mimbaruntan.com, Untan – Laju modernisasi kian menggeser budaya dan tradisi masyarakat hari ini termasuk wilayah Kalimantan Barat (Kalbar). Sungai Kapuas menjadi ikon Kalbar yang sejak dulu tak pernah sunyi dari interaksi masyarakat yang tinggal di tepian sungai. Namun, saat ini fungsi sungai dan perilaku masyarakat tepi sungai tampaknya kian berubah.
Agustine, seorang seniman mengungkapkan bahwa Sungai Kapuas memiliki kedekatan tersendiri dengan kehidupan sehari-hari masyarakat tepi sungai. Menurutnya ada perbedaan fungsi sungai di Kalbar dibandingkan dengan tempat tinggal asalnya, Tulungagung, Jawa Timur.
“Kalau di Jawa terutama Jawa Timur, sungai itu untuk pengairan sawah, transportasi, pun transportasi bukan yang utama juga. Tapi sungai di Kalbar terutama Kapuas ternyata masih sangat kental dengan kebiasaan laku kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti mandi, mencuci, membersihkan badan, membersihkan alat-alat rumah tangga,” jelasnya.
Baca Juga: Pemenuhan Hak Dasar di Kalbar, Pemerintah Salah Fokus
Lebih lanjut, Agustine menjelaskan Pontianak sebagai wilayah perkotaan tentu tak luput dari dampak modernisasi, yang pada akhirnya juga memengaruhi kebiasaan masyarakat tepi sungai. Hal ini tercerminkan dengan adanya perubahan tradisi masa kini dengan masa lalu.
“Sebenarnya kan masyarakat tepi sungai itu sangat dekat dengan perkotaan ya. Pontianak secara geografis memang daerah urban tapi untuk kesehariannya masih ada tradisi interaksi dengan sungai. Pembacaan masa lalu sangat terkait dengan tradisi yang ada. Tapi sekarang, pola-pola itu berubah dan bergeser, ada tradisi yang sudah ditinggalkan tapi masih ada yang dipertahankan dan dilakukan,” ungkap Agustine.
Bersama Agustine, Riduwan, seorang seniman, melakukan observasi pada empat kampung yang berada di tepi sungai, yaitu Kampung Dalam Bugis, Kampung Banjar Serasan, Kampung Kuantan Laut, dan Kampung Kamboja.
Baca Juga: Rehabilitasi Bukan Solusi untuk Pelaku Kejahatan Berat di Bawah Umur
Dari tiap kampung tersebut, mereka menemukan perubahan dan hal-hal menarik dalam budaya masyarakat tepi sungai. Seperti Kampung Dalam Bugis, keberadaan Keraton Kadariah membuat daerah tersebut memiliki ikatan yang kuat dengan sejarah. Beda halnya dengan Kampung Kamboja. Letaknya yang dekat dengan Waterfront, salah satu spot bersantai di Pontianak, membuat perekonomian masyarakat bergeser menjadi pedagang atau menawarkan jasa penyewaan perahu.
Pergeseran sosial juga ditemukan di Kampung Kuantan Laut, karena lokasinya yang lebih dekat dengan perkotaan, masyarakatnya tidak perlu menyebrang sungai untuk ke kota. Sedangkan di Kampung Banjar Serasan, masyarakat masih mempertahankan kebiasaan turun ke sungai untuk mencuci, mandi, membersihkan peralatan rumah tangga, meskipun air sungai tersebut sudah tercemar limbah.
Riduwan berpendapat modernisasi cukup memengaruhi budaya masyarakat untuk lebih bergeser ke daratan. Ketergantungan masyarakat akan eksistensi sungai hari ini dipengaruhi banyak faktor.
“Pasti modernisasi cukup memengaruhi budaya masyarakatnya untuk lebih bergeser ke darat. Penggunaan air hanya untuk beberapa aktivitas aja. Sebenernya ketergantungan masyarakat sama sungai dipengaruhi banyak faktor. Untuk mempertahankan itu perlu juga peran pemerintah dan kesadaran masyarakatnya bahwa air itu sumber kehidupan. Kembali lagi, banyak pihak yang harusnya terlibat,” sambungnya
Pembacaan yang dilakukan Agustine dan Riduwan pada keempat kampung tadi dituangkan dalam karya seni berbentuk open laboratory yang turut melibatkan Susur Galur sebagai penyelenggara.
Enda, bagian dari Susur Galur menyebut open laboratory sebagai pengayaan ide untuk publik juga berinteraksi sehingga pengetahuan akan budaya lokal dapat diceritakan ulang kepada masyarakat luas.
“Sifatnya pengayaan ide kembali. Jadi ide itu ga hanya dari seniman tapi dari publik yang datang ke sini dan berinteraksi. Pengetahuan akan budaya interaksi masyarakat lokal dengan sungai tadi terdistribusi dan bisa diceritakan ulang ke publik yang lebih luas. Mungkin ini salah satu cara kita mengenalkan Sungai Kapuas dengan lebih dekat,” pungkas Enda.
Penulis: Vanessa Stephanie
Editor: Alfiyyah Ajeng Nurardita