Lorong menuju kampus yang berbatu ku jalani dengan cermat. Mata dengan pandangan sayup memandang kerumunan manusia yang aku pun tidak tahu persis kegiatan mereka. Yang pasti mereka memiliki tujuan untuk menuntut ilmu di kampus yang sama seperti aku. Satu tumpuan ku saat ini menuju kampus tempat aku akan kembali terus mencoba menimba ilmu, menguras dan mengeluh dari sang dosen.
Perjalanan panjang yang ku tempuh dari kontrakan membuat tetesan mata air ini menguak mencucur deras membasahi tubuh ku yang kurus di kulit kuning langsat. Tas yang ku gendong ini terasa semakin berat di tenggah perjalanan ku. Entah setan-setan penggangu mana yang mengisi tas ku dengan bebatuan jalan atau memang aku yang tidak kuasa menahan beratnya lagi setelah bertahun-tahun mengendongnya. Robekan demi robekan benda gendongan ku ini terasa semakin besar mungkin karena sering terbanting ke segala tempat ketika sepulang kuliah.
Ketika perjalanan jauh sepatu yang ku pakai ini berubah beratnya. Dari awal ringan tiba-tiba memberat membuat kaki ini seakan lemah mengangkatnya. Apalagi baju yang ku pakai ini selalu saja tertarik ranting-ranting indah pergaulan remaja. Mata sayup ku pun tak hentinya memandang mereka yang siap untuk memacu kendaraannya menuju idaman masa labil remaja.
Jalan yang seharusnya mulus saat itu seakan merekah memecah belah langkah kusut ku. Tidak jarang ku berhenti sejenak memikirkan tekad ku yang berbagi dua. Tak peduli mereka yang melaju melintasi jalanku saat ini. Tidak juga aku peduli angin mereka yang seharusnya ku irikan.
Pagi hari ini ku kuatkan tekad ku. Menuju kampus dengan mata kuliah yang selama ini membayang dipikiranku. Dari mulut kemulut cerita seram sang dosen pengampu, membuat gemetar dada dan lutut ku.
Agak awal berangkat ku dari rumah tidak seperti hari-hari yang lalu Karna ku dengar-dengar dosen ini benci dengan mahasiswa yang terlambat.
Tepat jam 07 pagi aku sampai di kelas, sosok samar dosen mata kuliah hari ini ku lihat karena ku hanya berani menundukan kepala ku ketika melintas di hadapannya.
Ternyata dosen ini telah stand by 15 menit sebelum aku memasuki kelas. Untung saja aku tidak tertupi pintu kayu ketika ingin memasuki kelas seram hari ini.
Masih dalam keadaan gemetar disekujur kaki dan dada, dosen tersebut memulai perkuliahan hari ini. Pintu telah tertutup rapat, mahasiswa lain disekitar ku yang aku pun tidak mengenali mereka satu-persatu bersama ku duduk berbaris rapi diatas meja eksikusi persaingan nilai A dari sang dosen.
Beberapa buku tebal entah apa judulnya, Daftar Hadir Kelas (DHK) kami yang terkumpul rapi diatas meja dosen menjadi angket kuisioner bagi sang pelamar kelulusan yang minim. Tidak juga rapi kulihat dosen ini, namun gerak tangkas dan tegasnya membuat ruangan ini gumam tanpa suara apapun dari berpuluh mahasiswa baru.
Aku segera membuka buku catatan ku yang lusuh setelah bertahun-tahun menghendap di tas ku meskipun belum waktunya. Berpura-pura ku membaca catatan kosong ini karena baru pertemauan pertama ini aku mencatat.
Ketika dosen membuka dengan ucapan salam pada hari itu, semua memandang tanpa kedip ke arahnya menampakan muka yang penuh dengan belas kasihan. Penyejuk ruangan seakan mati saat itu karena perasaan panas yang melanda tubuhku membuat grogiku bertambah besar.
Aku menguatkan konsentrasi ku yang buyar selama ini ketika dosen membacakan literatur mata kuliah yang sedang dihadapi. Ketakutan yang tidak terlalu tampak dari seluruh mahasiswa yang ada di ruangan ini sepertinya mereka dan aku sendiri terus mengikuti dan menulis apa pun yang dikatakan sang dosen meskipun terdengar samar karena temponya yang begitu deras.
Dengan segala rasa yang tidak nyaman, otak ku yang berlumut kebingungan mencoba merefres kembali ingatan. Tiba-tiba sebuah suara yang sepertinya menyebut namaku terdengar. Karena rasa gugup ku yang kuat Suara itu terasa terdengar semakin keras.
“Adi…..” dosen memanggilku.
“ adi!!!” Kembali suara itu terdengar
“Sa…sa.. saya pak” dengan gugupku menjawab
“ia kamu” degan suara yang tegas.
”Iii ia pak…” masih dengan suasana gugup.
”Kamu mahasiswa semester berapa…..?” dosen bertanya dengan santai.
“enam pak”
Karena rasa kurang percaya diri, Dengan gugup yang luar biasa aku menjawab pertanyaan nya. Mungkin pakaian ku yang berbeda dari teman-teman ku yang memakai puti-putih almamater membuat aku sendiri ketahuan mengulang.
