SEPETAK TANAH
Karya: Lulu Kurnia
Angin berembus sepoi-sepoi, menerbangkan dedaunan kering, mengangkut debu-debu dari jalan berpolusi dan melebur enjadi satu dengan udara sejuk di bawah bukit asri. Pagi yang indah hari ini telah khusus kupesan untuk diriku sendiritiada orang lain yang mencampurinya, menemaniku seolah-olah aku kakek tua reyot yang tak bisa menopang tubuhku. Merekaorang-orang banyak omong itutakkan pernah bisa mendapat tempat dalam lubuk hati terkecil sekalipun, dariku.
Deru mobil pengangkut sayur sudah beroperasi, keluar dari ladang menuju pasar, kebiasaan kecil yang sudah hampir kulupakan sejak pergi dari tempat ini setahun yang lalu. Seharusnya aku tahu kalau hari masih terlalu pagi, sebab embun sejuk masih mengelilingi gelapnya suasana perbukitan di ladang sayur. Namun aku sudah terlalu merindukannya, sepetak tanah kenangan.
Aku menaiki tangga yang dibuat sederhana dengan tanah merah dan batu-batu kecil. Di ujung bukit itu, di mana berdiri sebuah pohon beringin tua yang umurnya lebih tua dari umurku, menaungi bangku kayu panjang yang dibuat bapakku belasan tahun silam. Aku duduk di sana, memandang hamparan luas pertanian di bawah dengan perasaan lega. Akhirnya aku bisa menikmati ini tanpa ada yang tahu dan sok mencari tahu. Aku paling benci saat-saat di mana aku ingin menyendiri dan orang-orang itu pura-pura tidak peka dengan menawarkan diri untuk menghiburku. Bah! Aku tidak perlu semua itu. Lihat saja ladang ini, usaha keras yang luar biasa dari keringat orangtuaku yang bergulir sepanjang siang, kini membuahkan hasil yang menakjubkan. Ya, inilah sepetak tanah itu.
Ingatan jernih tentang sepetak tanah ini hanyalah senyum cerah bapak yang sedang membuat bangku kayu ini, di bawah beringin yang meneduhi kami dari teriknya sinar matahari.
“Ali, coba kau lihat di bawah sana,” kata bapak, sambil mengukur kayu, sebelah tangannya yang berbonggol-bonggol memegang pensil menunjuk belakangku.
Aku melongok. Bagiku, tak ada yang menarik kecuali pohon pepaya yang sedang berbuah di sembarang tempat dan beberapa buah jambu yang sebentar lagi siap panen. Selebihnya, hanya semak belukar.
“Ada apa, Pak?” kataku bingung, berpaling kepadanya.
Bapak menghentikan kerjanya dan tersenyum. “Di sana, sepetak tanah kecil di sana, akan menjadi milik kita. Nah, kita bisa menanam sayur-mayur, singkong, pepaya, dan macam-macam lagi,” ucapnya sumringah.
Aku masih tidak mengerti. Maksudku, aku paham apa yang bapak inginkan, yaitu bercocok tanam. Tapi bagian menanam di tempat itulah yang tidak kupahami.
“Kenapa harus di situ? Tanahnya jelek, Pak, terlalu kering. Mana ada tanaman yang bisa tumbuh subur, apalagi di sini jauh dari mata air,” kataku, setahu yang bisa kupikirkan.
Bapak tertawa. Aku masih ingat tawanya, karena gigi depannya sudah banyak ompong.
“Ali… Ali… bagaimana kamu tahu tanaman tak tumbuh sumbur? Toh, pepaya itu berbuah besar-besar dan rasanya enak, ‘kan?”
Aku mengangkat alis. Benar, dan aku yang paling menanti kehadiran buah pepaya lezat itu. Tapi aku masih ragu.
“Yah, Pak, kalau itu sih, iya. Tapi sayur…”
Bapak menepuk-nepuk bahuku. Kami menghadap dataran luas yang tak tersentuh itu.
“Kalau begitu kamu lihat saja. Nanti dari sepetak tanah itu, kamu bisa tahu rahasia alam, meskipun kecil.”
