Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berada pada titik nadir, kondisi setelahnya akan bergantung banyak dari tangan-tangan di luar tubuhnya. Mungkin kita pernah berpikir bahwa kasus cicak vs buaya dari menjadi ancaman yang serius. Atau ketika hak angket dilayangkan oleh DPR terhadap kewenangan KPK. Namun ternyata ancaman-ancaman besar itu masih tak kalah serius bila dibandingkan ketika proses pemilihan capim KPK.
Cicak vs Buaya, di mana KPK digambarkan sebagai Cicak dan Kepolisian sebagai Buaya memang terkesan tidak mungkin akan dimenangkan oleh KPK, namun kenyataan bahwa konflik ini berlanjut hingga sampai pada jilid ke tiga menandakan bahwa KPK tak pernah berhenti meski kadang akhirnya harus pincang dan buntung.
Atau ketika Hak Angket oleh DPR untuk KPK. Hak angket yang memang menjadi hak privilege yang dimiliki oleh DPR untuk melakukan penyelidikan tentang ketidakberesan dalam suatu lembaga pemerintahan, dalam kasus ini adalah KPK (walau KPK adalah lembaga Independen) sempat menjadi banyak perdebatan. Hak angket memang sesuai dengan UU, namun kita tidak menepis bahwa adanya Hak angket kepada KPK ketika itu tak lebih dari ketakutan dan cara politis yang digunakan untuk melemahkan KPK. Meski pada akhirnya KPK kembali tak bergeming, dan dengan percaya diri menolak hasil dari pansus angket tersebut dan melanjutkan perkara korupsi E-KTP.
Baca juga:Press Release Aksi Sambut Jokowi
KPK masih terlalu digdaya jika dilawan secara frontal dari luar. KPK baru benar-benar terancam ketika masa pimpnan KPK berakhir. Sebelum masa itu berakhir, KPK harus sudah memiliki pemimpin baru. Yang menjadi masalah adalah tim yang memilih dan prosedurnya mengharuskan pimpinan KPK dipilih oleh orang-orang dari eksternal KPK.
Salah satu kekhawatiran yang timbul dari pergantian pemimpin dengan mekanisme tersebut adalah menghadirkan pemimpin yang tidak sesuai atau tidak tepat. Mirip dengan strategi kuda troya ketika peperangan antara Yunani dengan Kota Troya.
Setelah sekitar 10 tahun Yunani mengepung Kota Troya yang tak tertembus. Mereka menggunakan tipuan dengan membuat patung kuda raksasa yang didalamnya diisi sepasukan prajurit Yunani. Dengan suatu tipuan, patung kuda itu bisa masuk ke dalam Kota Troya, dan di malam Kuda itu masuk, kota dibakar, penduduknya dibantai, dan Troya dihapus dari muka bumi.
Mungkin tidak akan senasib sama persis dengan warga kota Troya yang dibantai, namun, masuknya pemimpin yang tak tepat ini pada gilirannya akan sangat mungkin membuat KPK menjadi tak seganas sebelumnya, lebih jauh kepercayaan masyarakat terhadap KPK akan turun dan menjadi penyebab KPK menjadi tidak independen, awal dari kehancuran KPK.
Panitia Seleksi (Pansel) capim KPK pada dasarnya adalah representasi dari Presiden sehingga di dalam tubuh pansel harus terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Tujuannya tak lain agar penilaian calon menjadi penuh dengan pertimbangan dan lebih objektif. Namun beragamnya unsur itu seakan tidak ada gunanya bila mengingat 10 nama capim hasil dari pansel yang diberikan kepada Presiden masih terdapat cacat pada sebagian besar nama.
Baca juga:OTT Kalimantan Barat, Bupati Bengkayang Ikut Terjaring
Keraguan kepada Pansel sebenarnya telah dirasakan sejak kerja pertama yang tak sempurna. Kegagalan Pansel melihat LHKPN sebagai sesuatu yang esensial dari indikator dan meloloskan calon-calon yang tak taat administrasi. Atau lebih jauh lagi pada tahap selanjutnya orang-orang yang memiliki rekam jejak kontroversi tetap masuk.
Memang, dalam seleksi pimpinan KPK bukan hanya tim pansel yang bekerja. Ada unsur dari Presiden dan DPR pada fase paling akhir. Namun semuanya seakan seperti kata pepatah setali tiga uang.
Aktualisasi program Nawacita poin ke empat tentang memperkuat penegakan hukum yang bebas korupsi tidak terlihat dilakukan. Presiden terkesan begitu pasif. Presiden seakan tak lebih dari legitimator atau pengesah ketika dibutuhkan SK untuk Pansel, atau formalitas prosedural (yang sama sekali tak ada perubahan nama capim) untuk menyerahkan nama capim kepada DPR.
Berharap kepada DPR mungkin seburuk-buruknya keberharapan. Lembaga yang menurut LSI memiliki tingkat kepercayaan publik terendah dengan angka 65%, belum lagi bila mengingat DPR sendiri salah satu yang paling intens dalam “memerangi” KPK. Baru-baru ini saja DPR mengajukan perevisian terhadap UU KPK yang bila disetujui dan disahkan akan membuat KPK tak lagi menjadi Independen. Tentu akan terasa aneh dan seakan membohongi diri sendiri bila berharap DPR memilih pimpinan yang kompeten. Pimpinan yang mungkin akan mengancam lembaga ini di kemudian hari. Walau mungkin memang begitu lah esensi dari berharap, meminta sesuatu yang hampir mustahil terjadi.
Seperti berharap semuanya akan jauh lebih mudah bila kursi pimpinan KPK memiliki kekuatan magis seperti kapak Strombreaker milik Thor atau Trident Of Neptune milik Aquaman. Kedua pusaka yang hanya bisa digunakan jika dan hanya jika oleh orang-orang yang tepat.
Strombreaker dan Trident Of Neptune bisa berlaku aktif dengan memilih orang yang dianggapnya tepat yang pada akhirnya menghindarkan dari disalahgunakannya diri mereka. Namun, hal itu hanya ada di dunia fiksi. Kursi pimpinan KPK benar-benar bernasib lain. Sehingga tidak bisa tidak bila pengawalan dan pengawasan oleh masyarakat luas harus selalu dilakukan. Setidaknya meski hasil akhir dari DPR sudah bisa diperkirakan, semua tetap harus melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Penulis: Adi Rahmad
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.