Belum saja sembuh luka lama semenjak di berlakukannya RUU KPK, kini Rakyat Indonesia harus mendengar kabar buruk lagi dari Pemerintah terkait wacana RUU Omnibus Law.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi menyebutkan lima prioritas pemerintah pada periode kedua kepemimpinanya (2019-2024), yaitu pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi. Salah satu cara yang akan ditempuh untuk mewujudkan prioritas ketiga adalah menyusun Omnibus Law, yang dijelaskan oleh Presiden sebagai “undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa (puluhan) undang-undang lain.
Namun sangat disayangkan penyusunan RUU Omnibus Law terlalu terburu-buru sehingga banyak pasal yang dihilangkan serta bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Salah satu pasal yang diubah pada mulanya, izin lingkungan telah diatur dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam pasal lain RUU Omnibus Law Cipta Kerja selanjutnya disebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengambil alih izin terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari Pemerintah Daerah, dalam draf yang diperoleh Pasal 24 ayat 1 menyebut dokumen Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.
Baca juga:Blunder Omnibus Law
Omnibus Law itu menghapus dan mengubah serta menerapkan aturan baru yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) soal sanksi administrasi kepada korporasi.
Sehingga akan menjadi ladang bisnis bagi para investor asing dengan mudah untuk merauk kekayaan SDA, dan berdampak pada kerusakan lingkungan serta alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan.
Pada diskusi yang diselengarakan oleh Mahasiswa Himapol Indonesia Korwil III bersama WALHI dan KPA pada Rabu 06 Mei 2020 sepakat menolak adanya Wacana RUU Omnibus Law, karena banyak aturan yang cacat hukum maka diperlukan waktu yang panjang dan melakukan kajian-kajian terlebuh dahulu.
Baca juga:Pro Kontra Omnibus Law di Indonesia
Adapun pernyatan sikap kami, Koordinator Wilayah III (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat & Kalimantan) sebagai berikut:
- Menolak dengan tegas RUU Omnibus Law.
- Menuntut terhadap DPR RI untuk tidak melakukan pengesahan terhadap RUU Omnibus Law.
- Mendesak Pemerintah untuk segera laksanakan reforma agraria sesuai dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA)
- Menuntaskan konflik-konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah, dan jalankan kedaulatan pangan.
- Menghimbau kepada seluruh Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik dalam Wilayah III untuk terus mengawal RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
- Meminta kepada DPR RI untuk berhenti mengutamakan pembahasan Omnibus Law dalam situasi pandemik seperti ini dan memprioritaskan agenda-agenda yang berkaitan dengan penanganan Covid-19.
Pemerintah mungkin perlu memikirkan hal-hal substansif terkait dengan reforma agraria. Dengan regulasi-regulasi yang lebih mempermudah investor dan pemilik modal untuk menjalankan bisnisnya, masyarakat sipil sudah pasti akan mengalami kekalahan jika terjadi benturan hak di sana.
Pemerintah perlu menjamin bahwa reforma agraria tetap berjalan dan berpihak pada masyarakat sipil, seperti dengan memberi kepastian hukum bagi aset dan hak sipil, serta mempermudah kaum marjinal yang ingin mendapatkan hak akses terhadap tenurialnya. Secara spesifik, hal yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan reforma agraria harus mengurangi konflik perebutan pertanahan.
Jakarta, 12 Mei 2020
Rega Aditya Irawan
Ketua Koordinator Wilayah III Himapol Indonesia