekat dengan danau ini sudah dibangun sejak 1982, kurang lebih 33 tahun peralatan itu belum diganti atau pemeliharaan oleh pemerintah setempat. Hal itu diakui oleh Alfian, salah satu staf PDAM ini secara lugas mengatakan, “Terutama pipa induk air ledeng dari danau Sebedang ke PDAM Mak Rampai Tebas, mungkin lebih parah,” paparnya
Pada tahun 2014 silam, sebagian wilayah Sambas mengalami krisis air bersih. Parahnya, air yang dianggap berlimpah pada alam disulap menjadi bahan tersier karena harus ditukar dengan uang. Krisis air terparah terjadi di wilayah Kecamatan Pemangkat, masyarakat harus antri jerigen membeli air dengan harga Rp. 500 – Rp. 10.000 per jerigen (sesui dengan ukuan) dengan kapasitas 35 liter per jerigen.
“Pemangkat adalah pelanggan paling ujung, sisa-sisa dari kecamatan Sebawi, Kecamatan Tebas dan Kecamatan Semparuk yang hanya masuk 10 liter perdetik sedangkan pelanggan kurang lebih 1000, jadi memang terjadi krisis air,” jelasnya.
Alfian juga menambahkan inti permasalahan air bersih adalah air yang diproduksi tidak seimbang dengan air yang didistribusikan. Faktor usia pipa kembali menjadi kendala karena penyempitan dimungkinkan terjadi disetiap desa teruta desa Sempalai, hampir 58% air baku yang hilang.
Solusinya, pihak PDAM telah mengajukan kepada Cipta Karya untuk pergantian dan menambah pipa baru air baku di Mak Rampai. “Kita udah programkan untuk menambah pipa agar mencukupi produksi air tadi,” tambahnya lagi.
Musim kemarau tak hanya membuat antrian yang panjang pada truk atau pick up pengangkut air. Masyarakat juga bebondong-bondong untuk mengambil air yang ada pada truk atau pick up. Romi, salah satu warga Desa Pemangkat Kota, Kecamatan Pemangkat harus rela antri air dari subuh untuk kebutuhan keluarganya sehari-hari. “Turun biasanya jam 05.00 pagi, mengantar 5 buah galon, di pancur (nama dusun setempat). Harga satu jerigen, kalau di pancur Rp. 500, kalau banyak yang antri, kami tinggalkan dulu nanti baru di ambil,” ungkap Romi.
Bencana mulai menerpa sedikit demi sedikit, krisis air yang terjadi sampai pada pembangunan tanggul yang tak unjung usai, hingga pada kekeringan di danau Sebedang. Kejadian itu tejadi pada tahun 2006 silam, debit air mulai berkurang karena diiringi kebutuhan yang melonjak. Masyarakat setempat juga diuntungkan karena bencana tersebut, mereka menyebutnya dengan “ngamal” (bahasa daerah setempat) untuk mengambil ikan yang bergelimpangan di atas danau.
Hingga sore menyapa, orang yang mengantarkan kopi tadi, mulai menawarkan makanan. Setelah berbincang basa-basi baru diketahu beliau adalah Sherly Bin Muhsin (70), pemilik warung yang sudah 14 tahun hidup ditepian danau menceritakan permasalahan yang diterpa pada masyarakat setempat. Mulai dari keringnya air danau sampai dengan jebolnya tanggul danau Sebedang yang sempat terjadi beberapa kali.
“Danau Sebedang pernah kering tahun 2006, banyak warga pergi ke Danau untuk menangkap ikan hanya jalan kaki di dalam danau,belum lagi sempat tanggul itu jebol bekali-kali,” ungkapnya dengan senyum simpul.
Walaupun tak diperhatikan pemerintah, air tetap menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh masyarakat sekitar danau Sebedang. Musim kemarau maupun terpaan polemik yang mau atau tidak mau harus tetap dijalani. Seiring dengan antrean panjang pengencer air dan pasangannya si pembeli.
Penulis: Uuz
Editor: Irvan