Makanan itu posisinya seperti Tuhan. Tuhan, bagi yang mempercayai, dianggap sebagai energi positif yang dibutuhkan. Begitu juga dengan makanan, meskipun ada orang yang bisa hidup tanpa makan, tetapi kebanyakan, orang itu asupan energinya dari makanan.
mimbaruntan.com, Untan – Kamis (30/6), Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) bekerja sama dengan Pemuda Lintas Agama (Pelita) Padang dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), mengadakan forum diskusi secara online dengan tema Dialog Keberagaman dalam Cerita Perjalanan Kuliner Nusantara. Pada forum ini, peserta bersama narasumber mendiskusikan isu kebhinnekaan dan politik identitas yang selalu menjadi tantangan antara umat beragama di Indonesia dalam aspek kuliner.
Indonesia dengan kemajemukannya memiliki beragam kuliner. Setiap daerah memiliki makanan khas masing-masing. Saat ini, makanan-makanan khas tersebut sudah tersebar di seluruh Indonesia dan dapat ditemui dimana saja, tidak hanya dapat ditemui di daerah asalnya.
Baca juga: Sejarah Makanan Khas Lebaran
Menurut Murnilam Lase, perwakilan dari Pelita Padang, makanan bisa berubah saat berada di daerah lain. Dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat meski masih dengan nama yang sama. Kita dapat menemukan perbedaan pada suatu makanan ketika berada di beberapa tempat yang berbeda, misalnya dari bumbunya, cara memasaknya, ataupun bahan utamanya. Maka tidak ada kuliner yang benar-benar otentik. Semuanya sudah mengalami perubahan.
Murnilam menambahkan bahwa hal yang harus kita persiapkan dalam menghadapi perubahan-perubahan ini adalah sikap penerimaan.
“Karena di zaman sekarang ini, kita tidak hanya hidup di lingkungan yang seetnis dengan kita, kita tidak hidup dengan lingkungan yang seagama sekeyakinan saja dengan kita. Tapi disaat ini kita bercampur dengan orang-orang yang berbeda dengan kita, termasuk makanannya,” jelasnya.
Sayangnya tidak semua orang siap dengan perubahan dan tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima adanya perbedaan, sehingga timbul politik identitas. Pro dan kontra rumah makan Padang non-halal yang sempat ramai belum lama ini, kental hubungannya dengan politik identitas. Berbicara tentang hubungan makanan dengan politik identitas, Aan Anshori perwakilan dari JIAD mengemukakan gagasannya tentang sifat dari makanan.
“Makanan itu posisinya seperti Tuhan. Tuhan, bagi yang mempercayai, dianggap sebagai energi positif yang dibutuhkan. Begitu juga dengan makanan, meskipun ada orang yang bisa hidup tanpa makan, tetapi kebanyakan, orang itu asupan energinya dari makanan,” ungkapnya.
Baca juga: Pertobatan Ekologis: Ketika Agama Berbicara Mengenai Lingkungan
Menurut Aan, makanan memiliki kesamaan dengan Tuhan dalam dua aspek. Pertama, Tuhan dan makanan sama-sama menjadi sumber energi yang dibutuhkan manusia. Kedua, pada dasarnya Tuhan dan makanan sama-sama bersifat netral.
Namun, adanya kompetisi antara keyakinan atau agama, membuat makanan yang awalnya itu netral, seolah menjadi beragama. Identitas makanan tersebut tergerus oleh politik identitas. Makanan tidak seharusnya dipetak-petakkan menjadi milik identitas tertentu. Makanan seharusnya bersifat netral, menyesuaikan pada persepsi dan kebutuhan masing-masing orang. Aan mengungkapkan bahwa dirinya ingin terus mendorong semua orang untuk merayakan keberagaman kuliner.
Terakhir, Aan mengutarakan gagasan tentang kunci dari beragama secara Pancasila dalam aspek kuliner, yakni tidak memonopoli kuliner dalam identitas tertentu.
“Kuliner ini bersifat normatif, netral, orang bisa menyesuaikan dengan keinginannya masing-masing, dan kuliner ini tidak bisa dimonopoli oleh sekelompok orang atau identitas tertentu. Sebab kalau dimonopoli, maka akan menjadi konflik dan menunjukkan kita tidak cukup dewasa dalam berpolitik kuliner itu sendiri,” tutupnya.
Penulis: Ibnu
Editor: Daniel