Sudah lama rasanya tidak memperingati hari guru. Masih ingat rasanya setiap tanggal 25 November melakukan upacara di sekolah dan melakukan serangkaian kegiatan yang sama tiap tahunnya, bersalam-salaman dengan guru.
Namun belakangan ini saya baru tahu ada hal lain di tanggal 25 ini yang patut diperingati selain hari guru, yaitu hari anti kekerasan terhadap perempuan. Saya dan teman saya pun bersepakat untuk membuat tulisan yang mencakup dua hal itu.
Agak susah sebenarnya menyangkutkan tulisan antara hari guru dengan hari anti kekerasan terhadap perempuan. Tetapi saya menemukan sebuah cerpen yang sangat menarik tentang guru dan kekerasan pada perempuan.
Hasrat, Predator yang Dibentengi Relasi Kuasa
“Hasrat”, salah satu cerpen dari buku kumpulan cerpen Okky Madasari yang berjudul “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” membuat saya dan teman teman sedikit ngilu ketika membacanya. Adegan demi adegan panas berkeliaran dikepala saya ketika membaca tulisan perempuan asal Magetan ini.
Cerita yang awalnya saja sudah dimulai dengan narasi deskriptif tentang kemolekan tubuh perempuan berusia empat belas tahun ini membuat teman saya yang ikut membacanya berekspresi aneh. “Kayaknya ini cerpen agak gak beres” ujarnya lirih ketika membaca paragraf pertama dari cerpen ini.
Namun, dari cerpen yang dianggap “tidak beres” oleh teman saya ini sebenarnya mencakup banyak hal tentang kondisi sosial pada masyarakat akar rumput. Mulai dari pedofilia, pelecehan seksual sampai ke pemerkosaan. Perlakuan ini semua didasari oleh satu hal; relasi kuasa.
“Aku”, seorang guru di pedalaman Kalimantan Barat memulai pekerjaan “mulianya” sebagai pendidik anak anak sekolah dasar di sebuah kampung. Tetapi, pendidik yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa ini hanya menjadi predator yang dibentengi oleh satu hal, yaitu statusnya sebagai guru. “Aku” yang seharusnya mendidik muridnya untuk mengetahui bagian bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain malah menjadi pelaku utama dalam perlakuan itu.
Baca juga : Sajian Lebaran Dari Okky Madasari
Kalimat-kalimat yang dituturkan dalam tulisan ini berhasil membawa saya terbawa dalam pikiran liar tokoh guru, terbangun syahwat yang kian berarus yang menghalalkan nafsu dan dilimpahkan pada sosok-sosok polos tak lain adalah murid.
Saya (terutama teman saya), sangat geram melihat perilaku guru ini. Walaupun ini hanyalah fantasi belaka, namun cerita ini menjadi relate ketika dibariskan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan yang dilakukan oleh oknum guru. Terdapat di satu bagian di cerpen ini dimana saya dan teman saya (maaf jika saya sering mengulang tentang teman saya ini, tapi karena memang dialah yang tampak paling ekspresif ketika membaca cerpen ini) rasa jijik dan benci terhadap tokoh utama membuncah.
Tokoh “Aku” beralasan bahwa perlakuan cabulnya dilakukan karena tidak adanya hiburan lain sebagai seorang bujangan. Padahal, menurut saya tidak ada satu hal pun yang dapat diwajarkan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan seksual.
Okky berhasil menenggelamkan saya pada isi kepala pelaku.
Menyoal Hanna, Bagaimana Kita Memandang Korban
Jika menilik lebih jauh tentang Hanna, perempuan empat belas tahun yang menjadi korban bagi si “Aku”, Ia merupakan simbolisasi dari ketidakberdayaan perempuan dibawah umur menghadapi kejinya lingkungan yang penuh dengan relasi kuasa dan minimnya edukasi seks.
Hanna yang diceritakan sebagai salah satu murid pertama “Aku” ini mendapat perlakuan cabul dari gurunya sejak awal mulai bersekolah. Perilaku itu pun terus berlanjut dan hanya berhenti sejak Hanna telah lulus dari SD. Namun, “Aku” menganggap bahwa Hanna adalah pujaan hatinya. Ia terus memandangi Hanna dari jauh selama tiga tahun lebih dan terus berfantasi cabul terhadapnya. Sampai akhirnya, ia memberanikan diri untuk pergi ke rumah Hanna dan memperkosanya.
Jujur saya agak kesal saat membaca adegan ketika Hanna dilecehkan dan mulai diperkosa oleh sang guru namun tidak ada reaksi penolakan yang kuat.
Namun, ada baiknya jika kita memandang sesuatu dari sudut pandang lain.
Ketika membaca cerita ini untuk kedua kalinya, saya memposisikan diri sebagai Hanna disini. Dimana saya dilecehkan oleh seorang guru, tetapi saya sendiri tidak mengerti apa itu pelecehan. Tidak ada yang memberitahu saya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang asing terhadap tubuh saya. Terlebih lagi orang itu adalah sosok yang dianggap penting dan berkuasa. Saya tidak akan menolak dengan keras terhadap sesuatu yang saya sendiri tidak mengerti apa itu.
Baca juga : Membicarakan Rahing, Si Pembunuh Cilik Milik Faisal Oddang
Oleh sebab itu, saya merasa cerpen ini merupakan pantikan kecil untuk menyadarkan masyarakat luas betapa pentingnya edukasi seks dan betapa berbahayanya relasi kuasa yang terjadi, terutama pada masyarakat pedalaman yang masih “buta” akan hal itu.
Selamat hari guru untuk para guru yang menjadi lilin penerang didalam kegelapan, bukan obor pemandu menuju jurang kesesatan. Selamat hari anti kekerasan untuk perempuan, dimana menjadi perempuan bukanlah suatu kelemahan, melainkan sebuah kebanggaan.
Penulis : Dita & Daniel