mimbaruntan.com, Untan – Pernahkah terlintas dalam benakmu untuk mengajar dan mendidik puluhan anak di sebuah ruangan. Jika pernah, itu artinya kamu membayangkan menjadi seorang guru. Namun, perlu diketahui bahwa menjadi seorang guru tidaklah mudah. Di Indonesia, untuk diakui sebagai guru profesional dan sah dalam mengajar, seorang guru harus memiliki sertifikasi PPG (Pendidikan Profesi Guru) yang diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Menurut F. Rodrigues dan M.J. Mogarro pada tahun 2019, identitas profesional guru dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pemahaman, persepsi, citra, dan pengetahuan yang dimiliki guru tentang dirinya dan profesinya. Ahli lain juga menyatakan bahwa identitas profesional dipengaruhi oleh sejarah, keadaan saat ini, pengalaman mengajar, faktor sosial dan budaya, serta karakteristik pribadi dan psikologis dari guru tersebut. Oleh karena itu, peran guru sangat penting dalam membentuk karakteristik yang diperlukan untuk menjadi seorang guru yang profesional.
Seperti dilansir dari https://ppg.kemdikbud.go.id/. PPG Prajabatan adalah program pendidikan yang diselenggarakan setelah program sarjana atau sarjana terapan bagi lulusan Sarjana maupun Diploma IV, baik dari kependidikan maupun non-kependidikan bagi calon guru untuk mendapatkan Sertifikat Pendidik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dengan visi mewujudkan keseimbangan kebutuhan dan pemenuhan guru (supply & demand) secara kuantitas dan kualitas.
Program PPG Prajabatan dirancang untuk melengkapi kualifikasi pendidikan calon guru setelah menyelesaikan program sarjana atau sarjana terapan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan pemenuhan guru secara kuantitas dan kualitas di Indonesia. Melalui program ini, calon guru akan mendapatkan sertifikat pendidik yang diakui secara nasional dan meningkatkan kompetensi pedagogik, sosial, profesional, dan kepribadian.
Dilansir dari sumber yang sama, mekanisme program PPG meliputi ujian masuk, orientasi, dua semester perkuliahan berorientasi praktik, dan praktik pengalaman lapangan di sekolah. Selama masa studi, calon guru akan dilatih untuk mengamati, membantu mengajar, berkolaborasi, dan memimpin pengajaran di lingkungan sekolah. Ujian program dan ujian sertifikasi menjadi bagian penting untuk memastikan bahwa calon guru telah memperoleh kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi guru profesional.
Namun, apakah melalui PPG, visi yang diinginkan pemerintah dapat tercapai? Sebenarnya apakah PPG ini menjawab permasalahan dalam dunia pendidikan, atau malah menambah persoalan baru?
Baca Juga: Sekitar Pendidikan, Lingkungan Positif untuk Belajar dan Bertumbuh
Pertanyaan ini muncul karena PPG memiliki beberapa masalah yang perlu diperhatikan. Pertama, PPG dapat diikuti oleh jurusan non-pendidikan yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam mengelola pendidikan dan terjadi liberalisasi yang sangat luas. Padahal, lulusan yang telah bergelut dalam dunia kependidikan selama delapan semester harus disamakan dengan lulusan yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan. Bahkan, lulusan PPG yang hanya mengikuti program selama satu tahun dianggap layak mengajar, sementara lulusan yang telah bergelut dengan dunia pendidikan selama empat tahun dianggap tidak layak.
Kedua, beberapa materi yang diajarkan dalam PPG telah diajarkan kepada mahasiswa yang berkuliah di jurusan pendidikan. Misalnya, mata kuliah Perancangan dan Pengembangan Kurikulum serta Bahasa Inggris. Hal ini menjadi pertanyaan apakah materi yang diajarkan di bangku perkuliahan selama ini masih kurang atau terdapat kesalahan di dalamnya?
Ketiga, meski pemerintah membebaskan beban biaya pendidikan bagi PPG dalam jabatan dan prajabatan 2022, namun terkait PPG prajabatan 2023 berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6328 tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan pada Kementerian Agama Tahun 2023, serta PPG Mandiri yang dilansir dari fkip.untan.ac.id/, biaya pendidikan ditanggung oleh mahasiswa PPG dengan kisaran biaya Rp. 8.500.000,00/ semester.