“beh… kapan selesainya ini mata kuliah prasyarat semester 2. Bagaimana semester berikutnya kapan lagi kau harus menempuhnya.” dosen kembali bertanya.
Aku terdiam. Kata-kata yang sepertinya sangat membanting hati nurani ku saat itu. Hilang sudah percaya diri yang ku bangun saat ku memulai hari untuk kembali kejalan yang benar. Belum lagi aku yang berbeda dari teman-teman sekelas ku ini membauat aku harus kuat menjadi bahan example dari ketertinggalan karena kemalasan yang telah ku kantongi. Pikiran ku melayang jauh. Aku teringat beberapa waktu yang lalu. Berapa yang telah ku buang, uang, tenaga, dan lain sebagainya.
Lamunan ku berjalan terus. Entah kemana rimbanya. Ucapan demi ucapan sang dosen di depan ku tak lagi terdengar jelas samar melintas di telinga ku. Lamunan bodoh di tengah penyesalan yang datang hampir di akhir cerita. Mata ini terasa perih tak tertahan tetesan demi deraian air mata keluar membasahi pipiku. Tidak pernah separah kaku seperti ini. Penyesalan yang kuat merobek seluruh asa yang ku tanamkan. Harapan orang tua yang ingin kan sukses anaknya ini ku abaikan. Entah berapa uang yang telah ku habiskan tidak terhitung dan tidak mungkin akan mampu membayarnya. Aku terhanyut dalam buaian lembut penghancur masa depan. Berpoya-poya menghabiskan titik peluh orang tuaku. Memusnahkan doa-doa murni ayah dan ibuku.
Lamunan ku tiba-tiba terhenti. Suara yang memanggil namaku kembali terdengar. Tidak seperti yang kudengar tadi. Yang satu ini sepertinya memang agak lembut.
“Kamu…..”
“i,,i,, ia pak” aku menjawab dengan lembut.
“ melamun saja kulihat kau”
Aku hanya bisa terdiam seraya menundukan kepalaku yang lunglai.
Dua jam di dalam ruang isolasi membuat mental ku down. Perkataan-perkataan yang keluar dari mulut sang dosen yang seharusnya ku cerna dengan baik, ku pikir itu suara cercaan bagiku. Motivasi-motivasi yang kerap ia sampaikan tidak lagi menjadi penyemangat langkah ku setelah dari awal pertemuan ku harus di lempari telur busuk sehingga baunya terus melakat hingga waktunya usai.
Setelah mata kuliah itu berkahir, sengaja aku bergegas mengemaskan peralatan usang ku untuk menuju kamar mandi.
Di tengah lari-lari kecilku menuju kamar mandi, gerak ku di tahan oleh seseorang yang berpakaian rapi berbau harum menarik tangan ku dari belakang.
Langkah ku terhenti. Tak berani aku memandang siapa yang telah menarik niat ku itu.
Masih dengan rasa gugup bercampur sedih yang masih menyisakan basah di pipiku. Aku memberanikan diri untuk menggerakan kepala ku menoleh siapa gerangan di belakang ku.
Tidak ku sangka sesosok berpakaian rapi yang samar-samar ku lihat harum wangiannya adalah teman satu angkatan ku yang hampir mnyelesaikan kuliahnya. Sayup matanya memandang mata ku yang berliang air mata. Tanpa gerak ia menatapku yang penuh rasa penyesalan.
Gerakan ku tidak tertahan. Hasrat ku untuk berbagi timbul untuk menghilangkan beban dalam diriku. Aku merapatkan tubuhku lalu memeluknya degan linangan yang tak lagi terbendung di kelopak mataku.
Untuk sementara rasa ini berangsur surut. Kehadiran teman yang tak lain teman dekat ku Udin. Tidak ku sangka ia sanggup menepis air mata ku ini.
“Maafkan aku din… ku tak mendengar kata-kata mu” sedak ku berbicara.
“sudahlah belum terlambat untuk mu” udin mencoba menenangkan ku.
Di lorong kampus tempat aku kuliah kini menjadi saksi bisu tentang seorang mahasiswa yang meyesali segala perbuatannya.
Kelalaian dan kemalasan yang telah terjalani membuat sebuah keputusasaan yang tak berbanding. Segala cita-cita yang di impikan sirna setelah di depan mata ia bertapuk menunggu gerak dari pengejarnya. Kini hanya aku lah yang ulung dalam penyesalan karna racun sang pecundang masa depan.
RACUN INDAH SANG PECUNDANG
bersandar dalam runtuhan ku di hari nan kelam
berawal dengan indah yang menahan menang di akhir perjalanan
keluh sesal datang tertunda
melekat bersama kobaran asa yang kian menggeram
tata kini kian tak berarti
mencoba berubah namun tak kuat menahan sakit yang meradang
andaikan waktu berulang
akan ku tata segi hidup pedoman
bersapu nilai norma seluruh badan
kini sisa hidup setengah jalan
habiskan racun indah
tinggalan sang pecundang untuk akhir jaman.
Tertulislah sebuah penyesalan di beranda kisah sang pecundang. Mungkin banyak yang seperti aku, namun tiada kata terlambat untuk berubah. Sesal selalu datang kemudian. Tidak akan ada nama sebelum manusia lahir. Tidak akan ada sesal sebelum gerak. Tergantung bagaimana kedewasaan seseorang mengatur dan memperbaiki dirinya.