Ah, bapak. Ada-ada saja. Selalu sok misterius. Kalau ditanya, jawabnya malah nanti, tunggu hasilnya sudah nampak, barulah dia mau menjelaskan. Tetapi kenyataannya bapak tak pernah menjawab satu pun pertanyaan yang kulontarkan ketika dia memilih menanam kol di tandus kering petak kami, atau memilih tomat yang kubibitkan sebanyak seratus biji lalu tak sampai tiga perempat saja yang berbuah. Semua itu tidak pernah bapak jawab. Sebab aku tahu jawabannya karena alam yang memberitahuku. Lagi-lagi bapak benar. Aku tersenyum sendiri mengingat tingkat pesimisku terhadap segala mimpinya.
Butuh usaha yang keras dan lama untuk memperbesar sepetak tanah itu. Tapi berkat semangat bapak, sedikit demi sedikit petak itu bertambah. Uang hasil jerih payahnya ditabung untuk biaya kuliahku. Aku tidak mau kuliah, mengingat aku masih punya seorang adik yang setahun lagi masuk SD. Kedua kakakku tidak kuliah dan membantu orangtua kami. Tetapi bapak bersikeras untukku.
“Ali… Ali… apa yang kamu cemaskan, Nak?” katanya suatu sore, di bawah beringin tua, mengisap cerutunya.
“Nana sebentar lagi sekolah. Biayanya buat dia saja,” kataku, duduk memandang hamparan petak-petak kami yang sudah bertambah.
Bapak tertawa, mengembuskan asap rokoknya melalui lubang hidung.
“Buat apa kamu cemaskan Nana? Bapak dan emakmu sudah siapkan semuanya. Pokoknya kamu pergi saja ke kota, kuliah yang benar,”
“Tapi Pak, nggak semua orang yang kuliah bisa langsung kerja pakai jas bagus dan duduk-duduk depan komputer, duitnya ngalir sendiri. Lebih baik aku bantu bapak di sini, mengurangi ongkos pegawai, kan,” jelasku panjang-lebar. Semakin bertambahnya usiaku, semakin sering pula aku mendebat bapakku. Kebiasaan buruk yang tak pernah hilang.
“Ah, ladang saja pikiranmu. Dulu kamu juga nggak yakin petak itu berkembang, ‘kan?” tukas bapakku, menyentikkan abu rokoknya yang melayang tertiup angin.
Wajahku memerah, panas. Malu sekali.
“Sekarang beda, Pak. Itu sudah bertahun-tahun lalu,” bantahku.
“Ali… Ali… ada yang tidak pernah berubah darimu, Nak. Kamu selalu pesimis. Selalu meragukan semuanya. Nah, itulah yang membuat bapak kepingin kamu kuliah,”
Aku mengerutkan dahi. “Apa maksudnya, Pak?”
Akhirnya bapakku duduk di bangku. Dia sudah yakin sekali kalau aku, tepat pada waktunya, akan berangkat ke kota orang.
“Kamu tahu bapakmu cuma tamatan SD. Bagus-bagus bisa dapat emakmu yang lulus SMP. Yah, singkat cerita seperti penduduk kampung sini, kami ingin anak-anak kami bisa berpendidikan lebih tinggi. Tapi bapak bukannya nyuruh kamu cari duit di kota orang, Nak. Bukan begitu,” kata bapak, menyesap rokoknya dan mengembuskannya. Aku mendengarnya baik-baik, berusaha menyerap semuanya. Bapak meneruskan, “Bapak kepingin kamu jadi orang pintar, bukan pintar kayak Mbah Dono si dukun kampung sebelah, tapi pintar otakmu. Dengan semua ilmu yang kamu dapat, kamu bisa menepis keraguanmu tentang semua yang kamu ragukan. Dan orang-orang itu—berjas dan duduk di belakang kotak canggih berlayar—entah apalah namanya, kelak akan menjadi anak buahmu, dan kamulah yang mengalirkan uang kepada mereka. Nah, kamu paham, ‘kan?”
“Intinya aku harus jadi bos tapi tetap kerja di sini?” kataku menyimpulkan.