Penulis merasa bahwa pemerintah harus mempertimbangkan kembali biaya PPG ini, terlepas itu adalah PPG mandiri, terutama bagi calon mahasiswa PPG non-ASN. Biaya pendidikan yang mahal hanya akan menambah beban finansial bagi mereka yang sudah kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan guru-guru yang berkualitas untuk mengembangkan potensi anak-anak muda dan membantu menciptakan masa depan yang lebih baik. Namun, biaya pendidikan yang mahal ini menjadi hambatan besar bagi para calon guru untuk memperoleh kualifikasi dan sertifikasi yang diperlukan.
Keempat, dilansir dari ppg.bbg.ac.id, batasan usia yang ditetapkan untuk PPG adalah maksimal 28 tahun pada saat pendaftaran, untuk PPG dalam jabatan dan maksimal 35 tahun pada saat pendaftaran untuk PPG prajabatan. Ini sangat tidak adil bagi mereka yang ingin mengambil program PPG setelah usia 35 tahun. Padahal, masih banyak orang yang ingin meningkatkan kualitas diri dan memperdalam pengetahuan mereka meskipun sudah melewati usia tersebut.
Dari sumber yang sama, terdapat larangan bagi mereka yang sudah menikah untuk mengikuti PPG, yang tentunya sangat tidak masuk akal. Hal ini memperlihatkan betapa diskriminatifnya persyaratan yang ditetapkan. Padahal, banyak guru yang sudah menikah tetapi ingin memperdalam pengetahuan mereka dan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Mungkin saja ada guru yang sangat berpotensi, namun keinginannya untuk mengikuti program PPG tidak tercapai karena sudah menikah.
Baca Juga: Kapitalisasi Pendidikan Melalui UKT
Penulis merasa bahwa persyaratan untuk tidak menikah selama program PPG sangatlah berlebihan. Apakah menikah bisa mengganggu proses belajar mengajar dalam program PPG? Tentu tidak. Apakah menikah membuat seseorang tidak fokus pada program PPG? Tentu tidak. Persyaratan ini hanya akan memperparah kesenjangan gender dan merugikan banyak guru yang sudah menikah dan memiliki keluarga.
Dari berbagai permasalahan ini, penulis berpendapat bahwa PPG perlu dikaji kembali. Lahirnya PPG jelas merugikan mahasiswa S1 program kependidikan karena apa yang mereka korbankan seperti biaya, tenaga, pikiran, dan waktu akan terulang kembali di PPG. Ketika lulus, mereka diharuskan mengikuti pendidikan profesi agar bisa disebut guru yang bersertifikasi dan profesional.
Apabila kita telusuri lebih lanjut, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi dari kampus kependidikan yang baik dan terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Namun, selama ini kampus-kampus kependidikan tersebut telah mencetak guru-guru berkualitas dengan gelar S.Pd yang mereka raih. Lalu, apakah ketika mahasiswa lulus dan mengajari sekolah, mereka tidak dapat disebut “berprofesi sebagai guru”?
Seorang guru tidak dapat diibaratkan seperti dokter atau advokat yang memang perlu mengikuti pendidikan profesi lebih lanjut karena bidang kerjanya lebih spesifik. Seorang guru sudah memiliki spesifikasi dalam pendidikan S1. Jadi, apabila alasannya guru-guru tidak atau kurang profesional, yang harus dibenahi adalah pendidikan di S1, bukan membuat program pendidikan baru dengan format mengatasnamakan keprofesionalan.
Pemerintah harus menjawab permasalahan ini dan mempertimbangkan kembali tujuan PPG. Apakah PPG benar-benar dibutuhkan oleh lulusan sarjana pendidikan? Apakah PPG benar-benar memperbaiki mutu pendidikan Indonesia? Ataukah PPG malah menjadi benalu dalam dunia pendidikan kita?
Penulis : Rachmad
Editor : Putri