mimbaruntan.com, Untan – Istilah September Hitam mulai dikenal sejak 1965, dalam rangka Gerakan Tiga Puluh September. Sebutan ini digunakan untuk mengenang rentetan peristiwa kelam di bulan September, dengan banyaknya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi. Kematian aktivis HAM, Munir, 20 tahun silam menambah narasi kelam penelantaran kasus yang tak kunjung mendapat titik terang.
Munir Said Thalib merupakan seorang aktivis yang lantang menyuarakan tentang penyelewengan HAM di Indonesia. Ia adalah salah satu pendiri sekaligus penggerak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Di tahun 1998, Munir turut berkontribusi menggerakkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang disebut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan berdedikasi tinggi untuk memberi bantuan hukum bagi masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas.
Namun, tanggal 7 September 2004 Munir menghembuskan nafas terakhirnya di pesawat GA-974 dalam perjalanannya ke Amsterdam, Belanda. Diketahui penyebab kematiannya karena ada kandungan racun arsenik yang ditemukan di minuman jus jeruk miliknya. Terhitung sejak hari itu, sudah 20 tahun kita kehilangan tokoh yang berjasa dalam menyuarakan perjuangan di Indonesia.
Baca Juga: Pemenuhan Hak Dasar di Kalbar, Pemerintah Salah Fokus
LBH di beberapa kota mengadakan nonton bareng dan diskusi film dokumenter “Kiri Hijau Kanan Merah” oleh Watchdoc Documentary. Salah satunya LBH Kalimantan Barat (Kalbar) yang mengadakan agenda ini di Rumah Gesit Gemawan, Pontianak, Kalbar pada Senin, (9/9). Dari film ini penonton dapat melihat bagaimana sosok Munir semasa hidupnya.
Setelah penayangan film dokumenter “Kiri Hijau Kanan Merah”, berbagai respon didapat dari kalangan mahasiswa. Salah satu mahasiswa yang ikut menonton, Olivia menyatakan, setelah menonton ia merasa semangat untuk melanjutkan perlawanan yang dilakukan Munir terutama dalam menegakkan HAM di Indonesia.
“Responnya, sih, malah semakin semangat untuk melawan, melihat seorang aktivis yang kita kenali menjadi korban dari pelanggaran HAM, itu malah menumbuhkan rasa semangat, menyingkirkan rasa takut dan rasa lemah kita. Jadi malah terdorong untuk, oh kita harus lawan nih. Siapa lagi kalau bukan kita?” sebut Olivia pada Senin, (9/9).
Baca Juga: Refleksi Modernisasi terhadap Kultur Masyarakat Tepi Sungai
Dalam konteks ini, Olivia menyebut bahwa ia sangat berharap generasi muda dapat turut langsung mengawal pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, karena, beberapa kasus yang tak kunjung mendapat titik terang. Jadi dalam penyelesaiannya, kita sudah tidak bisa berharap kepada siapapun, termasuk pemerintah.
“Aku sendiri pengen bisa melawan dan menyadarkan langsung teman-teman lain untuk lebih sadar tentang kasus Munir maupun pelanggaran-pelanggaran HAM yang lain. Jadi kita udah nggak bisa mengharapkan dari pemerintah atau kepolisian. Karena kita tahu sendiri, kan, kasus Munir sampai saat ini tidak ada titik terangnya. Jadi menurutku, yang aku harapkan anak muda terutama generasi kita ini, lebih sadar dan lebih terbuka pikirannya agar tidak berharap ke orang lain lagi,” harap Olivia saat diwawancarai.
Kematian Munir tak semata-mata membuat kita menjadi lemah dan takut untuk menyuarakan kebenaran. Tubuh dan eksistensi Munir memang sudah hilang, tetapi semangatnya akan selalu bersama kita sampai kapanpun. Kematian Munir akan selalu kita ingat setiap tahunnya melalui September Hitam. Salah satu anggota LBH Kalbar, Dian Lestari, menambahkan pendapatnya perkara kasus pembunuhan Munir. Ia menyayangkan informasi yang hilang bersama Munir.
“Munir mau berangkat ke Belanda itu untuk mengungkapkan kebenaran dan dia dibunuh oleh orang-orang yang tidak mau pengungkapan kebenaran itu terjadi. Bayangkan, artinya ada banyak sekali informasi tentang pengungkapan kebenaran yang sedang diproses oleh Munir, akan diperjuangkan oleh Munir, itu dipotong dan itu tidak diketahui publik,” ujar Dian.
Tidak hanya melalui September Hitam, masih banyak cara lain untuk merawat ingatan tentang Munir. Salah satunya adalah film dokumenter berdurasi 48 menit yang berjudul Kiri Hijau Kanan Merah. Selain itu ada juga sebuah lagu berjudul “Munir” yang diciptakan oleh Usman Hamid, Once Mekel, dan band The Blackstones.
Penulis: Artika Yandani, Nur Sabiha, Anugerah Az-zuhri Rahman
Editor: Hilda Putri Ghaisani
Sumber: