Mimbaruntan.com– Dian Lestari, perempuan kelahiran Pontianak 7 Oktober 1981 yang akrab disapa Dian ini merupakan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak. Dian yang sudah 13 tahun berkecimpung di dunia jurnalistik semasa kuliah memang suka membaca berita, namun tak pernah tergerak untuk ikut dalam pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan jurnalistik karena pada dasarnya ia memang tak bercita-cita untuk menjadi seorang jurnalis.
Selepas kuliah, Dian yang merupakan lulusan Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura ini merasa jenuh dengan dunia teknik yang menurutnya membosankan. Dian menginginkan pekerjaan yang bisa membawanya jalan-jalan keliling dunia, hingga akhirnya ia melamar pekerjaan dan lolos seleksi di Pontianak Post. “Saya ingin kerjaan yang jalan-jalan keliling dunia, waktu ada pengumuman lowongan di Pontianak Post saya coba lamar, lalu lolos seleksi. Mulai dari situ saya tertarik mendalami dunia jurnalistik, bukan sekedar kerjaan saja,” ungkapnya.
Selama 13 tahun menjadi jurnalis mulai dari Pontianak Post hingga kini di Tribun Pontianak, ada banyak kenangan yang telah dilewati Dian. Salah satu momen yang tak terlupakan bagi Dian adalah pada saat ia melakukan liputan investigasi tahun 2008 di Ketapang. Liputan ini berisikan pencarian keberadaan mantan Kapolres Ketapang yang dijatuhi hukuman penjara karena terlibat kasus ilegal logging yang paada saat itu seharusnya menjalani hukuman dalam penjara,namun diduga diamankan di Asrama Polisi. Setelah melakukan investigasi yang penuh tantangan, berita ini dimuat dalam Tribun Pontianak edisi perdana. Hingga akhirnya mantan Kapolres Ketapang ini dijebloskan ke dalam penjara untuk membayar segala kesalahannnya. “Kenangan liputan investigasi seperti itu banyak sekali tantangannya, mesti diam-diam jalankan liputan, mesti gigih coba segala jalur liputan dan mesti memperhitungkan keamanan pribadi,” ceritanya.
Salah satu kisah menarik lainnya adalah saat Dian meliput tentang anak yang menderita HIV/AIDS di Ketapang. Anak ini terbaring lemah tinggal di rumah kakek dan neneknya di bekas lumbung padi. Setelah berita ini terbit, bupati setempat segera meminta dokter dan humas untuk mengecek keadaan anak tersebut dan dibawa ke rumah sakit untuk di rawat. Dian berharap anak ini bisa pulih dan bisa bersekolah lagi, namun takdir berkata lain si anak hanya mampu bertahan 11 hari saja untuk akhirnya menghadap Yang Maha Kuasa selama-lamanya. Dian merasa sedih saat tahu kabar meninggalnya anak ini.
Seorang jurnalis bersuara dan melawan lewat karya, seorang jurnalis berkarya dengan tulisannya. Maka ketika tulisan itu berdampak baik bagi kebenaran , tentu ini merupakan suatu kebahagiaan tersediri. Meski menjadi jurnalis terkesan berat dan tak selalu berujung dengan indah, bukan berarti perempuan tak bisa terjun dalam dunia ini. Dian telah membuktikan hal tersebut, selama menjadi jurnalis ia pernah meraih berbagai penghargaan, diantaranya Juara II Kompetisi Liputan Gizi diadakan The Southeast Asian Minister of Education Organization (SEAMEO) Tropical Medicine and Public Health (TROPMED) Regional Center for Community Nutrition Universitas Indonesia (20 November 2010), Juara I Penghargaan Jurnalistik Publikasi Keaksaraan oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya (11 October 2013), Peraih Fellowship Pembiayaan Liputan Keberagaman SEJUK (tahun 2014), Penerima Australian Awards 2015 diberikan dalam bentuk Fellowship Asia Pacific Journalism Centre (APJC) di Melbourne ( 4 Mei-5 Juni 2015), dan Peserta Fellowship En quête d’Ailleurs » (EQDA) di Swiss (Mei 2016).
Menurut Dian, berkarya adalah wujud manfaat dan warisan bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Perempuan merupakan bagian dari masyarakat, maka dari itu perempuan juga harus berkarya sesuai dengan kemampuan dan bidangnya masing-masing. Belajar dari sosok Kartini yang berjuang lewat pendidikan, Kartini terus bertanya tentang banyak hal yang seringkali tak ia temukan jawabannya karena orang di sekelilingnya lebih menutup banyak kemerdekaan berpikir. Bagi Dian sesungguhnya sosok Kartini mengajarkan bahwa kemerdekaan berpikir, bertanya, dan mencari jawaban adalah kemerdekaan yang sesungguhnya. Dian berpesan pada Kartini masa kini untuk jangan pernah membatasi diri belajar kapanpun dan dimanapun berada.
“Ketahui dirimu punya potensi apa, ingin jadi apa, lalu apa yang bisa kamu lakukan untuk membagi pengetahuanmu pada orang lain. Kartini tak pernah puas belajar, maka tak ada alasan Kartini masa kini untuk merasa sudah cukup belajar” tutupnya .
Penulis : Reza Pangestika & Yolanda Amelia Siahaan
Editor : Sekar A.M.