Bapak mengangguk-angguk. “Betul, betul sekali. Kamu jangan hidup seperti bapak dan emak. Sakit, Nak. Kasihan kamu nyangkul terus seumur hidup.”
“Yah, bapak ‘kan sudah kubilang jangan nyangkul, biar aku saja. Lagian, Pak, kalau badan bergerak terus, bisa umur panjang, nggak sakit-sakitan. Lihat saja orang kota tuh, umurnya pendek, ngirup polusi sambil minum soda tiap hari,” ujarku.
“Ali… Ali… sayang sekali otakmu disia-siakan di sini. Kalau kamu sudah jadi orang pintar, kamu bisa bantah semua argumen orang-orang hebat itu, jangan omongan bapak saja, nggak ada gunanya,”
Kami tertawa bersama. Aku ingat aroma rokok tembakau yang keluar dari mulutnya dengan gigi-gigi ompong. Sayangnya beberapa bulan kemudian aku merantau, terkendala biaya buat pulang kampung dan setelah lama tak bertemu aku hanya bisa menyerahkan ijazah saja. Bapak sudah terlalu tua untuk berladang lagi, jadi semuanya diambil alih kakak-kakakku dan para pegawai. Usaha kami sudah berkembang cukup pesat.
Setahun yang lalu aku duduk bersama bapakku di bangku ini. Bangku di bawah beringin ini sudah kuperbaiki dengan kayu jati biar tahan berpuluh-puluh tahun, dan beringin tua yang besar dan digosipkan banyak orang sebagai sarang hantu, tak kugubris. Pokoknya aku tidak mau si bangku dan beringin hilang di sini. Ini tempat istimewa bagiku.
“Ke luar negeri? Wah, wah,” ucap bapakku, menggoyangkan tongkatnya. Dia jalan pakai tongkat, tubuhnya bungkuk, dan kulitnya keriput. Matanya sudah rabun, rambut putih, dan hampir semua giginya tak bersisa.
“Kalau bapak nggak setuju, biar kubatalkan saja,”
“Eh? Siapa bilang bapak nggak setuju? Pergi saja sana,” kata bapakku, mengangkat tongkatnya ke hamparan petak tanah kami yang hijau permai.
“Hah? Bapak mengusirku, nih?” sahutku, pura-pura tersinggung.
Bapak tertawa. Aku suka melihat tawanya tanpa gigi.
“Nak, nak… bapak heran saja kenapa kamu pergi sejauh itu. Masa sih, kamu mau bagi ilmu dengan orang di negeri luar, bukan di negeri sendiri? Nanti banyak orang kita yang bodoh, seperti bapakmu ini,”
Ucapannya menohokku. “Kalau bapak nggak mau…”
“Bapak nggak bilang nggak mau. Eh, kamu nggak dengar, ya? Pergi saja, nggak apa-apa. Biar orang-orang hebat itu tahu kalau kamu bisa lebih hebat dari mereka, padahal bapak-emakmu lulusan SD dan SMP,”
Itu kisah terakhir kami di bawah beringin. Sepetak tanah bapak yang selalu kuragukan malah akhirnya membawa nasib tak terbayangkan. Keluarga kami tak memegang cangkul lagi. Kami hanya mempekerjakan penduduk kampung, bukan orang asing. Aku dan adikku memasukkan ilmu kami sebanyak yang kami bisa untuk membangun usaha ini menjadi lebih baik. Jangan ada orang-orang hebat itu, begitulah kenangku tentang kata-kata bapak. Aku dan adikku tak kalah hebat dari mereka, ucapnya bangga.
Ayam berkokok, matahari menyembul dibalik bukit, menyinari ladang. Kudengar suara-suara langkah kaki yang menaiki bukit. Pastilah orang-orang itu mencariku. Yah, sudah saatnya aku pergi. Kebersamaan dengan bapak begitu singkat jika aku berada di sini. Tetapi bangku dan beringin ini adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa mengenangnya dengan amat jelas. Sekali lagi aku menatap sepetak tanah kami yang luas, terbayang tawa bapak dan cita-cita kecilnya untuk bercocok tanam pertama kali yang kuragukan. Sekarang, akan kubuat impiannya menjadi lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
*Selesai*