mimbaruntan.com,Untan- Novel Perempuan di Titik Nol ini, menceritakan tentang kebencian seorang perempuan yang sangat besar terhadap lelaki. Tokoh utama yang bernama Firdaus ini merupakan tokoh yang bersikap antipati terhadap kaum lelaki. Tetapi dia tak bisa mengekspresikan pemberontakan jiwanya terhadap laki-laki. Dia hanya berbuat pasif untuk menunjukkannya. Dia lebih memilih untuk diam dan mempertahankan harga dirinya sebagai bentuk pemberontakan. Termasuk kepasifannya menerima hukuman mati.
Firdaus telah merasakan pelecehan seksual dari laki-laki dari berbagai kalangan. Dari kalangan keluarga, dia mendapat pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Selanjutnya, dari orangorang yang tidak dikenal, Firdaus pun dilecehkan oleh Paman Firdaus, Bayoumi, teman Bayuomi, Fawzi, dll. Dari pengalaman pahit tersebut, dia berkesimpulan bahwa semua laki-laki adalah sama bejatnya dan menumbuhkan kebencian yang dalam pada dirinya terhadap laki-laki.
Adapun contoh yang melukiskan tentang ketertindasan kaum perempuan bahwa tokoh sejak kecil sudah dikuasai oleh ayah yang otoriter dan suka melakukan kekerasan terhadap perempuan, menginjak remaja ia mendapat perlakuan tidak senonoh dari paman sendiri, memasuki usia dewasa ia terjebak dalam perkawinan paksa dengan suami yang kikir dan bertipe pembeli wanita. Kemudian menjadi sapi perah para lelaki hidung belang yang bertindak sebagai germo, bahkan kemudian menjadi karyawan germo wanita dalam bisnis prostitusi. Ironisnya, selama masa penindasan tersebut, Firdaus hanya bisa menerima takdirnya. Barangkali itulah tugasnya dilahirkan di muka bumi ini.
Sedari kecil, Firdaus hanya menjalankan tugasnya sebagai perempuan, yaitu mengabdi kepada semesta lelaki. Pengabdian kepada ayah, paman, suami, dan Bayoumi. Selama rentang pengabdian itu, ia hanya menjadi objek kekerasan psikis dan fisik berkaitan dengan aktivitasnya. Ia tidak boleh memilih atau menolak takdirnya sebagai pengabdi. Dirinya bukan miliknya sendiri tetapi milik semesta laki-laki.
Tokoh Firdaus hanya merasa pernah satu kali menerima haknya, yaitu menerima piaster yang diidamkan sejak kecil. Hak sebagai anak, istri, atau pelacur dengan berganti-ganti germo sulit atau bahkan tidak pernah didapatkan. Hal ini berlangsung hingga ia menjadi pelacur di bawah naungan germo perempuan. Sampai suatu ketika, seorang pemakai jasanya memberikan sepuluh pon, untuk dirinya sendiri. Dengan piaster sebesar sepuluh pon, tokoh baru berfikir untuk bebas memilih apa yang disukainya termasuk berapa harga jasanya dan siapa yang berhak memakai jasanya. Piaster ini kemudian menandai garis tipis namun tegas yang membangun kesadaran tokoh tentang kepemilikan atas tubuh dan jiwanya.
Pada masa itu, dalam tradisi Mesir waktu itu tidak memberikan ruang gerak yang luas kepada kaum perempuan. Hal ini terjadi dengan upaya mendomestikasi perempuan dan melarang mereka masuk ke wilayah publik. Selain itu novel ini juga menujungkan bahwa perempuan mustahil untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Perempuan tidak mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi sehingga melahirkan kelemahan perempuan di segala sisi. Kelemahan ini akhirnya memaksa mereka untuk tanpa sadar dikuasai oleh lingkungannya tanpa sedikitpun memiliki hak untuk menawar.
Novelnya tidak banyak halaman seperti novel-novel luar negeri yang lain dan bisa dibaca dalam waktu singkat. Dari ceritanya terselip nilai tentang kaum perempuan agar lebih menghargai diri sendiri. Kaum perempuan juga harus berani membela diri jika dilecehkan karena mempunyai hak dan kewajban yang sama seperti laki-laki. Tak hanya itu, laki-laki juga disenggol agar menghargai perempuan sekalipun dia berprofesi sebagai PSK.
Namun bahasanya sulit dimengerti. Visualisasi di sampulnya yang dominan warna merah juga terlihat kurang menarik. Alurnya maju-mundur membingungkan pembaca. Ceritanya yang vulgar dan berbau seks memposisikan lelaki seolah-olah menjadi subjek yang selalu antagonis.
Penulis : Fidya NA