mimbaruntan.com, Untan – Tahun 2014, Jokowi-Jk mengusung Nawacita sebagai janji politiknya bila terpilih sebagai presiden Indonesia. Di dalamnya, pada poin nomor 5 terdapat kalimat land reform atau dalam bahasa indonesianya dikenal dengan Reforma Agraria. Pada nawacita jokowi-jk, reforma agraria hidup dengan semangat untuk mengentaskan konfliki atas tanah yang terjadi, mengatasi ketimpangan kekuasaan atas tanah yang memang terjadi ketimpangan penguasaan dan monopoli serta meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan dari dasar tersebut, reforma agraria yang tertuang dalam nawacita memiliki target untuk membagikan 9 juta hektar tanah kepada rakyat.
Namun, reforma agraria yang dijalankan Jokowi-jk selama pemerintahannya dinilai tidak tepat dan melenceng dari definisi dan harapan reforma agraria yang sesungguhnya. Menurut Wahyu Setiawan selaku kepala AGRA Kalimantan Barat mengungkapkan bahwa reforma agraria Jokowi tidak sesuai dengan tujuan awal reforma agraria yaitu mengurangi monopoli terhadap tanah melainkan sebaliknya yaitu menguatkan monopoli atas tanah. “Karena tanah-tanah eks HGU(Hak Guna Usaha/Red) baik HPH maupun yang lainnnya itu tidak menjadi target dari Reforma Agraria”
“Masih terjadi monopoli atas tanah yang terjadi di Kalimantan Barat misalnya, dari 14,68 juta hektar tanah, 98% sudah dikapling-kapling untuk industri ekstraktif baik perkebunan yang ada 4,3 juta dan target pemerintah ada 5,2 juta, pertambangan 5,2 juta dan HPH(Hak Pengusahaan Hutan/Red) 1,2 juta, dan ini tidak mengurangi monopoli atas tanah,” tambahnya ketika ditemui saat aksi mayday di area Tugu Digulis, Pontianak(1/5).
Hal lain yang menguatkan pendapatnya adalah bahwa tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerintahan jokowi bukanlah tanah yang terlantar melainkan tanah yang memang sebelumnya telah dimiliki oleh kaum tani namun belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). “Artinya tidak ada pemberian tanah oleh Jokowi, tapi tanah-tanah itulah yang disertifikasi,” ungkapnya.
Benhard Llimbing dalam bukunya yang berjudul Reforma Agraria menjelaskan bahwa istilah Reforma Agraria di indonesia pertama kali diadopsi pada 1980-an oleh Gunawan Wiradi yang kemudian populer digunakan oleh para akademisi. Istilah ini memiliki desfinisi suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Reforma agraria harus bermakna penataan ulang struktur penguasaan tanah yang mencakup redistribusi tanah dan pembatasan atau pencegahan terkonsentrasinya penguasaan tanah. Bahkan menurut buku tersebut, dapat pula di dalamnya terkandung aksi-aksi untuk menata ulang sistem bagi hasil dalam kegiatan pertanian.
Dalam buku yang sama pula, penerapan istilah tersebut bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta dalam rangka menghapus kesenjangan terutama dalam bidang politik dan sosial. Reforma agraria juga harusnya tidak hanya dipahami sebagai kebijakan untuk redistribusi tanah tetapi juga sebagai proses yang lebih luas seperti akses ke sumber daya alam, keuangan, teknlogi, pasar barang, tenaga kerja dan khususnya redistribusi kekuatan politik.
Penulis: Adi Rahmad
Editor: Fikri RF