“Bangun Tembok itu!” Kata-kata ini kerap digaungkan oleh pendukung Donald Trump saat pemilihan Presiden Amerika Serikat. Kalimat ini merujuk pada isu pencegahan imigran Meksiko yang ingin masuk ke AS dengan membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko. Sentimen terhadap kulit hitam dan anti Muslim kerap menjadi narasi saat kampanye itu sukses menaikan elektabilitas Donald Trump. Bahkan Corey Saylor, Direktur Departemen Urusan Pengawasan dan Pemberantasan Islamophobia, seperti yang dikutip Republika mengatakan, tidak pernah capres-capres sebelumnya melakukan hal tersebut.
Merujuk dengan apa yang telah terjadi di pentas politik Amerika Serikat, terdapat persoalan serius yang harus dipahami masyarakat Indonesia mengenai informasi yang mereka konsumsi setiap hari. Ihwal persoalan tentang hoaks sedang ramai dibicarakan, persoalan lainnya yang berkaitan dengan mutu informasi adalah masuknya budaya post-truth yang sering kali dimainkan oleh politikus. Kata post-truth ramai diperbincangkan setelah terdapat dua kejadian besar yaitu terpilihnya Donald Trump dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit), sehinggga pada tahun 2016 Oxford Dictionaries menobatkan post-truth sebagai The Word of Year.
Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah tersebut sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Yang menarik untuk diperhatikan adalah persoalan untuk meraih opini publik dengan cara keyakinan personal dan emosi ketimbang sebuah fakta. Ketika media dalam bentuk apapun sebagai sarana pengirim informasi lebih menonjolkan opini ketimbang fakta maka fakta apapun akan tenggelam oleh opini seseorang, yang merepotkan adalah ketika persepsi masyarakat yang menganggap opini dianggap menjadi sebuah hal yang lebih dipercaya dari pada fakta yang terjadi.
Baca Juga: Monopoli Kebenaran Ditangan Penguasa Adalah Benar Adanya
Di Indonesia, budaya post-truth yang saat ini kerap dimainkan dalam media sosial dan media arus utama adalah istilah “kriminalisasi ulama”. Istilah ini kian marak digunakan ketika ada insiden aksi bela ulama yang merebak hingga ke Kalimantan Barat. Istilah kriminalisasi ulama akan mengubah pandangan masyarakat apabila ada seorang ulama yang tersandung kasus hukum dinilai telah dikriminalisasi. Padahal kedudukan semua warga negara setara dihadapan hukum, baik itu ulama, pastor atau bahkan presiden.
Jika kita singgah sebentar ke era sebelumnya, yaitu era postmodernisme di mana semua ilmu baku seolah dihanguskan dan dialihkan pada wacana kebebasan-kebaruan-pluralitas maka dimensi inipun hampir sama dengan post-truth, dimensi yang tidak berpijak pada fakta-fakta melainkan kebebasan menafsirkan diwilayah opini.
Efek dari post-truth tidak hanya berada di dalam tubuh politik, melainkan juga merambat ke ranah sains. Sebutlah dua pemikir kekinian Richard Dawkins dan Stephen Hawking. Ada dua alasan mengapa saya sebut pemikir kekinian, pertama karena karya mereka saat ini sedang populernya di kalangan pemuda milenial, kedua pemikir tersebut lahir atas pijakan era post-modernisme yang cenderung bermain di wilayah opini pribadi ketimbang membahas fakta-fakta empirik murni.
The God Delusion misalnya, masterpiece Richard Dawkins yang satu ini sukses menyedot perhatian dunia, serta The Grand Design-nya Stephen Hawking yang menggempar agamawan, dan membuat Vatikan menggelar konferensi sains yang secara khusus membahas teori pembentukan alam semesta. Seperti yang saya sebut sebelumnya jika post-truth adalah pandangan pribadi seseorang ketimbang fakta-fakta. Maka sama halnya dengan dua karya yang saya sebutkan di atas, yang lahir atas opini berlatar saintisme ketimbang metode empirik murni. Hal itu mengakibatkan orang cenderung berkeyakinan bahwa buku Richard dan Stephen yang mereka pegang adalah muaranya sains. Seseorang akan lebih mudah terjebak pada ideologi saintis ketimbang mengikuti kebenaran murni sains seperti perkembangan teknologi.
Baca Juga: Buruknya Demokrasi Kampus Untan
Kualitas Produk Jurnalistik
Persoalan mutu informasi diera post-truth tentu akan berkaitan dengan bagaimana media arus utama menyajikan pemberitaan. Banjir informasi diera revolusi digital memang tidak bisa dihindari. Persoalannya hari ini bukan pada bagaimana masyarakat mendapatkan informasi, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang diterima.
Media arus utama mempunyai tanggung jawab besar dalam merekonstruksi pola pikir masyarakat dengan produk jurnalistik yang lebih berkualitas. Kasus pemilu di Amerika pada tahun 2016 menjadi pembelajaran bersama, statement kebohongan Donald Trump yang disebarkan media semakin membuat namanya naik.
Kualitas jurnalistik tersebut dapat dilihat dari bagaimana media menyajikan informasi yang berangkat dari fakta, bukan hanya mengutip narasumber dan tidak memverifikasinya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku 9 Elemen Jurnalistiknya juga menekankan pentingnya disiplin verifikasi. Selain mencegah masuknya opini tidak mendasar dari narasumber, disiplin verikasi dapat membantu pembaca untuk memahami bahwa kebenaran sebuah informasi tidak datang secara instan, melainkan dibutuhkan pendukung fakta-fakta lainnya untuk dapat menyimpulkan sebuah informasi.
Walter Lippman Public Opinion (1921) menuliskan, opini publik merupakan jalinan antara sedikit fakta yang dicampur imajinasi dan kemudian diyakini sebagai kebenaran atau realitas sesungguhnya. Opini publik melibatkan realitas yang tak sempurna dari sebuah keadaan seutuhnya. Lippman menyebut istilah ini sebagai stereotip. Kalau anda saat ini sedang meyakini jika orang batak cenderung kasar, maka anda sudah masuk ke dalam orang yang terpengaruh stereotip ini.
Baca Juga: Ruang Kosong Debat Presidensial
Apa yang digambar Lippman cukup jelas, jika opini akan menimbulkan streotip yang mengakibatkan seseorang akan terjebak pada pandangan sempit. Seperti pada kasus di atas, jika penilaian orang-orang terhadap orang Batak cenderung kasar adalah salah satu contoh biasnya sebuah opini. Repotnya adalah persepsi ini akan diakui sebuah kebenaran. Padahal faktanya, tentu tidak semua orang batak berprilaku kasar.
Maka sudah saatnya yang kita harapkan di era post-truth dan besarnya gelombang arus informasi yang beredar, kualitas jurnalistik adalah langkah awal untuk merekontruksi ulang pemikiran masyarakat mengenai informasi yang ia terima. Entah pemberitaan itu menguntungkan siapa, yang jelas media arus utama harus punya sikap dan keberpihakan, tentu keberpihakan pada kebenaran fakta.
Penulis: Irvan