mimbaruntan.com, Untan– Selain ilmu yang didapatkan, perihal nilai juga sangat penting bagi mahasiswa untuk dapat menyelesaikan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi. Namun bagaimana jika hal tersebut harus dipersulit dengan “sumbangan wajib” sebagai prasyarat penilaian?
Lenni seorang mahasiswa yang berkuliah di Universitas Tanjungpura (Untan) mengungkapkan cerita yang dikeluhkan teman-teman dekatnya dengan dirinya kepada Reporter Mimbar Untan melalui Google Meet, Jumat (13/11). Ia mengatakan cerita mengenai infaq yang menjadi kedok penilaian adalah pengalaman teman-temannya yang belum pernah dialami langsung oleh Lenni.
“Aku belum pernah secara langsung ngalamin, tapi teman-teman aku sering cerita tentang dosen mereka yang gitu. Teman aku pernah cerita kalo mereka ditawarin mau ngerjain buat makalah atau bayar infaq,” ungkapnya.
Lewat ruang virtual, terlihat sesekali raut kesalnya sambil bercerita. Lenni pun mengungkapkan beberapa nominal dan kedok yang digunakan oleh dosen temannya yang terdiri dari prodi dan fakultas yang berbeda.
“Nominal infaq akan menentukan penilain akhir. Waktu itu aja, teman aku bayar Rp 20.000,00 dapat nilai D sedangkan temannya bayar Rp 50.000,00 dapat B. Karena merasa kurang akhirnya teman aku bayar lagi Rp 100.000,00 dan nilainya berubah jadi A. Ada juga yang cerita kalo mereka disuruh buat beli buku tapi bukunya sampai sekarang ngga pernah datang. Alasan beliau (dosen) sih masih dalam proses percetakan dan denger-denger dari senior, dosennya dari dulu emang gitu,” ceritanya.
Ia menyatakan menentang adanya permintaan uang oleh dosen yang dijadikan alasan untuk mendapat nilai, baik dengan alasan infaq atau lainnya. Menurutnya hal itu akan sangat merugikan mahasiswa dalam banyak aspek.
“Menurut aku hal ini nggak banget, karena merugikan mahasiswa dari segi keuangan dan materi,” katanya.
Ia juga berpesan untuk para rekan mahasiswa agar tidak takut. Apalagi untuk bercerita ke orang lain atau mencari wadah untuk dapat menyampaikan aspirasi terkait hal-hal yang serupa. Beberapa teman Lenni bercerita kepadanya bahwa mereka tidak ingin diwawancarai oleh reporter Mimbar Untan.
Momo, satu di antara mahasiswa Untan mengungkapkan pernah dimintai sejumlah uang oleh dosen yang digunakan sebagai infaq. Dosen tersebut meniadakan tugas jika Momo dan teman satu kelasnya membayar infaq.
“Baru 2 atau 3 kali pertemuan, dosennya ngasi pilihan mau ngerjakan tugas atau ngasi infaq,” ungkap Momo yang merupakan nama samarannya.
Ia bercerita, pengalaman itu pernah dialami oleh seniornya sehingga Momo dan teman sekelasnya sepakat untuk konsultasi atau bertanya kepada senior mengenai permintaan uang dari dosen tersebut. Ketika sudah mendapat informasi yang cukup dari senior mengenai dosen tersebut, Momo dan teman sekelasnya sepakat untuk memberi infaq dengan jumlah yang sama yaitu dengan jumlah Rp 30.000 per orang. Jika diakumulasikan, maka berjumlah Rp 1.200.000. Karena dari 45 orang, 40 orang memilih untuk membayar infaq, sedangkan 5 orang lainnya memilih untuk mengerjakan tugas.
“Awalnya karena kami belum tau (sebelum bertanya ke senior). Ada yang sampai Rp 200.000, Rp 150.000,Rp 50.000, pokoknya dalam jumlah yang besar gitu,” jelasnya.
Menurut Momo, tidak ada janji nilai baik dari dosen tersebut ketika memberi infaq. Hanya saja infaq dapat meloloskan mereka dari tugas kuliah selama satu semester. Sehingga ia dan teman sekelasnya hanya mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Ia pun mengungkapkan meski tidak dijanjikan, ia dan teman sekelasnya yang memberi infaq mendapat nilai baik bahkan sangat baik dari dosen tersebut.
Momo yang selalu bertemu dengan dosen tersebut di semester ganjil (semester 1 dan 3) beranggapan adanya infaq ini hanya membuat hasil yang diberikan dosen tidak objektif dan membuat mahasiswa malas karena hasil akhir yang sudah dapat diprediksi.
“Gimana ya rasanya kayak ada yang kurang gitu, kalo ngga ngerjakan tugas,” ujarnya.
Momo juga berpesan kepada para dosen untuk tidak berlaku demikian lagi. Hal ini akan membuat mahasiswa semakin bangga dengan nilai yang baik tanpa usaha.
“Sebaiknya tidak memperlakukan mahasiswa seperti ini yang memberikan pilihan ingin mengerjakan tugas atau infaq. Karena sekarang pasti orang-orang akan milih yang simple yaitu infaq ketimbang harus mengerjakan tugas. Kalo bisa ya berikan tugas saja bukannya memberi pilihan,” pungkasnya.
*Momo adalah nama samaran seorang mahasiswa yang tidak ingin identitas nya diungkapkan.
Penulis : Ester & Anggela J.
Editor : Mara