mimbaruntan.com, Untan — Peringati hari Perempuan Internasional, Aliansi Woman’s March bersama Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Serikat Pemuda Dayak menggelar Aksi di Bundaran Digulis, Kamis (8/3). Aksi ini di latarbelakangi oleh keprihatinan atas kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Angka-angka kekerasan terhadap perempuan dan juga kekerasan terhadap anak dapat dikatakan tinggi, dan cenderung meningkat setiap tahun. Dilansir dari kompas.com, pada tahun 2016 di ranah personal, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama dengan 5.784 kaus. Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus.
Hal ini diakui oleh Rr. Esty Wikasilva yang sering dipanggill Roro selaku penggagas gerakan Woman March’s saat ditemui di sela diskusi pada pekan lalu. Menurut Roro kekerasan pada perempuan sederhananya sering ditemui dalam hubungan asmara. Contoh sederhananya yakni kekerasan verbal, hal ini bagi Roro dapat memicu pertengkaran kecil hingga menjadi kasus yang cukup serius seperti pembunuhan. Artinya kasus ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Di Pontianak pada tahun 2014 kasus kekerasan dalam pacaran terjadi antar siswa yang membunuh pasangan lantaran korban tak ingin melakukan hubungan intim. Roro menilai, isu ini di luar logika kemanusiaan. “Itu salah satu contoh yang tidak masuk akal, baru saja pacaran sudah aneh-aneh, dan akhirnya membunuh perempuan, sangat memprihatinkan sih,” ujarnya.
Ia menambahkan untuk saat ini yang perlu dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya isu perempuan yakni dengan hal sederhana seperti menulis, lakukan teater yang mengangkat tentang isu perempuan bahkan aksi di jalan. Harapannya dengan menyuarakan kekhawatiran kekerasan terhadap perempuan masyarakat khususnya di Pontianak sadar, bahwa saat ini kekerasan perempuan semakin memprihatinkan. “Harapan ku sih makin banyak orang yang sadar, dan ingin ikut turut bersuara, ya enggak mesti juga teriak-teriak segala macam, cukup dengan bersuara melalui menulis atau kegiatan-kegiatan seperti bermain musik teater yang bisa menularkan semangat untuk menyuarakan isu perempuan ini,” imbuhnya.
Sementara, hal serupa juga disampaikan oleh Dewi Purnama penulis buku Pelacur Itu Datang Terlambat. Baginya saat ini kekerasan gender di Pontianak bisa dikatakan darurat. Hal ini menjadi momok sendiri bagi kaum wanita lantaran kurangnya perlindungan dari pemerintah mengenai isu kekerasan terhadap perempuan. “Kekerasan berbasis gender di Pontianak sudah masuk tahap darurat, apalagi hanya berawal humor seksis, kekerasan verbal itu bisa berkembang menjadi kekerasan fisik bahkan bisa sampai berujung pembunuhan. Artinya saat ini perlindungan terhadap kaum wanita masih kurang,” tuturnya.
Dewi Purnama berharap isu kekerasan perempuan ini tidak hanya berakhir di sebuah diskusi, dengan melakukan aksi nyata lainnya sehingga mampu membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kekerasan terhadap perempuan. “Kita arus mulai membangun kesadaran mulai sekarang, dari orang orang terdekat yang nanti dari kalangan pemuda yang membuat perubahan itu, intinya kita berubah dan jangan berhenti sampai di sini, ayo mulai bergerak dari sekarang,” tegasnya.
Penulis : Umi Tartilawati
Editor : Adi Rahmad