Letnan I Purnawirawan Madun
Oleh Atem
Bentuk tubuh yang tidak setegap dulu, namun tetap memancarkan charisma semangat juang yang tinggi masih terlihat darisosok Madun, seorang satpam yang sudah mengabdi selama Sembilan tahun di fakultas ilmu social dan ilmu politik (Fisip) universitasTanjungpura (Untan). Bapak dan sekaligus seorang kakek yang telah memiliki 3 orang anak dan 6 orang cucu ini mulai mengabdikan dirinya pada tahun 2003 lalu, ia sengahja di pinta oleh pihak kampus untuk menjaga keamanan lingkungan fisip. “saya disini dipinta oleh pihak kampus untuk menjaga kampus ini, karena kemaren katanya fisip ini tidak aman” ungkapnya memberitahukan alasan mengapa ia dapat bekerja di fakultas ini.
Bekerja sebagai satpam bukan semata-mata dilakukannya untuk mencari nafkah atau membiayai hidupkeluarga saja, namun karena ia tidak mau menghabiskan masa tuanya hanya dengan berdiam diri, meskipun anak-anaknya sudah melarangnya bekerja dan menyuruhnya berhenti. “anak saya sudah marah dan menyuruh bapak berhenti, tapi kalau di rumah badan lemah tapi kalau di sini gak,” ungkap suami Sumarni ini sambil tersenyum.
Dibalik sosok madun yang dikenal sebagai satpam, ia juga memiliki latarbelakang yang sangat berharga bagi bangsa dan Negara Indonesia, ia adalah salah satu pewira angkatan darat dengan pangkat Letnan I, yang berjuang mempertahankan timor-timur supaya tidak memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1975, bukan hanya itu ia juga pernah di tugaskan untuk mengamankan wilayah Irian Barat. Pewira yang sudah pension sejak tahun 1997 ini juga di tugaskan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. “Bapak di tugaskan macam-macam, kemaren yang perang di Timor-timur bapak ada di sana, tapi sekarang sudah lepas pula” ucapnya merasa kecewa karena saatini Timor-timur sudah pisah dari Indonesia.
Pensiunan pewira yang tinggal di Jeruju ini, berangkat kerja hanya mengendarai sepeda ontel, yang sudah berumur lebih dari 20 tahun dengan waktu selama 45 menit sampai ke kampus, ia tidak pernah lelah Bekerja sebagaiseorangsatpam, karena profesi ini menjadi salah satu bentuk semangat juangnya di masalalu yang masih bias ia wujudkan hingga sekarang, ia tidak pernah mempermasalahakn beratnya tugas meski gaji hanya sebesar Rp.900.000. “Saya senang kerja di sini karena dosen dan mahasiswanya baik-baik, dan sering bergurau denganbapak” ungkap bapak yang sudah berumur 72 tahun ini.